Catatan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi
Di lingkungan media, semakin gencar media memberitakan kasus korupsi dan memperbanyak ruang untuk berita seputar hukum. Di tengah masyarakat, terjadi peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengungkap kasus-kasus korupsi dan tumbuhnya kelompok-kelompok antikorupsi di tingkat nasional ataupun daerah.
Mantan menteri, gubernur, bupati, jenderal, pengusaha, dan ketua lembaga negara sedang diperiksa, menjadi tersangka, bahkan terpidana dalam kasus korupsi merupakan berita harian yang menghiasi media pada 2005. Hal ini sangat boleh jadi efek dari dibentuknya lembaga independen antikorupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dua tahun lalu, tepatnya pada 29 Desember 2003. Dalam hal ini, terbentuknya KPK sudah dapat dikatakan menjadi momentum kebangkitan gerakan antikorupsi di Indonesia.
Di tingkat pemerintah, muncul Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Penyusunan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi. Di kalangan pengusaha, muncul Gerakan Antisuap dan Gerakan Bersih, Transparan, dan Profesional. Di lingkungan media, semakin gencar media memberitakan kasus korupsi dan memperbanyak ruang untuk berita seputar hukum. Di tengah masyarakat, terjadi peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengungkap kasus-kasus korupsi dan tumbuhnya kelompok-kelompok antikorupsi di tingkat nasional ataupun daerah. Di luar itu semua, masih banyak gerakan yang ikut meramaikan panggung pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kehadiran KPK dua tahun ini diyakini membangun harapan baru bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, dalam perjalanannya, ternyata KPK belum mampu memenuhi harapan rakyat. Kasus BLBI, korupsi mantan presiden Soeharto, kasus pembalakan kayu, politik main uang pada pemilu legislatif dan pemilu presiden 2004, kasus korupsi di birokrasi, korupsi di pabean dan pajak, serta kasus korupsi yang menyangkut kepala daerah dan anggota DPRD merupakan deretan pekerjaan rumah yang belum tersentuh oleh KPK. Di luar kasus-kasus di atas, masih banyak kasus korupsi yang secara langsung merugikan masyarakat, yaitu kasus korupsi di pelayanan publik: pungutan liar dalam pembuatan kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, sertifikat tanah, surat izin usaha, paspor, dan surat perizinan lainnya.
Pertanyaan yang muncul: mengapa KPK belum bisa memenuhi harapan masyarakat? Padahal, di satu sisi, masyarakat tahu bahwa KPK memiliki kewenangan yang luar biasa, bahkan sebagian orang menyebutnya superbody. Ada tiga hal yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, korupsi di Indonesia sudah menjadi penyakit kronis sejak berdirinya republik ini. Sulitnya pemberantasan korupsi bisa dipahami ketika takaran persoalan memang sudah di atas ambang batas. Korupsi telah menjadi penyakit sosial yang menjalar secara akut di sekujur tubuh komponen bangsa, bahkan sebagian kalangan menyebut bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Pada tataran ini, menjadi tidak mudah dan bahkan mustahil mengatasi dampak korupsi yang begitu besar dan kompleks, dengan cara-cara parsial. Menjadi mustahil mengatasi korupsi hanya bertumpu pada lembaga negara seperti KPK, meskipun mendapatkan kewenangan yang cukup besar.
Sulitnya pemberantasan korupsi saat ini tidak lepas dari masih melekatnya budaya birokrasi feodal di Indonesia. Terbongkarnya kasus Komisi Pemilihan Umum, kasus mafia peradilan, dan kasus korupsi lain di tingkat nasional dan di daerah membuktikan hal tersebut. Dalam setiap kasus korupsi yang terjadi, hampir semua operatornya adalah birokrat. Hal itu masih diperlancar dengan sistem birokrasi yang ada saat ini, yang notabene merupakan sistem birokrasi kerajaan, yaitu birokrasi yang belum menerapkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, pelayanan, dan meritokrasi.
Kedua, KPK belum memperlihatkan kinerjanya secara optimal sesuai dengan kewenangan yang diamanatkan undang-undang. Di dalam undang-undang, KPK berperan sebagai dirigen sekaligus pemain dalam gerakan pemberantasan korupsi nasional. Saat ini peran yang lebih menonjol dimainkan baru sebatas sebagai pemain. Maka tidak mengherankan apabila muncul keluhan-keluhan teknis dari para petingginya, seperti kurangnya personel, pendanaan yang tidak lancar, dan masih belum lengkapnya undang-undang pendukung. Keluhan itu mungkin benar apabila KPK menempatkan diri sebagai satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab untuk memberantas korupsi.
Tapi perlu dipertanyakan kalau kita menempatkan KPK sebagai lembaga ad hoc dalam pemberantasan korupsi. Pasal 4 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPTPK menyebutkan bahwa tujuan dibentuknya KPK adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tujuan itu secara implisit menjelaskan bahwa sebelum KPK dibentuk, sudah ada lembaga-lembaga negara lainnya yang melakukan upaya pemberantasan korupsi. Lembaga-lembaga lain itu kepolisian, kejaksaan, Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta inspektorat departemen dan lembaga nondepartemen. Selain itu, pascareformasi 1998, banyak tumbuh gerakan antikorupsi di tingkat nasional dan daerah. Mengingat tujuan di atas, sudah seharusnya KPK mengoptimalkan diri untuk berperan sebagai dirigen bagi lembaga-lembaga tersebut. Apalagi, di masa depan, lembaga-lembaga tersebut harus mengambil alih tanggung jawab pemberantasan korupsi setelah KPK dibubarkan.
Ketiga, tidak adanya strategi pemberantasan korupsi nasional. Korupsi, yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa, sudah seharusnya dihadapi dengan strategi yang luar biasa dalam pemberantasannya. Tidak optimalnya pemberantasan korupsi saat ini karena strategi yang digunakan masih menggunakan strategi konvensional. Lembaga-lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, bahkan KPK, bergerak dengan strategi masing-masing, tanpa dipandu dalam satu grand strategy yang merupakan hasil perumusan bersama. Tidak mengherankan apabila kewenangan KPK dalam hal koordinasi dan supervisi kurang berjalan secara optimal. Grand strategy dibutuhkan untuk menyatukan langkah lembaga-lembaga penegak hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi. Kesatuan langkah dibutuhkan untuk memunculkan kesadaran kolektif aparat penegak hukum, sehingga memunculkan ide-ide dan terobosan-terobosan yang luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Saat ini berbagai komponen bangsa telah bergerak menuju arah dan tujuan yang sama dalam gerakan pemberantasan korupsi. Kalau kita melihat ketiga jawaban tersebut di atas, keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia ternyata tidak bisa hanya dibebankan di pundak KPK. Tugas pemberantasan korupsi adalah tugas yang harus dipanggul oleh semua elemen bangsa. Tapi KPK, sebagai lembaga yang memegang amanat mengkoordinasi, mengawasi, dan melaksanakan pemberantasan korupsi, harus berani tampil paling depan; bukan seperti saat ini, masih ragu menggunakan kewenangannya. Selamat bekerja, KPK!
Agung Hendarto, Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 5 Januari 2006