Cendekiawan dan Korupsi

Banyak pihak yang terperangah, terkejut dan setengah tidak percaya ketika mendengar kabar KPK menangkap basah Mulyana W Kusumah saat mencoba menyuap auditor BPK. Bagaimana mungkin orang seperti Mulyana, aktivis HAM-cum-akademisi bisa melakukan tindakan serendah itu? Juga ketika KPK mulai mengarahkan penyelidikan dugaan korupsi di KPU. Bukankah sebagian besar anggota KPU adalah akademisi dan cendekiawan yang terhormat? Bagaimana mungkin mereka melakukan korupsi?

Julien Benda, penulis buku klasik, Pengkhianatan Kaum Intelektual, membagi masyarakat dalam dua bagian yang tidak bersentuhan sama sekali (Dhakidae, 2003). Pertama adalah cendekiawan yang dipandang sebagai golongan yang mendedikasikan hidupnya dalam pencarian kebenaran utama.

Mengikuti prinsip yang dikembangkan dalam metode ilmiah, pencarian terhadap kebenaran menjadi tujuan utama. Karena itu, cendekiawan dipandang bukanlah orang yang mengejar kepentingan duniawi. Cendekiawan tidak tergoda oleh nikmatnya kekayaan dan manisnya kekuasaan. Justru sebaliknya, mereka mencari kebenaran di dalam kesederhanaan.

Golongan kedua adalah kaum awam yaitu mereka yang seluruh hidupnya terikat kepada fungsi mengejar kepentingan material dan duniawi. Termasuk dalam golongan ini adalah pedagang, politikus, dan masyarakat biasa. Oleh Julien Benda, kaum awam ditempatkan pada posisi yang lebih rendah daripada cendekiawan. Karena itu, intelektual yang mengabdi kepada kaum awam, terutama penguasa, dianggap pengkhianat. Mereka mengkhianati tujuan hidupnya dan mengingkari posisi kelasnya yang terhormat.

Benda menempatkan cendekiawan dalam posisi yang sangat tinggi, bahkan nyaris absolut. Tetapi, realitasnya tidak hitam putih seperti yang ditulis oleh Julien Benda. Pencarian kebenaran yang menjadi obsesi oleh kaum cendekiawan sejatinya tidak berada di ruang hampa. Pengembangan ilmu pengetahuan membutuhkan campur tangan kekuasaan. Karena itu, sesungguhnya kekuasaan politik, dalam tingkatan tertentu, turut menentukan kebenaran itu sendiri.

Tentu masih segar dalam ingatan kita pengalaman di bawah pemerintahan

Orde Baru yang represif.

Kekuasaan turut menentukan apa yang boleh dipelajari, apa yang dilarang. Saat itu bahkan intelijen bisa hadir di ruang kelas, mengikuti ceramah akademis dan ikut menentukan buku apa yang boleh dan harus dibaca. Intervensi kekuasaan juga berimplikasi pada pendanaan. Topik penelitian yang disukai oleh penguasa akan mendapat kucuran dana besar. Sebaliknya, gagasan yang berseberangan atau paradigma yang berlawanan, tidak akan mendapat dukungan pendanaan yang memadai.

Oleh sebab itu, posisi cendekiawan tidaklah setinggi seperti yang digambarkan oleh Julien Benda. Bahkan cendekiawan kerap menjadi bagian dari aparatur kekuasaan. Apalagi kekuasaan juga beroperasi, salah satunya, melalui bahasa sehingga keberadaan cendekiawan sangat diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan.

Tentang cendekiawan, Daniel Dhakidae memberikan gambaran yang lebih realistis tentang cendekiawan. Menurutnya, cendekiawan merupakan hasil dari suatu pola hubungan antara modal, kekuasaan, dan kebudayaan. Karena itu, meskipun cendekiawan adalah anak kandung kebudayaan, eksistensinya tidak bisa dipisahkan dari modal dan kekuasaan (Dhakidae, 2003). Mengikuti pengertian ini, cendekiawan yang menjadi bagian dari kekuasaan, dapat dengan mudah tergelincir untuk menyalahgunakannya. Termasuk melakukan korupsi.

Pemilihan Umum 1999 diselenggarakan oleh KPU yang beranggotakan perwakilan partai politik. Dalam perjalanannya, KPU justru sering terperosok dalam konflik tiada akhir di antara anggotanya. Klimaksnya, hasil akhir dari Pemilu 1999 tidak ditentukan oleh KPU yang gagal menyatukan suara, melainkan oleh Presiden Habibie waktu itu.

Pada saat yang sama, berbagai dugaan korupsi merebak dalam pengadaan barang dan jasa di KPU. Korupsi diduga terjadi pada hampir seluruh pengadaan material untuk pemilu. Alih-alih mendapatkan harga murah dan menghemat keuangan negara, anggota KPU justru memberikan kontrak kepada pengusaha dekatnya. Karena korupsi, dua mantan anggota KPU telah divonis bersalah oleh pengadilan.

Belajar dari pengalaman, KPU pun diubah. Anggotanya bukan lagi perwakilan dari partai politik tetapi tokoh masyarakat yang independen. Diharapkan, mereka menjadi wasit yang adil bagi partaipolitik yang berkompetisi. Dalam situasi seperti ini, sejumlah cendekiawan dan aktivis berhasil menjadi anggota KPU.

Masuknya cendekiawan dalam KPU tidak bisa dilepaskan dari pandangan yang menempatkan kaum intelektual pada posisi tinggi dan terhormat dimasyarakat.

Para pencari kebenaran sejati itu dianggap tidak memiliki hasrat politik untuk berkuasa dan menimbun harta. Apalagi sebagian di antaranya masih aktif di dunia akademis. Dunia yang sangat mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan etos kerja keras. Karena itu, beranggotakan cendekiawan, KPU diharapkan menjadi wasit yang adil danbersih.

Pemilu 2004 berjalan dengan lancar. Bahkan ancaman munculnya konflik horizontal tidak terjadi selama proses pemilu. Dari sisi penyelenggaraan, KPU patut mendapat penghargaan. Tetapi keberhasilan menyelenggarakan Pemilu 2004 ternoda oleh dugaan korupsi. Seperti kejadian dalam Pemilu 1999, korupsi diduga mewarnai pengadaan barangdan jasa di KPU. Bahkan situasinya lebih buruk, anggota KPU nan terhormat justru tertangkap basah melakukan penyuapan.

Seakan tidak belajar dari pengalaman sebelumnya, ada sejumlah penjelasan mengapa KPU bisa jatuh dalam praktik korupsi. Pertama, korupsi pada dasarnya merupakan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Karena itu, korupsi hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memegang kekuasaan. Semakin besar kekuasaan, semakin besar pula godaan untuk melakukan korupsi. Dalam konteks ini, cendekiawan yang menjadi anggota KPU memegang kekuasaan yang amat besar dan dengan mudah tergoda untuk menyalahgunakannya.

Kedua, korupsi sering kali tidak terjadi dan dilakukan secara telanjang, seperti mengambil uang di atas meja. Korupsi dilakukandalam birokrasi dengan segala prosedurnya dan terjadi tanpa disadari. Seolah-olah dana yang mengalir ke kantong adalah harta yang sah. Karena itu, diperlukan keahlian teknis pada bidang-bidang khusus untuk bisa mencegah terjadinya korupsi. Dalam konteks ini, korupsi di KPU terjadi karena absennya sistem integritas.(J Danang Widoyoko, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW))

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 4 Mei 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan