Catatan Akhir Tahun Agenda Pemberantasan Korupsi 2019 Indonesia Corruption Watch

Lumpuhnya Pemberantasan Korupsi di Tangan Orang “Baik”
(Ki-Ka) Tibiko Zabar, Kurnia Ramadhana, dan Wana Alamsyah, menyampaikan catatan akhir tahun agenda pemberantasan korupsi 2019 Indonesia Corruption Watch pada konferensi pers di Kantor ICW, 29 Desember 2019 (Dok. ICW)
(Ki-Ka) Tibiko Zabar, Kurnia Ramadhana, dan Wana Alamsyah, menyampaikan catatan akhir tahun agenda pemberantasan korupsi 2019 Indonesia Corruption Watch pada konferensi pers di Kantor ICW, 29 Desember 2019 (Dok. ICW)

Pendahuluan

Laporan ini menganalisis agenda pemberantasan korupsi sepanjang tahun 2019 dengan mengidentifikasi kebijakan anti korupsi Pemerintah, baik pada tataran legislasi/ regulasi, program aksi, maupun sikap Pemerintah pada isu spesifik yang relevan dengan tema anti korupsi. Karena kebijakan publik tidak bisa lepas dari konteks politik, kebijakan anti korupsi Pemerintah juga tidak dapat dilepaskan dari dua konteks yang menguat pada 2019 yakni, konsolidasi elit dan partai politik paska pemilu Presiden, dan menguatnya eksistensi populisme teknokratis, yang mewujud dalam diri Jokowi pada periode pertama dan kedua kekuasaannya.

Pada dasarnya, dua konteks di atas secara eksplisit tidak memberikan keuntungan bagi program pemberantasan korupsi, melainkan kian melumpuhkan agenda dan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Pernyataan ini tidak dalam pengertian bahwa pemerintah Jokowi sama sekali tidak memiliki perhatian pada agenda anti korupsi. Hanya saja, program anti korupsi Jokowi terbatas pada reformasi sektor ekonomi dan bisnis, yang tujuan utamanya adalah menciptakan iklim investasi yang sehat, sementara program anti korupsi pada sektor lain tidak diprioritaskan karena benturan dan konfrontasi dengan partai dan elit bukan jalan yang ditempuh Presiden.

Konsekuensinya dapat kita lihat dari kebijakan legislasi terkait revisi UU KPK yang materi perubahannya benar-benar memporak-porandakan eksistensi KPK sebagai badan anti korupsi independen. Pada saat yang sama, Presiden Jokowi memiliki kepentingan untuk menciptakan suasana yang teduh, tanpa ada kegaduhan yang kerap diasosiasikan dengan operasi tangkap tangan KPK.

Hasilnya, revisi UU KPK berhasil digolkan -terlepas dari berbagai aksi protes masyarakat dan mahasiswa di berbagai daerah- karena dua titik kepentingan bertemu, yakni kepentingan elit partai untuk mengamputasi KPK dan kepentingan Presiden untuk ‘menertibkan’ hal-hal yang berbau keributan. Revisi UU KPK adalah tahap kedua setelah pada tahap sebelumnya, Presiden dan DPR menyepakati paket Pimpinan KPK yang diketuai oleh polisi aktif, Firli Bahuri.

Tipikal dari populisme adalah mengabaikan kesepakatan internasional. Meskipun KPK adalah produk dari konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC, 2003) di mana badan anti korupsi independen adalah salah satu prasyarakat bagi pemberantasan korupsi, UU KPK baru menempatkan KPK sebagai bagian dari eksekutif, bahkan menempatkan KPK sebagai lembaga setingkat kementerian dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Laporan ini juga menyoroti dan mengkritisi program aksi pencegahan korupsi (Strategi Nasional Pencegahan Korupsi) yang sangat terbatas ruang lingkupnya, dan menjadi mekanisme ‘cuci tangan’ Pemerintah atas agenda anti korupsi dengan menyerahkan mandat dan sekretariat nasional pencegahan korupsi di KPK. Tentu dengan mudah Pemerintah bisa menyalahkan KPK jika agenda Stranas PK tidak berjalan efektif.

Beberapa kebijakan anti korupsi yang muncul pada tahun 2019 juga dikritisi untuk memberikan catatan arah dan agenda anti korupsi Pemerintah ke depan.  

  • Presiden Ingkar Janji untuk Memperkuat KPK
  1. Terpilihnya Sosok Tidak Berintegritas Menjadi Pimpinan KPK

Sebagaimana yang diketahui bahwa tahun 2019 menjadi era akhir dari kepemimpinan Agus Rahardjo cs sebagai Komisioner KPK. Untuk itu pada pertengahan Mei Presiden Joko Widodo membentuk Panitia Seleksi (Pansel) untuk menjaring lima Komisioner KPK baru. Namun alih-alih mendapatkan figur yang berintegritas, proses seleksi Komisioner KPK tersebut justru menghasilkan orang-orang bermasalah.

ICW setidaknya memiliki 3 (tiga) catatan selama proses seleksi ini berlangsung, yakni:

  1. Mengabaikan Nilai Integritas

Kesimpulan ini diambil karena sejak awal Pansel tidak menganggap isu Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menjadi sebuah entitas penting. Padahal Pasal 29 angka 11 UU KPK sebelumnya telah tegas menyebutkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Pimpinan KPK harus mengumumkan kekayaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akibatnya, terdapat figur diantara lima Komisioner KPK yang terpilih justru ditemukan sempat tidak melaporkan LHKPN pada KPK.

  1. Mengesampingkan Isu Rekam Jejak

Hal ini sangat terlihat sekali ketika Presiden maupun DPR meloloskan figur yang diduga mempunyai banyak persoalan. Misalnya saja, Ketua KPK saat ini, Komjen Firli Bahuri, adalah figur yang diduga pernah melanggar kode etik saat menjabat Deputi Penindakan di lembaga anti rasuah tersebut.

  1. Tidak Mengakomodir Masukan Publik

Penting untuk diingat bahwa KepPres pembentukan Pansel serta UU KPK selalu menempatkan masyarakat sebagai stakeholder pemberantasan korupsi. Namun alih-alih mandat itu dilaksanakan, Pansel ataupun DPR malah menutup akses publik dan tetap bertahan dengan calon yang diduga banyak memiliki persoalan di masa lalu.

  1. Presiden dan DPR Berhasil Menghancurkan KPK dengan Merevisi UU KPK

Niat buruk pemerintah dan DPR untuk menggembosi KPK akhirnya berhasil. Tanggal 17 Oktober lalu UU KPK resmi berganti menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Hampir seluruh kewenangan KPK dibajak dengan hadirnya regulasi ini. Presiden Joko Widodo pun patut dijadikan sebagai salah satu aktor utama dari pelemahan KPK karena bertindak diam tanpa ada upaya penyelamatan yang konkrit.

ICW mencatat setidaknya ada 3 (tiga) persoalan utama dari hadirnya regulasi ini:

  1. Mengabaikan Aspek Formil Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Pembentuk UU (Presiden dan DPR) terkesan serampangan saat membahas dan mengesahkan revisi UU KPK. Berbagai persoalan menyelimuti proses kilat pengesahan regulasi ini. Misalnya, UU KPK tidak masuk dalam daftar program legislasi nasional prioritas DPR tahun 2019, pengesahan UU KPK tidak diikuti keseluruhan anggota DPR dalam sidang paripurna, dan diperparah dengan KPK yang tidak dilibatkan sedikit pun selama proses perencanaan, pembahasan, dan pengesahan.

  1. Substansi Melucuti Kewenangan KPK

Isi dari UU KPK sebenarnya menggambarkan ketidakpahaman pemerintah dan DPR dalam menguatkan lembaga anti korupsi tersebut. Catatan ICW setidaknya ada 15 poin dalam UU KPK baru yang akan memperkecil ruang gerak lembaga anti rasuah itu untuk menindak kejahatan korupsi. Misalnya saja, pembentukan Dewan Pengawas dengan kewenangan berlebih, penerbitan surat perintah penghentian penyidikan, perubahan status pegawai menjadi aparatur sipil negara, dan pencabutan kewenangan Komisioner KPK sebagai penyidik dan penuntut umum.

  1. Melenceng dari Kesepakatan Internasional (UNCAC dan Jakarta Principles)

Indonesia pada dasarnya adalah satu dari sekian banyak negara yang telah menandatangani dan meratifikasi konvensi PBB melawan korupsi (UNCAC). Tak hanya itu, bahkan Indonesia juga menjadi tuan rumah pertemuan lembaga anti korupsi dunia dan menghadirkan kesepakatan Jakarta Statement of Principles for Anti-Corruption Agencies. Fatalnya, kebijakan legislasi dengan merevisi UU KPK yang menegasikan independensi justru bertolak belakang dengan kesepakatan internasional tersebut. Misalnya, perubahan status kelembagaan KPK menjadi bagian dari pemerintah dan status pegawai lembaga anti rasuah itu sebagai aparatur sipil negara.

  • Marak Vonis Ringan untuk Koruptor

Potret berulang vonis ringan terhadap pelaku korupsi kembali terjadi di tahun 2019. Hal yang sedikit berbeda adalah kali ini pemberian diskon hukuman juga marak terjadi di tingkat Peninjauan Kembali (PK). Tidak bisa dibantah bahwa Mahkamah Agung (MA) tidak lagi dianggap lembaga pemberi keadilan untuk kasus korupsi sejak ditinggal Artidjo Alkostar.

Di tengah seringnya lembaga peradilan menjatuhkan vonis ringan terhadap pelaku korupsi, setidaknya ada 2 (dua) putusan yang cukup fatal bagi pemberantasan korupsi. Pertama, vonis lepas terdakwa kasus BLBI, Syafruddin Arsyad Tumenggung - mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional - pada tingkat kasasi. Kedua, vonis bebas terdakwa kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1, Sofyan Basir – mantan Direktur PLN - pada persidangan tingkat pertama. Dua putusan ini seakan meruntuhkan kerja keras penegak hukum untuk mengungkap skandal korupsi tersebut.

Tak hanya itu, sepanjang bulan Desember saja Mahkamah Agung juga memberikan pengampunan terhadap dua terdakwa korupsi, yakni Idrus Marham (5 tahun menjadi 2 tahun) dan Lucas (5 tahun menjadi 3 tahun). Ini membuktikan bahwa lembaga peradilan tidak lagi berpihak pada pemberantasan korupsi. Ditambah lagi dengan minimnya seruan dari Ketua Mahkamah Agung untuk menjadikan putusan tindak pidana korupsi mengedepankan aspek penjeraan bagi pelaku.

Seperti yang disinggung di atas bahwa tren hukuman ringan melalui upaya hukum luar biasa peninjauan kembali meningkat drastis. Sepanjang tahun 2019 ICW mencatat setidaknya ada enam putusan yang meringankan narapidana korupsi, mulai dari Irman Gusman, Choel Mallarangeng, Suroso, Tarmizi, Patrialis Akbar, dan Sanusi. Selain itu gelombang narapidana korupsi yang mencoba peruntungan melalui peninjauan kembali pun tak kalah banyak, saat ini saja terdapat 23 pelaku korupsi yang sedang berproses di Mahkamah Agung.

Untuk itu menjadi penting bagi MA untuk berbenah. Bagaimana pun beberapa waktu lalu publik masih mengingat secara jelas bagaimana Hakim yang menyidangkan kasasi BLBI dijatuhi sanksi etik karena diduga bertemu dengan pengacara terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung. Bukan tidak mungkin vonis ringan selama ini dijadikan bancakan untuk melakukan kejahatan korupsi oleh oknum di Pengadilan.

  • Legislasi Pro Koruptor
  1. Memaksakan Tindak Pidana Korupsi Masuk dalam RKUHP

Polemik atas niat pemerintah dan DPR untuk membentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru masih terus mendapatkan sorotan tajam oleh masyarakat. Terkhusus pada isu pemberantasan korupsi, pembentuk UU tetap bersikukuh untuk memasukkan delik tindak pidana korupsi ke dalam KUHP baru. Hal ini akan berimplikasi buruk, sebab, kejahatan korupsi dikhawatirkan tidak lagi dianggap sebagai extraordinary crime melainkan hanya sekadar tindak pidana biasa atau konvensional.

ICW mencatat setidaknya ada 3 (tiga) catatan atas masuknya delik tindak pidana korupsi ke dalam KUHP:

  1. Turunnya Pemidanaan Penjara dan Denda bagi Pelaku Korupsi

Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 603 yang mana merupakan pengejawantahan Pasal 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika sebelumnya dalam Pasal 2 hukuman minimalnya 4 tahun, akan tetapi dalam RKUHP justru dikurangi menjadi 2 tahun. Untuk denda sendiri yang pada awalnya memungkinkan sampai pada Rp 200 juta dan Rp 50 juta, saat ini turun drastis menjadi Rp 10 juta.

  1. Pidana Uang Pengganti Tidak Masuk dalam RKUHP

Sebagaimana diketahui bahwa poin pembayaran uang pengganti sangat dibutuhkan dalam kerangka isu asset recovery. Sebab, jika hanya mengandalkan pemidanaan penjara tentu tidak akan memberikan efek jera yang maksimal, utamanya pada kejahatan korupsi yang berdimensi kerugian negara. Namun dalam draft RKUHP justru ketentuan ini tidak terlihat sebagai salah satu alternatif jenis pemidanaan.

  1. Revisi UU Pemasyarakatan yang Berpihak pada Koruptor

Pemerintah dan DPR bersepakat untuk merevisi UU tentang Pemasyarakatan. Alih-alih mengedepankan pemberian efek jera, justru yang terlihat adalah negara malah mempermudah akses narapidana korupsi untuk mendapatkan pengurangan hukuman.

Sebagai contoh terkait dengan pemberian remisi bagi pelaku korupsi. Jika merujuk pada PP 99/2012 seorang pelaku korupsi bisa mendapatkan remisi jika berstatus sebagai justice collaborator. Namun, dalam revisi UU Pemasyarakatan hal ini luput dari pembentuk UU. Sehingga, pelaku korupsi akan mudah mendapatkan pengurangan hukuman dari negara, sekaligus menegasikan kejahatan korupsi sebagai extraordinary crime.

Selanjutnya terkait dengan pembebasan bersyarat. Dalam revisi UU Pemasyarakatan sama sekali tidak mensyaratkan peran penegak hukum (KPK) untuk merekomendasikan, apakah narapidana berhak atau tidak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Padahal sebelumnya masih dalam aturan yang sama – PP 99/2012 – mensyarakatkan rekomendasi dari penegak hukum untuk dapat direkomendasikan mendapat pembebasan bersyarat.

  • Narasi Usang Hukuman Mati Koruptor

Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan tentang hukuman mati bagi pelaku korupsi saat perayaan Hari Anti Korupsi Dunia 2019. Sepintas Presiden serius dalam isu pemberantasan korupsi, namun hukuman mati bukan merupakan strategi efektif untuk memberantas korupsi. Pernyataan tersebut sekedar upaya upaya Presiden untuk menghindar dari pertanyaan publik terkait PerPU KPK.

  • Presiden Hanya Fokus pada Isu Pencegahan Korupsi

Berulang kali Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa hanya mengandalkan sektor penindakan, namun juga harus masuk pada isu pencegahan. Dari sini terlihat Presiden tidak memahami bahwa penegak hukum (KPK) memiliki keterbatasan. Sebab, wewenang KPK hanya sebatas memberikan rekomendasi, eksekutornya tetap pada ranah eksekutif. Ambil contoh pada proyek pengadaan KTP-Elektronik, saat itu KPK sudah memberikan hasil kajian bahwa rencana pemerintah kala itu berpotensi dijadikan bancakan korupsi. Namun pemerintah tetap bergeming dan melanjutkan proyek yang diketahui saat ini menimbulkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.

  • Presiden Berpihak Pada Kartel Politik
  1. Kabinet Gemuk Dan Bermasalah

Presiden Joko Widodo tak memegang teguh nilai-nilai antikorupsi dalam pengangkatan menteri, wakil menteri, dan jabatan-jabatan publik lainnya. Ia tak mendasari keputusannya atas pertimbangan integritas dan kapasitas. Kabinet rezim Joko Widodo gemuk dan dipenuhi orang-orang bermasalah.

  1. Kabinet Bagi-Bagi Kursi

Kabinet hanya didasarkan pada bagi-bagi kursi guna mengamankan posisi rezim pemerintahannya yang kedua. Kabinet Indonesia Maju 2019 – 2024 kemudian menjadi gemuk. Total sebanyak 34 Menteri, 4 Pimpinan Lembaga, dan 12 Wakil Menteri telah ia lantik. Ia juga turut menempatkan individu-individu yang terafiliasi dengan sosok tertentu dalam jabatan lain seperti staf khusus.

  1. Tak melibatkan KPK dan PPATK

KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tak lagi dilibatkan sebagaimana 2014 lalu saat ia hendak mengangkat menteri.

  1. Mempertahankan dan mengangkat figur-figur bermasalah

Terdapat sejumlah nama-nama bermasalah dalam Kabinet Indonesia Maju 2019 – 2024. Nama seperti Yasonna Laoly, yang terang-terangan memiliki rekam jejak buruk dalam pemberantasan korupsi kembali diangkat olehnya. Yasonna terlibat aktif dalam memuluskan jalan revisi UU KPK. Namanya juga tersangkut dalam dakwaan KPK atas perkara megakorupsi E-KTP. Tito Karnavian, mantan Kepala Kepolisian RI juga diangkat olehnya. Padahal ia disebut-sebut terlibat dalam skandal buku merah di KPK dan tidak berhasil mengungkap pelaku kekerasan terhadap Novel Baswedan dan ancaman teror terhadap Pimpinan KPK.

  1. Mengangkat figur-figur yang berafiliasi dengan partai politik di kementerian sektor hukum

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Jasa Agung ST Burhanuddin terafiliasi dengan PDIP. ST Burhanuddin adalah adik kandung politisi PDIP TB Hasanuddin. Langkah ini tak patut dilakukan guna mewujudkan penegakan hukum yang adil dan imparsial. Presiden mengulang kesalahan pada periode pertama.

  1. Kabinet para pebisnis

Presiden Joko Widodo sangat memanjakan para pebisnis. Nama-nama seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Erick Thohir, Airlangga Hartarto, hingga Prabowo Subianto ia angkat sebagai menteri. Akibatnya rezim Jokowi jilid II rawan tersandera kepentingan bisnis. Fenomena state capture besar kemungkinan akan marak terjadi.

  1. Tutup Mata Terhadap Praktik Perburuan Rente (Rent-Seeking)

Pebisnis batu bara menguasai kabinet rezim Jokowi jilid II. Di sektor lainnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yakni pangan, ia melakukan praktik pembiaran terhadap para pemburu rente. Sektor pangan, sebagaimana sektor sumber daya alam, energi, pajak, adalah salah satu sektor “basah”. Pemburu rente yang merupakan pengusaha dan politisi kerap mencari keuntungan dalam sektor tersebut. Akibatnya perekonomian negara dalam jumlah besar bisa lenyap.

  1. Kasus Gula Rafinasi

Presiden Joko Widodo melakukan pembiaran terhadap perburuan rente dalam kasus gula kristal rafinasi. Melalui peraturan menteri perdagangan no 16/2017, jual beli gula rafinasi ditetapkan dilakukan melalui proses lelang. Namun peraturan tersebut bermasalah karena terindikasi telah dirancang untuk menguntungkan pemburu rente. Peraturan itu banyak menabrak peraturan perundang-undangan. PT Pasar Komoditas Jakarta (PKJ), perusahaan yang belum satu tahun berdiri ditunjuk menjadi penyelenggara lelang. Peraturan menteri perdagangan tersebut lalu dicabut.

KPK menggeledah ruangan bekas Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita guna mencari dokumen terkait peraturan lelang gula rafinasi. Namun hingga Enggartiasto lengser, lagi-lagi tak ada langkah dari rezim pemerintahan Jokowi untuk menyelesaikan permasalahan itu.

  1. Kasus Bawang Putih

ICW menemukan permasalahan dalam impor bawang putih. Terdapat indikasi penggelembungan harga impor bawang putih sebesar Rp 3,338 triliun. Banyak dari pelaku importir bawang putih merupakan perusahaan yang bermasalah..

Pada Agustus 2019, KPK menetapkan 6 orang tersangka dalam dugaan perkara suap terkait impor bawang. Diantara mereka adalah Chandry Suanda, Direktur PT Cahaya Sakti Agro, dan I Nyoman Dhamantra, anggota DPR RI dari PDIP. Nama anak Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Muhammad Rizky Pratama, bahkan sempat disinggung oleh Jaksa KPK dalam sidang kasus tersebut.

Namun tak ada langkah jelas dari pemerintah guna menyelesaikan masalah impor bawang putih.

  • Negara Gagal dalam Melindungi Pegiat Antikorupsi dari Teror

Berdasarkan catatan sejak tahun 1996 hingga Desember 2019, kasus teror yang dialami oleh pegiat antikorupsi ada sebanyak 92 kasus dan korbannya mencapai 118 orang. Namun sayangnya hampir keseluruhan kasusnya tidak dapat dituntaskan oleh kepolisian, Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara abai dalam melindungi hak-hak pegiat antikorupsi. Berikut tiga kasus yang tidak terselesaikan secara tuntas oleh negara.

  1. Kasus Mangkrak Penyerangan Terhadap Novel Baswedan

Novel Baswedan merupakan penyidik KPK sejak tahun 2007. Sebagai penyidik, ia sering menangani kasus yang melibatkan aktor strategis sehingga teror terhadap dirinya bukan hanya satu kali saja. Menurut catatan ICW, ia mendapatkan serangan setidaknya 5 (lima) kali. Terakhir, pada 11 April 2017 ketika pulang dari masjid ia diserang oleh orang yang tidak dikenal menggunakan air keras yang menyebabkan mata kirinya tidak dapat melihat. Namun, hingga saat ini negara tidak hadir dalam upaya untuk menuntaskan kasus yang menimpa Novel Baswedan.

  1. Pembiaran Kasus Ancaman Bom Terhadap Pimpinan KPK

Pada 9 Januari 2019, rumah pribadi dua pimpinan KPK yaitu Agus Rahardjo dan Laode M Syarif diteror menggunakan bom. Hingga saat ini kasusnya tidak ada perkembangannya sama sekali. Bahkan sketsa wajah terduga peneror bom saja tidak kunjung selesai hingga saat ini.

Kasus teror yang menimpa para karyawan bahkan pimpinan KPK bukan kali ini saja. ICW mencatat ada sebanyak 15 orang yang bekerja di KPK -baik sebagai karyawan maupun komisioner- telah mengalami teror. Jenis terornya bermacam-macam, mulai dari kriminalisasi hingga kekerasan.

  1. Peretasan Sebagai Cara Baru Koruptor Menyerang Pegiat Anti korupsi

Saat ini serangan yang ditujukan kepada pegiat antikorupsi bermetamorfosa ke bentuk lain, yaitu peretasan alat komunikasi. Serangan digital yang dialami oleh para pegiat antikorupsi merupakan bentuk baru dari upaya untuk melemahkan gerakan antikorupsi. Tujuan pelaku diduga ingin mendapatkan informasi mengenai strategi advokasi yang sedang dan akan dilakukan oleh para pegiat antikorupsi. Selain itu juga untuk memberikan informasi yang keliru ketika alat komunikasinyanya telah diambil alih oleh pelaku kejahatan.

Berdasarkan catatan ICW, terdapat sebanyak 3 (tiga) korban yang mengalami serangan digital pada saat melakukan advokasi tolak revisi UU KPK. Dua dari tiga orang tersebut merupakan akademisi yang rutin menyuarakan sikapnya terhadap pelemahan KPK melalui revisi UU KPK. Pola serangan yang dilakukan yaitu pelaku melakukan panggilan ke nomor target dengan menggunakan nomor yang berasal dari luar negeri secara terus menerus dan berbeda-beda. Dampak dari tindakan tersebut yakni nomor target sulit untuk mengangkat telepon dari orang yang dikenalnya. Selain itu, target tidak dapat melakukan aktivitas apapun di MP-nya karena telepon masuk yang nomornya tidak jelas tersebut.

Pola lainnya yaitu pelaku melakukan peretasan terhadap alat komunikasi milik target dengan mengirimkan pesan ke seluruh kontak yang berisi mendukung revisi UU KPK. Ketika seseorang ingin mengkonfirmasi keabsahan pesan tersebut kepada si target, nomor teleponnya tidak aktif karena telah diambil alih oleh pelaku.

  • Stranas PK

Dalam upaya untuk mencegah korupsi, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Perpres STRANAS PK). Program tersebut berjalan mulai dari tahun 2019 hingga 2020. Terdapat dua isu yang dipantau oleh ICW, yakni perbaikan kelola pengadaan barang dan jasa, dan perbaikan tata kelola pengadilan terpadu. Dari dua isu tersebut, ICW memandang bahwa pemerintah belum secara sungguh-sungguh melaksanakan fungsi pencegahan korupsi, setidaknya di 10 wilayah yang terpantau.

Pada tahun pertama pelaksanaan STRANAS PK, perbaikan tata kelola pengadaan barang dan jasa baru bersifat administratif. Padahal salah satu persoalan dalam pengadaan adalah upaya untuk memecah paket agar menghindar dari proses lelang. Hal ini yang membuat mekanisme check and balances terhadap proses pengadaan tidak terjadi dan menutup ruang bagi masyarakat untuk melakukan pemantauan.

Terkait dengan perbaikan tata kelola pengadilan terpadu pun tidak berjalan cukup baik. Salah satu indikator yang paling dasar yaitu pengiriman data SPDP online oleh kepolisian dan kejaksaan ke KPK.

  • Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4)

Sejak TP4 dibentuk pada tahun 2015 dan kemudian dibubarkan pada tahun 2019, masyarakat tidak pernah mengetahui hasil evaluasi program besutan HM Prasetyo tersebut. Sebab sedari awal, konsep tim tersebut adalah produk gagal yang tidak sejalan dengan tugas dan kewenangan kejaksaan. Sehingga pembentukkannya berpotensi maladministrasi. Bahkan anggota tim tersebut dapat berpotensi melakukan korupsi seperti yang terjadi pada jaksa di Yogyakarta.

Secara kapasitas, kejaksaan tidak boleh mencampuri urusan yang berkaitan dengan proyek-proyek pemerintahan dalam aspek pengawasan. Sebab akan terjadi tumpang tindih karena kerja-kerja pengawasan sudah menjadi mandat inspektorat, BPK, ataupun BPKP. Kejaksaan hadir apabila ada potensi pelanggaran hukum terjadi. Ketika jaksa masuk dalam ranah pengawasan yang mana ada celah atau potensi korupsinya, maka akan menjadi konflik kepentingan bagi jaksa untuk menangani kasus tersebut.

  • Reformasi Birokrasi Terganjal Korupsi

Masalah ASN koruptor sebenarnya tidak lepas dari persoalan krusial birokrasi saat ini yang berkaitan erat dengan korupsi, konflik kepentingan, dan lemahnya pengawasan antar lembaga (pemerintah pusat dan daerah) termasuk oleh inspektorat. ICW mencatat ASN masih menempati peringkat teratas sebagai aktor tersangka korupsi yang paling banyak. Kasus yang melibatkan ASN juga sangat beragam, mulai dari pungutan liar, suap perizinan, jual beli jabatan, hingga korupsi pengadaan barang dan jasa.

Sebagai contoh dalam kasus jual beli jabatan, proses seleksi jabatan tinggi sebenarnya telah menerapkan sistem merit sebagaimana UU ASN. Namun, mekanisme seleksi yang sudah baik dicurangi dengan praktik transaksional atau jual beli jabatan. Rekomendasi KASN pun tak selalu ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama yang melibatkan Anggota DPR RI sekaligusKetua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuzy adalah bukti yang menunjukkan bahwa praktik jual beli jabatan masih terjadi dan pengawasan eksternal diabaikan. KASN menengarai jual beli jabatan tak hanya terjadi di Kemenag melainkan 90% kementerian dan lembaga.

Sejumlah data di atas sebenarnya menunjukan kerentanan ASN terhadap praktik korupsi yang sebenarnya kerap berdampak atau dirasakan langsung oleh masyarakat (petty corruption). Tentu ini menjadi catatan serius bagi upaya reformasi birokrasi yang selama ini digalakan oleh pemerintah.

  • Birokrat Korup Merajalela

Pemerintahan nampaknya lemah dalam mewujudkan agenda pemberantasan korupsi khususnya pada sektor birokrasi. Hal tersebut setidaknya terlihat dari polemik Aparatur Sipil Negara (ASN) terpidana korupsi yang dinilai gagal diselesaikan pemerintah sesuai tenggat waktu yang disepakati. Bahkan persoalan tersebut berlarut tak urung rampung hingga memasuki pertengahan tahun 2019.

Presiden Jokowi melalui Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Badan Kepegawaian Negara dianggap sangat lamban dalam merespon persoalan adanya ASN terpidana korupsi yang belum dipecat oleh negara dan tetap digaji. Padahal telah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) tertanggal 13 September 2018, dengan tenggang sampai akhir Desember 2018 tentang Penegakan Hukum Terhadap Pegawai Negeri Sipil yang Telah Dijatuhi Hukuman Berdasarkan Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan atau Tindak Pidana Kejahatan yang Ada Hubungannya Dengan Jabatan.

Berdasarkan data BKN yang ICW dapatkan, per tanggal 17 September 2018 terdapat 2.357 ASN terpidana korupsi yang belum dipecat. Sebanyak 98 ASN di Kementerian dan 2.259 ASN di provinsi, kabupaten, dan kota. Upaya untuk mendorong percepatan pemecatan ASN terpidana korupsi hingga kini belum jelas perkembangannya. Akhir Januari 2019, masih terdapat 1.466 ASN terpidana korupsi belum diberhentikan. Padahal proses ini seharusnya tuntas pada Desember 2018, namun diundur sampai April 2019.

Bahkan berdasarkan pantauan media, hingga 12 Agustus 2019 pemecatan ASN koruptor ternyata juga tak kunjung rampung. Terhitung sejak pertengahan Agustus 2019, setidaknya masih terdapat 437 ASN koruptor yang belum dipecat. Padahal berlarut-larutnya persoalan ini akan berimplikasi pada keuangan negara yang berpotensi menimbulkan kerugian. Lambatnya proses pemecatan merupakan bentuk ketidakpatuhan PPK terhadap peraturan perundang-undangan mau pun ketidaktegasan Jokowi melalui jajaran menterinya. Ini juga menunjukkan ciri-ciri birokrasi dengan ketiadaan komitmen antikorupsi

  • Kesehatan JKN

Melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan nama Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dikelola oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, negara berusaha hadir di tengah masyarakat untuk memastikan seluruh penduduk Indonesia terlindungi oleh jaminan kesehatan yang komprehensif, adil, dan merata. Tetapi berjalan 5 tahun, program JKN belum dapat memenuhi semua kebutuhan kesehatan penduduk Indonesia.

Dalam pemantauan ICW sejak 2017, masalah kepesertaan program JKN berada di PBI dan Pekerja Penerima Upah (PPU). Data masyarakat Indonesia yang tergolong miskin dan tidak mampu belum akurat menyebabkan angka peserta PBI baik yang dibiayai APBN maupun APBD belum efektif. Adanya nama yang timpang-tindih, belum terdaftarnya semua rakyat Indonesia dalam data kependudukan pemerintah, bahkan fleksibilitas kategori miskin dan tidak, menyebabkan anggaran yang dikeluarkan tidak tepat sasaran, bahkan banyak kasus penyalahgunaan anggaran tersebut seperti korupsi dana kapitasi.

Melihat kembali salah satu Nawacita Presiden Joko Widodo yakni meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia dengan cara meningkatkan kualitas kesehatan, bisa dikatakan sudah terwujud meski hasilnya belum cukup memuaskan. Banyak hal yang perlu diperhatikan dan diperbaiki untuk semakin meningkatkan kualitas kesehatan penduduk Indonesia. Pelayanan yang adil dan setara; komunikasi, informasi, dna pengaduan yang memadai dan tepat sasaran; serta perhitungan kembali iuran JKN sehingga tidak mengorbankan kesejahteraan tenaga medis bisa menjadi langkah pertama dalam perbaikan program JKN.

Kesimpulan

  1. Presiden dan DPR memilih figur bermasalah menjadi pimpinan KPK sepanjang mereka dapat mengontrol agenda KPK kedepan ;
  2. Presiden  dan DPR berhasil melumpuhkan KPK dengan cara merevisi UU KPK;
  3. Presiden dan DPR masih terus berupaya mengenyampingkan agenda pemberantasan korupsi dengan merubah regulasi KUHP dan UU Pemasyarakatan;
  4. Cita-cita penerapan efek jera maksimal bagi pelaku korupsi belum tercapai karena maraknya vonis ringan bagi koruptor;
  5. Presiden menunjukkan keberpihakannya terhadap kartel politik. Banyak pihak keliru telah menilai dia berpihak pada kepentingan publik. Publik luas mesti mengakhiri sikap gamang terhadap rezim Joko Widodo;
  6. Presiden tidak mempedulikan perlindungan terhadap pegiat antikorupsi dengan mengabaikan penyelesaian teror yang menimpa unsur pegawai dan juga komisioner KPK;
  7. TP4 merupakan program bermasalah karena tidak sesuai dengan tupoksi.  Pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan TP4 karena menjadi celah baru untuk melakukan korupsi;
  8. Pelaksanaan Stranas PK tidak secara komperhensif dilakukan sehingga masih terdapat permasalahan elementer yang terjadi di tingkat implementasi;
  9. Program pelaksanaan Stranas PK yg terbatas ruang lingkupnya menyebabkan isu kesehatan yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat tidak diperhatikan, terlebih karena hanya mengandalkan BPJS Kesehatan yg tata kelola dan pengawasannya tidak akuntabel;
  10. Pemerintah lamban menyelesaikan pembenahan birokrasi, terlebih terkait aparatur sipil negara yang menjadi narapidana kasus korupsi;

Rekomendasi

  1. Publik harus terus mendorong agar Presiden Joko Widodo menerbitkan PerPPU KPK untuk menyelamatkan masa depan agenda pemberantasan korupsi;
  2. Lembaga yudisial, khususnya Mahkamah Agung harus terus berbenah dengan meletakkan kejahatan korupsi sebagai extraordinary crime sehingga vonis yang dijatuhkan benar-benar menggambarkan efek jera maksimal;
  3. Publik perlu menyadari bahwa berharap pada satu orang (presiden) untuk mengubah keadaan dan melakukan reformasi adalah sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu, publik perlu menyadari bahwa reformasi kelembagaan, dalam hal ini partai politik, jauh lebih penting untuk menciptakan sistem checks and balances yang kuat sehingga setiap pengambilan keputusan selalu dalam pengawasan politik dan pengawasan publik.
  4. Pemerintah perlu segera melakukan evaluasi atas implementasi Stranas PK untuk melihat efektifitas kebijakan Stranas PK yang telah berjalan hampir satu tahun.
  5. Publik perlu menyadari bahwa situasi yang dihadapi hari ini jauh lebih menantang, terutama karena Pemerintah dan DPR tidak dapat diharapkan untuk memberantas korupsi. Oleh karena itu, peran publik untuk mengawasi kerja Pemerintah dan mendorong agenda pemberantasan korupsi menjadi lebih urgent untuk waktu-waktu kedepan dengan terlebih dahulu menghentikan perdebatan dua kubu karena pada saat yang sama, baik Jokowi dan Prabowo sudah ada dalam satu camp.

29 Desember 2019

Indonesia Corruption Watch

Tim Penyusun:

  1. Kurnia Ramadhana
  2. Wana Alamsyah
  3. Egi Primayogha
  4. Tibiko Zabar
  5. Dewi Anggraeni

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan