Cara Berhukum Indonesia

Kehidupan masyarakat Indonesia 400 tahun terakhir ditata menggunakan hukum kolonial Belanda.

Tatanan hukum sistemik berdasarkan pengalaman panjang di Eropa dikawal perangkat untuk satu tujuan, yaitu mengeruk kekayaan Hindia Belanda demi makmurnya Kerajaan Belanda.

Sistem hukum tetap kendati Indonesia merdeka. Perubahan cuma pada perangkat dan tujuan, tetapi tidak jelas. Jelas bagi sekelompok orang, tetapi tak jelas bagi kelompok lain. Akibatnya memberi peluang bagi penjajah untuk melanjutkan melalui perbaikan hukum (amandemen). Tercium napas kolonialis pemecah belah dalam penataan kehidupan berbangsa.

Aneh, mantan KSAU (Chappy Hakim) bertanya tentang kebijakan area penerbangan di wilayah Indonesia kok dikuasai Singapura. Tidak salah, cuma perlu disadari agar Indonesia tidak dinilai poor dan uneducated oleh orang luar (The Idea About Indonesia oleh Prof Elson, Brisbane University), seperti kemelut di KPK sekarang ini.

Filosofi kekuasaan
Habitat kekuasaan (baca: penjajahan) Belanda masih sangat kental memengaruhi persepsi elite bangsa. Bahwa kehidupan harus ditata dengan kekuasaan. Sementara filosofi kekuasaan Pancasila versi Indonesia Merdeka belum dijabarkan, apalagi membudaya. Namun, karena kehidupan harus jalan, ”keterpaksaan” menuntun bangsa melanggengkan keterjajahan.

Diawali dengan berbagai perjanjian pada masa revolusi, lalu ditimpa habitat berutang yang tak kunjung henti sampai kini. Akibatnya tergantung, harus ikut arus globalisasi sampai takluk kepada Camdessu. Lalu berlanjut dengan kesiapan mengganti undang-undang dasar (tidak sekadar amandemen).

Mental terjajah tetap menjadi mindset elite bangsa, terlihat nyata dalam ”cara berhukum”. Mulai dari pembentukan hukum, persepsi terhadap hukum, perlakuan atas hukum (pasal-pasal), penindakan hukum, hingga tak mampu menegakkan kepastian hukum. Di semua aspek, ternyata selalu dilihat dari sisi kepentingan kelompok. Tak terlihat ”kepentingan nasional”, pemandu terbitnya rasa adil dalam masyarakat berbangsa dan bernegara.

Akhirnya hukum menjadi medan laga bagi yang mau berkuasa. Ini dilegalkan UUD. Ringnya pemilu/pilpres/pilkada, sampai bingung, negara presidensial atau parlementer? Kini, SBY menyiasati hukum demokrasi, ingin memastikan bahwa NKRI adalah ”presidensial tanpa oposisi” (rangkul semua pihak). Tarung antarpemandu hukum juga terjadi (belum terkuak), yaitu antara MA, MK, KY, dan beberapa institusi independen lain. Masing-masing berkata demi kebenaran, ternyata bukanlah buat kepentingan anak cucu di kemudian hari (kepentingan nasional).

Di bawahnya, pertempuran sengit terjadi antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Bagi warga kebanyakan, pro-kontra tak jelas juntrungannya. Korupsi bukan domain penindakan, tetapi pembentukan hukum. Lihat, dibiarkannya money politics marak dalam berebut kekuasaan. Bukan saja di pemilu/pilpres/pilkada, tetapi juga lebih bebas berkembang saat pilihan pengurus organisasi. Seolah masyarakat membenarkan bahwa pemimpin organisasi harus kaya raya. Padahal, ”orang kaya” tak pernah mau rugi. Sebagai pembanding, PSSI tidak butuh uang melimpah seperti Real Madrid atau Manchester City yang bisnis murni.

Siapa pun dengan ”kekuasaan” (hasil membeli) itu akan mengambil keuntungan. Apalagi parpol dan birokrasi, money politics dan korupsi sudah menjadi mindset.

Antisipasi
Tidak ada yang salah, begitulah bangsa Indonesia, baru sampai di situ. Yang penting sadar, kenyataan jangan ditolak, tetapi diantisipasi untuk tujuan kemerdekaan. Biarkan perilaku demikian berjalan tanpa disalahkan secara politik-hukum. Terima saja apa pun keputusan cara berhukum berbau kolonialis itu (”Kelompok Lima” Perppu Pelaksana Tugas KPK).

Penyelenggara negara salah, tetapi tak boleh disalahkan. Antisipasinya, lewat pendampingan oleh kekuatan sosial (civil society) untuk ”mencari hukum Indonesia” sesuai dengan tujuan negara, yaitu rakyat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur (alinea 2 Pembukaan UUD). Institusi kemasyarakatan terpercaya (legitimate, tidak perlu legalitas) harus dibentuk guna ”mendampingi” Pemerintahan SBY, bukan menyaingi (against). Jangan biarkan para pemimpin bangsa ”ditelan” oleh kekuatan luar.

Roch Basoeki Mangoenpoerojo Ketua Masyarakat Musyawarah Mufakat

Tulisan ini disalin dari Kompas, 8 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan