Carut-marut Seleksi Hakim Agung
Permasalahan baru tentang kinerja Komisi Yudisial mengemuka, berbentuk kemelut antara Komisi Yudisial (KY) dan DPR, khususnya komisi III. Akar masalah muncul ketika DPR mengembalikan berkas pengajuan calon hakim agung dari KY karena dinilai tidak sesuai UU. Sebab, acuan normatif menyebut bahwa KY seharusnya menetapkan dan mengajukan tiga nama calon hakim agung ke DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan kepada presiden.
Sementara itu, MA membuka lowongan enam hakim agung. Dengan demikian, seharusnya diajukan 18 calon ke DPR untuk dilaksanakan uji kepatutan dan kelayakan (vide pasal 18 ayat 5 UU tentang Komisi Yudisial).
KY beralasan, hal itu merupakan kinerja maksimal dari para calon yang telah diseleksi berdasar acuan yang ada. Artinya, permintaan dari MA untuk lowongan enam hakim agung tidak harus diisi semua dalam satu tahap. Terserah DPR mau bagaimana dengan calon yang disampaikan KY. DPR mengatakan bahwa seharusnya lembaga itu diberi keleluasaan yang cukup untuk tidak saja menilai kredibilitas dan kapabilitas calon.
Tetapi, juga secara administratif lembaga itu memberi porsi yang setara untuk perimbangan calon, baik dari jalur karir maupun kalangan praktisi. Jika di antara enam calon hanya dua yang dipilih, tentu itu menyulitkan DPR.
Kemelut tersebut menambah deret masalah yang berpangkal pada seleksi akhir, ketika 1 di antara 6 calon hakim agung itu bermasalah karena tersangkut tindak pidana. Secara normatif, kata akhir siapa yang akan terpilih ada di DPR. Pengalaman selama ini menunjukkan, DPR merupakan lembaga politis, praktisnya cenderung memberi legitimasi terhadap masukan yang telah diterima.
Apalagi, KY merupakan lembaga tinggi negara yang eksistensinya dilegitimasi UU (UU No 22 Tahun 2004). Namun, kemelut itu memberi sinyal bahwa DPR tidak akan begitu saja mengamini calon yang diajukan.
Tambah Masalah
Begitu diumumkan, hasil penyaringan KY atas calon hakim agung telah menuai kritik berbagai pihak. Mereka menilai hasil tersebut mengecewakan. Hal itu tecermin dengan masih diloloskannya seorang calon yang berstatus tersangka. Secara normatif, kinerja didasarkan pada asas praduga tak bersalah memang sah-sah saja.
Seseorang yang hanya diduga, tetapi belum dibuktikan secara hukum bersalah, harus tetap dipandang clean and clear. Dia masih punya hak yang sama tanpa catatan apa pun dengan calon lain dengan track record yang tidak tercela.
Namun, seharusnya disadari bahwa hakim agung merupakan posisi yang tidak saja menghendaki profesionalisme, tetapi juga keluhuran moral. Kalau memang masih banyak calon lain, mengapa mesti diakomodasikan calon yang masih berstatus tersangka (berarti cacat hukum) untuk tetap diloloskan.
Hal tersebut berarti melegitimasi status itu sebagai psychologist pressure bagi instansi yang sedang memproses kasusnya untuk mengarah pada tidak bersalahnya tersangka. Kenyataan itu bukan merupakan kebijakan yang tepat, di saat terjadi degradasi yang sangat terhadap hukum akhir-akhir ini.
Pada pespektif lain, transparansi yang ingin dikesankan KY melalui publikasi terhadap seleksi hakim agung itu justru menjadi bumerang negatif untuk stigma lolosnya calon yang dinilai bermasalah. Sah-sah saja ketika secara terbuka pula dikesankan bahwa lolosnya calon bermasalah itu sudah melalui voting tujuh anggota KY secara demokratis (khususnya melalui pemungutan suara).
Namun, output yang intinya meloloskan calon bermasalah dinilai melukai nurani keadilan, khususnya ketika yang diseleksi itu menyangkut profesi luhur sebagai penentu akhir dari proses memperoleh keadilan yang terkadang bisa sangat panjang.
Apakah lolosnya calon hakim agung yang dinilai bermasalah itu merupakan kelanjutan dari rivalitas KY dengan MA. Yang jelas, pada awal kinerja KY, lembaga tersebut pernah mewacanakan dan mengusulkan dalam bentuk UU (juga perpu) tentang kocok ulang hakim agung. Sebuah rencana yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh MA.
Rencana tersebut memang gagal dilaksanakan. Tetapi, itu tentu menjadi catatan tersendiri bagi KY yang dinilai terlalu jauh mengapresiasi kinerjanya pada ranah kebebasan hakim.
Rivalitas yang merupakan catatan itu sekarang bertambah akibat munculnya kemelut dengan DPR. Konstruksi yang kiranya dapat dideskripsikan mengenai hal itu adalah pertama, KY sengaja hanya meloloskan enam orang di antara puluhan pendaftar calon hakim agung dengan motivasi bahwa mereka yang terbaik. Kendati tidak disampaikan, hal itu berarti calon lain tidak baik.
Dipertanyakan, alangkah sumirnya parameter yang dijadikan dasar seleksi. Bukankah di antara sekian banyak itu masih dapat diseleksi untuk memperoleh 18 calon yang diisyaratkan undang-undang?
Kedua, mustahil KY tidak tahu bahwa order hakim agung itu harus dipenuhi sebanyak 18 orang dengan rincian 3 kali 6 seperti diisyaratkan UU. Apakah hal itu berarti KY ingin secara bertahap dulu memenuhi lowongan yang 6 tersebut. Jadi, DPR dipersilakan hanya mengambil 2 di antara 6 calon yang diajukan.
Jika itu yang menjadi alasan, KY tidak memenuhi permintaan MA untuk mengisi 6 hakim agung yang lowong. Tentu alasannya hanya KY yang tahu. Namun, apakah hal itu juga merupakan kelanjutan dari rivalitas antara KY dan MA, masih menjadi tanda tanya.
Ketiga, tataran konstitusional, kiranya, cukup jelas dan tidak bersifat multiinterpretatif ketika UUD 1945 mematok kekuasaan kehakiman -yang direfleksikan dengan kinerja para hakim adalah kekuasaan yang merdeka. Merdeka dalam arti terlepas dari kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain.
Apakah itu kekuasaan politik kekuasaan ekonomi, kekuasaan administratif, dan ekstra judisial lain. Refleksi administratif juga mengharuskan peradilan dilaksanakan berdasar asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Dengan tidak diajukannya 18 calon, bukankah itu merupakan hambatan perwujudan asas ini?
Apa pun yang dilakukan KY, lolosnya calon yang dinilai bermasalah menimbulkan dampak hukum baik ketika calon itu nanti dinilai clear and clean dari kasusnya maupun dinilai kasusnya dapat dilanjutkan pada proses peradilan atau dibawa ke persidangan.
Dampak hukum itu berpengaruh besar terhadap tingkat kepercayaan masyarakat dalam penyelesaian perkara di MA. Secara psikologis, hal itu akan memperkuat stigma ketidakpercayaan terhadap MA bahwa ada (mungkin banyak) hakimnya yang tidak bersih. Dalam hubungan demikian, dapatkah seorang hakim agung bertindak bebas dan merdeka?
Diajukannya hanya enam calon hakim agung untuk dilaksanakan uji kepatutan dan kelayakan menambah masalah baru tentang kinerja KY. Yaitu, apakah setiap order harus dipenuhi dalam satu tahap ataukah boleh dicicil seperti pendapat KY sehingga hanya 6 di antara 18 calon yang seharusnya diajukan? Apa pun yang akan dilakukan KY, kinerjanya menambah panjang melodrama penegakan hukum yang selama ini sudah menampilkan wajah carut-marut. Sebagaimana dikemukakan wakil ketuanya, KY adalah lembaga baru yang masih mencari bentuk. Jadi, masyarakat diharapkan memaklumi carut-marut itu.
Prof Dr Samsul Wahidin SH MH, guru besar Fakultas Hukum Unlam Banjarmasin
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 25 November 2006