Carut-Marut Peran Komite Sekolah

Sukiyat, 50 tahun, tiap hari aktif datang ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) I Banyuurip, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Pria yang juga menjabat sebagai Kepala Urusan Kesejahteraan Masyarakat (Kesra) Desa Banyuurip itu juga sering naik ke atap sekolah untuk mengontrol pekerjaan para tukang.

Kesibukan Sukiyat tersebut dilakukan sejak akhir tahun lalu saat dia diminta menjadi Ketua Komite Sekolah SDN I Banyuurip oleh Kaeni, Kepala SDN I Banyuurip. Menurut Sukiyat, meski tugas utamanya adalah mengawasi para guru agar tidak datang terlambat, dia juga diberi job sebagai pemborong kayu untuk pembangunan sekolah.

Tugas mencari kayu tersebut dilakukan karena Kaeni baru saja menerima uang Rp 100 juta dari pemerintah pusat untuk perbaikan gedung SDN I Banyuurip. Sejak itu, Sukiyat bergerak cepat. Setidaknya ia sudah membelanjakan uang Rp 33 juta untuk membeli kayu mahoni dan akasia dari warga setempat. Adapun Kaeni tetap sebagai pemimpin pembangunan. Ini sudah kami rapatkan dengan wali murid dan disetujui, kata Sukiyat.

Sukiyat merasa tak ada yang salah dalam menjalankan tugasnya. Tapi bagi Suwito, anggota Komisi A DPRD Tulungagung, pekerjaan yang dijalani Kaeni dan Sukiyat tersebut sudah melenceng dari tugas kepala sekolah dan ketua komite sekolah. Mestinya, kata Suwito, kepala sekolah bersama komite membentuk panitia pembangunan gedung. Mereka hanya sebagai pengawas saja, kata Suwito.

Kekhawatiran Suwito beralasan. Sebab, saat ditinjau anggota Komisi D DPRD Tulungagung, pertengahan Maret lalu, plafon salah satu ruang kelas yang baru dibangun sudah bergelombang. Mereka juga menemukan kayu yang dipakai adalah kayu berkualitas rendah. Namun, tuduhan tersebut dibantah Sukiyat. Saat anggota Dewan datang, memang pekerjaannya belum selesai, katanya kepada Tempo, Minggu (27/3) lalu.

Kerancuan tugas komite sekolah di Tulungagung tersebut juga terjadi di daerah lain di Jawa Timur. Di Surabaya, misalnya, akhir Desember tahun lalu, Wali Kota Bambang Dwi Hartono juga mengkritik komite sekolah yang dinilainya tidak memahami program pendidikan murah yang dicanangkan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Meskipun pemerintah telah memberikan bantuan dana kepada sekolah, masih saja mereka menarik berbagai pungutan. Biaya sekolah tinggi karena komite minta ini-itu, Bambang menjelaskan.

Berdasar pantauan di sejumlah SDN di Jawa Timur, penyimpangan fungsi komite sekolah terjadi karena lemahnya kontrol dari Dinas Pendidikan dan masyarakat. Sebagian besar komite sekolah dibuat secara top down atau atas instruksi kepala sekolah. Bahkan pembentukan komite sekolah dilakukan secara diam-diam tanpa melibatkan wali murid. Contoh nyata seperti ini terjadi pada Komite Sekolah SDN Babatan IV/459, Kelurahan Babatan, Kecamatan Wiyung, kota Surabaya, yang para pengurusnya dijabat oleh guru dan keluarganya. Akibatnya proses pengambilan keputusan komite sekolah seperti pembuatan anggaran belanja pendidikan sekolah (ABPS) hanya diputuskan oleh pengurus komite tanpa melibatkan wali murid.

Padahal ABPS berisi arus pemasukan dan pengeluaran biaya sekolah. Celakanya, komite sekolah tak pernah menjelaskan berapa besar dana yang diberikan pemerintah. Sebaliknya, wali murid hanya disodori kebutuhan yang harus ditanggung wali murid. Di SDN Babatan IV/459, setiap bulan para murid dikenai biaya komite sekolah sebesar Rp 25 ribu untuk keperluan membayar listrik, kapur tulis, honorarium guru bantu, sampai pembangunan gedung sekolah. Biaya tersebut belum termasuk biaya seragam sekolah dan buku pelajaran, yang tiap semesternya mencapai Rp 100 ribu.

Carut-marut Komite Sekolah di tersebut diakui Rasiyo, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur. Namun, ia masih menganggap wajar karena Komite Sekolah baru diterapkan pada 2002 setelah ada Undang-Undang Pendidikan Nasional yang baru.

Akan kami benahi secara bertahap, kata Rasiyo. Jika Komite Sekolah berfungsi dengan benar, akan banyak membantu penyelenggaraan pendidikan di Jawa Timur. Setidaknya, komite bisa ikut merencanakan dan mengontrol penyaluran dana yang dikumpulkan sekolah. Termasuk dana Subsidi Minimal Biaya Pendidikan Provinsi Jawa Timur yang tahun ini besarnya Rp 700 miliar. zed abidien

Sumber :Koran Tempo, 6 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan