Cara Menjadi Orang Terkaya di Indonesia

Majalah Forbes edisi Asia, seperti dikutip Koran Tempo, menobatkan dua konglomerat Indonesia yang tumbuh dari sektor kehutanan menjadi orang terkaya di Indonesia. Sukanto Tanoto, pemilik Raja Garuda Mas Group (RGM), yang mengelola pabrik pulp terbesar di dunia, Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), telah dinobatkan menjadi orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar atau setara dengan Rp 25,2 triliun (Koran Tempo, 6 September 2006).

Di urutan ketiga muncul nama konglomerat kehutanan lainnya, Eka Tjipta Wijaya, pemilik Sinar Mas Group (SMG), yang juga memiliki pabrik pulp raksasa (Indah Kiat) di lokasi yang berdekatan dengan RAPP, dengan total kekayaan US$ 2 miliar.

Berita ini mungkin tidak mengagetkan bagi dunia bisnis yang terus-menerus mengikuti sepak terjang kedua taipan kehutanan ini. Tapi, bagi masyarakat umum, terutama komunitas yang prihatin dengan kondisi hutan, perbankan, dan keuangan negara, berita ini tentunya memprihatinkan. Bagaimana mungkin mereka bisa menjadi yang terkaya, sedangkan mereka tidak (mau) membayar utang mereka kepada negara dan bank-bank lokal ataupun asing? Bagaimana mungkin mereka menjadi yang terkaya, sedangkan kondisi hutan di Sumatera tempat mereka mengambil hasil hutan kayu untuk mengembangkan kerajaan bisnisnya semakin merana? Pada periode 1990-2000, Sumatera kehilangan hutan seluas 8,1 juta hektare dan merupakan degradasi hutan yang tertinggi di Indonesia (Bank Dunia, April 2006). Keberhasilan pribadi kedua taipan ini untuk menjadi yang terkaya di Indonesia memang telah meninggalkan jejak-jejak permasalahan kehutanan, perbankan, dan keuangan negara, yang sampai saat ini belum sepenuhnya dapat diatasi dan memiliki dampak negatif jangka panjang yang harus dipikul oleh bangsa Indonesia.

Mereka mengawali kesuksesan dengan mengeksploitasi hutan alam di Indonesia, khususnya di Provinsi Riau dan sekitarnya. Hutan dikuras isinya dengan cara mendirikan pabrik-pabrik industri kayu (sawn timber dan plywood) serta pabrik pulp dengan kapasitas yang sangat besar, yang jauh melampaui tersedianya kayu secara lestari. Bisnis yang bertumpu pada bahan baku yang murah dengan mata uang rupiah dan penjualan produk untuk ekspor dengan mata uang dolar adalah sebuah konsep bisnis yang menyenangkan bagi pemerintah Orde Baru, yang tengah mendorong kebijakan ekspor nonmigas kala itu. Konsep bisnis lain yang lebih menarik kedua taipan, yang juga bergantung pada hutan, ini adalah industri kelapa sawit. Industri ini memberi dua keuntungan sekaligus kepada kedua taipan tersebut, yaitu memperoleh kayu untuk kebutuhan industri kayu mereka dan menggunakan lahan untuk mengembangkan kebun kelapa sawit.

Tahap berikutnya untuk menjadi yang terkaya adalah dengan mengeksploitasi dana bank, baik bank lokal maupun bank asing. Biasanya bank lokal yang dapat dimanfaatkan untuk menjadi orang terkaya di Indonesia adalah bank milik negara dan/atau bank yang dimiliki sendiri oleh orang tersebut. Pada saat krisis moneter, kedua taipan melihat kesempatan untuk menghapuskan (tidak membayar) utang-utang mereka kepada bank lokal dan bank asing. RGM berutang US$ 343,78 juta kepada bank-bank nasional, termasuk bank-bank BUMN, dan US$ 1,6 miliar kepada kreditor internasional. Sementara itu, SMG tidak mampu membayar utangnya US$ 1,3 miliar kepada Bank Internasional Indonesia, yang pernah dimiliki oleh Eka Tjipta Wijaya. SMG juga tidak membayar utang lebih dari US$ 11 miliar kepada kreditor internasional. Kedua taipan itu berhasil mendapatkan utang luar negeri melalui perusahaan afiliasi yang mereka bentuk di Singapura. Selama tidak membayar kewajibannya di masa krisis moneter, kedua taipan tersebut melakukan ekspansi usaha di Cina. Adapun RGM juga melakukan ekspansi ke Amerika Latin.

Tahap terakhir dari proses menjadi yang terkaya adalah dengan mengeksploitasi dana anggaran pendapatan dan belanja negara dengan cara memaksa pemerintah menghapuskan utang mereka yang telah dialihkan penagihannya kepada pemerintah (BPPN). Dalam rangka menyehatkan bank, pemerintah mengambil alih penagihan kredit macet bank dan mengeluarkan obligasi pemerintah untuk menambah modal bank. Sebagai akibat dari kebijakan ini, setiap tahun lebih dari 30 persen dana APBN digunakan hanya untuk melunasi obligasi pemerintah dan membayar bunganya. Sementara itu, BPPN gagal memperoleh hasil yang maksimal atas penagihan kredit macet yang telah dilimpahkan oleh bank.

Strategi eksploitasi hutan, bank, dan anggaran negara masih terus berlanjut sampai hari ini. Industri kayu dan pulp terus mencari peluang untuk menambah kapasitasnya. Pada 2003 RGM bahkan mengumumkan akan menambah kapasitas produksi pulp RAPP dari 2 juta ton per tahun menjadi 3,5 juta ton per tahun. Berbagai kebijakan kehutanan yang saat ini dikembangkan oleh pemerintah diarahkan agar dapat membantu upaya industri kehutanan memenuhi kapasitas pabrik kayu dan pulp, di antaranya dengan mengizinkan kembali pengembangan hutan tanaman di area yang berhutan. Industri kehutanan tidak tertarik untuk mengembangkan hutan tanaman industri di lahan-lahan kosong yang tidak ada kayunya.

RGM saat ini masih bermasalah dengan Bank Mandiri. Data terakhir memperlihatkan grup ini berutang kepada Bank Mandiri Rp 5,4 triliun dan telah dinyatakan secara resmi oleh Bank Mandiri sebagai debitor yang tidak kooperatif. Bank Mandiri kemudian mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan baru untuk dapat menghapuskan utang dengan proses yang lebih mudah, seperti bank-bank milik swasta. Upaya ini dilakukan oleh Bank Mandiri agar mereka terlihat sebagai bank yang sehat.

Dalam skala yang lebih rendah, pola yang sama juga dilakukan oleh orang-orang yang berupaya menjadi orang terkaya di daerah. Pada tingkat ini, pembobolan hutan dilakukan dengan mendirikan industri kayu skala kecil, perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan perusahaan-perusahaan pertambangan. Setelah dapat menguras hasil hutan kayu, mereka kemudian membobol bank lokal, khususnya bank milik pemerintah daerah atau bank milik pemerintah pusat. Mereka mendapat pinjaman dari bank-bank ini untuk membangun industri kehutanan, perkebunan kelapa sawit, dan industri pertambangan. Kreditnya kemudian macet karena mereka tidak pernah merealisasi pembangunan industrinya. Kredit macet membuat bank milik pemerintah daerah tidak sehat. Kondisi ini akan memaksa pemerintah daerah menyisihkan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk menyelamatkan bank milik pemerintah daerah.

Menjadi kaya memang hak semua orang. Tentunya yang kita cari adalah orang-orang yang mampu menjadi yang terkaya tanpa menciptakan masalah bagi hutan, bank, dan anggaran negara. Segala bentuk reformasi yang telah dijalankan oleh pemerintah dan masyarakat sipil, baik di bidang politik, hukum, sosial, maupun keuangan, untuk menciptakan Indonesia yang lebih makmur, adil, dan lestari ternyata belum mampu menciptakan orang-orang terkaya seperti yang kita idamkan ini.

Pemerintah dan perbankan harus lebih berhati-hati dalam mengelola ekonomi di masa krisis. Bencana alam, krisis energi, kerusuhan sosial, jatuhnya harga produk ekspor, atau jatuhnya nilai tukar rupiah kembali dapat digunakan oleh seseorang untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dan meninggalkan begitu banyak masalah kepada bangsa Indonesia. Pemerintah dan Bank Indonesia juga harus mendorong dikeluarkannya kebijakan-kebijakan ekonomi, keuangan, dan perbankan yang lebih berhati-hati sehingga tidak mendukung konsep bisnis yang hanya bertujuan mengeksploitasi sumber daya alam. Jika hal ini tidak dilakukan, kerusakan sumber daya alam sebagai akibat eksploitasi yang berlebihan akan berlanjut pada kerusakan perbankan dan keuangan negara.

Bambang Setiono, ANALIS KEUANGAN PADA CENTER FOR INTERNATIONAL FORESTRY RESEARCH

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 13 September 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan