Catatan dari Diskusi di Komisi Yudisial; Urgensi Kocok Ulang Hakim Agung

Kamis 19 Januari 2006, Komisi Yudisial (KY) mengadakan diskusi terbatas dengan akademisi dari beberapa universitas tentang kocok ulang hakim agung. Berikut catatan Moh. Mahfud M.D. untuk Jawa Pos yang hadir dalam diskusi itu. Catatan ini bukan kesimpulan diskusi, tetapi merupakan refleksi penulis.

Sungguh gila. Ketika Mahkamah Agung (MA) sedang dikepung sorotan kemarahan karena mafia peradilan, korupsi pengadilan (judicial corruption) tetap berjalan normal. Saifuddin Popon tertangkap ketika akan menyerahkan suap kepada seorang panitera pengadilan.

Hakim Herman Allositandi ditangkap karena dugaan dan bukti awal yang kuat memeras Wolter dengan ancaman akan dijadikan tersangka karena kesaksiannya di pengadilan, kecuali mau memberikan Rp 200 juta. Pegawai MA James D. Tony dipecat dan diproses secara hukum karena memeras Shanti yang perkaranya diuruskan di MA hingga menang.

Hal itu terjadi justru ketika MA disorot tak mampu memberantas, bahkan menjadi sarang mafia peradilan. Sorotan dari berbagai penjuru itu dipicu laporan penyuapan Probosutedjo dengan segala rentetan peristiwanya.

Sementara itu, solidaritas paranoid -para hakim saling melindungi teman sekorpsnya- diduga tetap menjadi penghambat dominan untuk membersihkan dunia peradilan.

Indonesia hancur karena korupsi, korupsi subur karena peradilan korup, dan dunia peradilan sulit dibersihkan tanpa cara luar biasa. Cara biasa sudah dicoba dengan berbagai langkah, tetapi selalu gagal.

Itulah alasan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang kocok ulang hakim agung banyak didukung, meski ada yang menentang. Perdebatan hukum dan politik memang tak bisa dielakkan.

Persoalan Hukum
Ada yang menyatakan bahwa pembuatan perpu kocok ulang itu tak bisa dilakukan karena tak ada keadaan darurat (kegentingan) seperti yang dimaksudkan pasal 22 UUD 1945. Perpu hanya bisa dibuat dalam kegentingan yang memaksa. Hal itu terkait dengan hak atau hukum darurat negara yang ukuran yuridisnya harus jelas. Betulkah?

Ada hukum darurat yang konstitusional-objektif dan ekstra konstitusional-subjektif. Dengan konstitusional-objektif, pembuatan hukum darurat harus didasarkan pada peraturan dengan kriteria yang ada sebelumnya dalam peraturan perundang-undangan.

Pada yang ekstra konstitusional-subjektif, pembuatan hukum darurat tidak harus didasarkan pada peraturan dan kriteria yang ada sebelumnya, melainkan bergantung pada subjektivitas penguasa yang mengeluarkannya. Dasarnya adalah salus populi supremelex, keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi.

AALF Van Dullemen dalam buku Staasnoodrecht en Democratie (1947) menyebutkan empat syarat hukum tata negara darurat yang sah. (1) Harus menjadi nyata bahwa kepentingan negara yang tertinggi menjadi taruhan, eksistensi negara bergantung pada dilakukannya tindakan darurat tersebut. (2) Tindakan itu sangat diperlukan dan tak bisa diganti tindakan lain. (3) Tindakan tersebut bersifat sementara (berlaku sekali atau dalam waktu pendek untuk sekadar menormalkan kembali. Dan, (4) ketika tindakan diambil, parlemen tak dapat bersidang secara nyata dan sungguh. Menurut Dullemen, jika salah satu syarat tersebut tak terpenuhi, darurat itu tak boleh ada.

Dalam teori maupun sejarah ketatanegaraan kita memang ada hukum darurat yang konstitusional-objektif dan ekstra konstitusional-subjektif. Yang konstitusional-objektif (ada peraturan dan kriterianya lebih dulu) lebih dikaitkan dengan pasal 12 UUD 1945 karena terjadinya kerusuhan atau gerakan fisik yang masif dan nyata-nyata mengancam. Misalnya, darurat sipil di Maluku Utara yang dituangkan dalam sebuah keppres. Pasal 12 UUD 1945 berbunyi, presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan UU.

Sementara itu, ekstra konstitusional-subjektif (berdasar pertimbangan subjektif penguasa dan tak harus ada aturan lebih dulu) lebih dikaitkan pada pasal 22 yang memberikan hak kepada presiden untuk membuat perpu dalam hal kegentingan yang memaksa. Perpu tersebut bukan nama bentuk resmi menurut UUD 1945. Sebab, UUD hanya menyebutkan bisa membuat peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

Konstitusional-Objektif
Hukum darurat yang konstitusional-objektif sampai saat ini diatur Perpu No 23/1959 jo UU No 52/Prp/1960 jo UU No 1/1961. Dalam perpu/UU tersebut, keadaan yang mendasari penetapan hukum darurat negara dibedakan atas tiga macam. Pertama, keadaan darurat sipil, jika keamanan atau ketertiban hukum terancam pemberontakan, kerusuhan, atau bencana alam yang tak bisa diatasi alat perlengkapan secara biasa, aparat pemerintah yang reguler-organik lumpuh dan tak mampu mengatasi keadaan.

Kedua, keadaan darurat militer, jika timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan terjadi perkosaan terhadap keutuhan wilayah negara RI. Itu bisa diartikan perang melawan kekuatan dalam negeri yang melawan pemerintah yang sah. Misalnya, separatisme.

Ketiga, keadaan darurat perang, jika eksistensi negara terancam bahaya atau jika dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada yang bisa membahayakan eksistensi hidup negara. (bersambung)

*. Moh. Mahfud M.D., guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta dan di beberapa perguruan tinggi di Indonesia

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 23 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan