Cicak-cicak yang Mulai Patah Hati

Mereka yang pernah mengobarkan gerakan Cinta Indonesia Cinta Komisi Pemberantasan Korupsi atau ”Cicak” pada zaman peperangan melawan ”buaya”, kini menjadi yang tersengit menyentil lembaga yang mereka cintai itu. Apakah mereka sudah patah hati?

Empat ”cicak” terbaring diam di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (23/2). Kepala mereka tertutup kotak karton bergambar cicak. Di dada mereka tertulis dengan huruf besar, ”Zero Tolerance”.

Itu adalah ekspresi kekecewaan mereka terhadap KPK yang dinilai lamban menyikapi dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Direktur Penuntutan Ferry Wibisono. Sebelumnya, 2 Februari lalu, Ferry kepergok penggiat Cicak mengantarkan mantan Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto melalui pintu samping KPK seusai diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan upaya penyuapan dan menghalangi penyelidikan korupsi dengan tersangka Anggodo Widjojo. Hal itu karena Wisnu ingin menghindar dari media massa.

Pintu samping biasanya digunakan pimpinan dan staf KPK. Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah mengatakan, ada beberapa saksi yang diperbolehkan melalui pintu samping, yaitu saksi-saksi kunci yang perlu dilindungi dengan alasan keamanan. ”Tetapi, apakah Pak Wisnu masuk kategori itu? Saya kira tidak,” kata Chandra.

Buaya bertopeng cicak

Tindakan Ferry itu, dinilai Febridiansyah, anggota Cicak, sebagai pelanggaran terhadap kode etik. ”Ferry diduga melanggar Pasal 7 Ayat 2 Huruf c, d, dan h Peraturan KPK Nomor 05 P.KPK Tahun 2006 tentang Kode Etik Pegawai KPK,” katanya.

Pasal-pasal itu melarang pegawai KPK berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan terdakwa, tersangka, calon tersangka, atau pihak lain yang terkait kasus di KPK. Regulasi ini, menurut Illian Deta Arthasari, penggiat Cicak lain, bukan semata soal etika, melainkan juga untuk menyelamatkan institusi KPK dari praktik kolusi dan nepotisme atau bahkan praktik kolusi dan mafia peradilan.

”Konsep zero tolerance atas pelanggaran bukanlah wacana yang boleh disampaikan KPK di banyak forum, tetapi tidak mereka laksanakan sendiri. Jika Ferry Wibisono terbukti bersalah, tidak ada toleransi dan sanksi yang diberikan adalah sanksi yang paling berat, yakni dikeluarkan dari KPK,” kata Illian lagi.

Febri mengingatkan, saat dideklarasikan pada 12 Juli 2009, Cicak bertekad melawan koruptor yang hendak menggoyang KPK dari luar. Sebagai wujudnya adalah kriminalisasi yang berujung pada penahanan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

”Sekarang tugas Cicak lebih berat, yaitu membersihkan KPK dari kemungkinan serangan balik koruptor dari dalam. Sekarang ini kami nyaris patah hati melihat KPK lemah untuk membersihkan unsur buaya di tubuh mereka sendiri,” kata Febri lagi. (ahmad arif)
Sumber: Kompas, 24 Februari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan