Capres Pebisnis Asal Hartanya Sulit Dilacak [13/06/04]

Selama ini tidak ada satu pun lembaga yang menyentuh proses perolehan kekayaan yang dimiliki seorang pejabat, walaupun jumlah kekayaannya tidak sebanding dengan jabatan atau pangkat yang disandangnya. Tidak juga KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara).

Misalnya, seorang jenderal yang hanya bergaji Rp1,5 juta dengan tunjangan jabatan Rp6 juta, bisa memiliki kekayaan hingga puluhan miliar. Begitu juga seorang menteri, mampu menumpuk kekayaannya hingga 'takkan habis tujuh turunan'.

Bahkan, KPKPN yang selama ini menjadi tumpuan rakyat untuk mengorek sumber-sumber kekayaan pejabat negara, tidak mampu merentangkan tangannya hingga ke substansinya. Apalagi, jika sudah berhadapan dengan kekayaan yang diperoleh dari hasil bisnis, KPKPN sepertinya enggan mengutak-atik.

Seperti pengakuan mantan Ketua KPKPN Jusuf Syakir kepada wartawan Media Indonesia Syarif Hidayatullah di kantor Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi, Jl Mulawarman No 11, Jakarta Selatan. Berikut wawancaranya.

Sampai sejauh mana KPKN memeriksa kekayaan seorang pejabat?

Sebenarnya, KPKPN hanya memeriksa kekayaan yang ditulis dalam formulir laporan kekayaan oleh pejabat yang bersangkutan. Untuk mengisi formulir itu, pejabat diberikan waktu 30 hari. Rentan waktu itu pas-pasan, sehingga ada kemungkinan isiannya salah, atau keliru menempatkan isian di dalam kolomnya.

Setelah formulir diserahkan ke KPKPN, subkomisi yang terdiri dari dua sampai tiga orang dibentuk KPKPN untuk memeriksa dokumen tersebut. Sebelum subkomisi bekerja, Ketua KPKPN mengeluarkan surat tugas pemeriksaan (STP).

Lalu, hasil analisis subkomisi dilaporkan dalam forum rapat subkomisi yang beranggotakan delapan hingga sembilan orang. Dalam rapat itulah, ditentukan wajar atau tidaknya kekayaan yang dimiliki pejabat bersangkutan.

Biasanya, yang menentukan wajar atau tidaknya tetap di tangan anggota tim pemeriksa, karena mereka yang tahu persis, sedangkan anggota rapat subkomisi hanya mempertanyakan hal-hal yang dianggap perlu.

Setelah ada keputusan subkomisi, hasilnya dilaporkan dalam rapat pleno KPKPN. Di sanalah, lahir keputusan final yang menjadi ketetapan KPKPN.

Bagaimana jika terjadi keganjilan?

Kalau ada keganjilan dan keragu-raguan, atau ada laporan dari masyarakat tentang sumber kekayaan pejabat tersebut, subkomisi kembali melakukan pemeriksaan, yang disebut pemeriksaan khusus.

Untuk melaksanakan tugas itu, Ketua KPKPN kembali mengeluarkan STP, tapi kali ini STP khusus. Pelaksananya tiga orang, terdiri dari satu orang dari pemeriksa lama dan dua lainnya pemeriksa baru.

Dalam melakukan pemeriksaan khusus ini, bisa memakan waktu yang cukup lama. Terbukti, sampai KPKPN dihapus dan anggotanya diberhentikan, masih ada 40-an pejabat yang kekayaannya belum selesai diperiksa secara khusus.

Jika ada indikasi kuat 40-an pejabat itu melanggar, bagaimana?

Bisa saja hasilnya seperti itu. Jika ada pelanggaran, tentu harus diserahkan ke polisi untuk ditindaklanjuti secara pidana. Tapi, belum tentu juga semuanya bermasalah.

Tapi, sekarang sudah bukan lagi tugas KPKPN untuk memeriksa kekayaan 40-an pejabat tersebut, sebab setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi membubarkan KPKPN, kami sudah tidak aktif lagi.

Kini tergantung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), apakah voltage KPK lebih tinggi dari KPKPN, atau bahkan lebih rendah. Jika voltage-nya lebih tinggi, tentu 40-an pejabat itu akan ditindak lanjuti sampai tuntas, hingga ke penyidikan dan penuntutan. Sebab, KPK punya kewenangan sampai ke tingkat penuntutan, tidak seperti KPKPN.

Apakah KPK bisa melakukan tugasnya, padahal sudah enam bulan ini tidak ada pekerjaannya?

Untuk melaksanakan tugasnya, KPK harus membuat aturan pemeriksaan sendiri, sebab aturan main yang menjadi tolok ukur KPKPN sudah tidak berlaku lagi. KPK harus membuat standar pemeriksaan dan itu bisa saja diadopsi dari aturan mainnya KPKPN. Kalau tidak ada standar, bagaimana KPK bisa bekerja.

Ketika KPKPN masih bertugas, apakah menemukan keganjilan-keganjilan, misalnya hibah yang tidak wajar? Terutama para pejabat yang kini bertarung memperebutkan jabatan presiden dan wakil presiden

Dari 10 capres/cawapres, KPKPN hanya memeriksa tujuh orang, yaitu Megawati Soekarnoputri, Hamzah Haz, Agum Gumelar, Susilo Bambang Yudhoyono, Siswono Yudo Husodo, Amien Rais, dan Jusuf Kalla. Sebab dari tiga orang lainnya, dua orang tidak termasuk pejabat, yaitu Salahuddin Wahid dan Hasyim Muzadi, serta Wiranto yang tidak masuk dalam tugas KPKN, karena saat KPKPN bekerja, Wiranto sudah tidak lagi menjabat.

Hasil pemeriksaan ketujuh orang itu tidak ditemukan keganjilan. Walaupun ada beberapa orang yang menerima hibah, masih dianggap wajar. Misalnya Megawati menerima hibah berupa barang-barang antik dari orang tuanya.

Jika memang ada pejabat yang menerima hibah bukan dari keluarganya, dan jumlahnya tidak wajar, KPKPN wajib memeriksanya. Sebab dalam UU No 20 tahun 2001 tentang Gratifikasi yang diberikan kepada pejabat atau PNS disebutkan bahwa jika hibah itu lebih dari Rp10 juta, maka harus dilaporkan ke KPKPN. Untuk saat ini, laporannya ke KPK dan KPK-lah yang menentukan hak atau tidaknya hibah itu dimiliki.

Bagaimana dengan capres dan cawapres yang memiliki kekayaan puluhan miliar?

KPKPN tidak bisa menyentuh kekayaan pejabat yang diperoleh dari bisnis. Sebab banyak pejabat yang latar belakangnya sebagai pengusaha, misalnya Jusuf Kalla, Siswono Yudo Husodo, Hamzah Haz dan Megawati.

Jika kekayaan mereka berjumlah miliaran dan diperoleh dari bisnis, biasanya dianggap wajar.

Lalu, bagaimana dengan proses perolehan proyeknya. Apakah KPKPN juga memeriksanya?

Tidak, KPKPN tidak sampai sejauh itu. Yang diperiksa hanya soal harta yang tertulis dalam formulir isian, sedangkan prosesnya tidak kita sentuh. Tangan KPKPN tidak sampai ke sana.

Memang kasus seperti ini bisa merepotkan KPKPN, sebab banyak pejabat yang punya usaha. Pokoknya, kalau sudah berkaitan dengan bisnis, KPKN jadi mentok.

Misalnya saja, banyak dari anggota MPR dan DPR yang latar belakangnya pengusaha. Ini yang sulit, sebab tidak ada ruang khusus untuk menyentuhnya.

Siapa yang akan memeriksa proses peroleh harta itu?

Yang paling mungkin adalah KPK, sebab kewenangannya lebih tinggi dari KPKPN. KPK merupakan rantai besar yang punya kekuasaan, mulai dari pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan, penggeledahan sampai ke penuntutan, seperti yang dilakukan kejaksaan. Bahkan KPK juga bisa memeriksa pejabat tanpa izin dari presiden.

Masyarakat bisa menggantungkan harapan itu kepada KPK, dengan memberikan support. Sebaliknya, KPK juga harus sadar bahwa ia merupakan harapan masyarakat. Saya optimis, KPK bisa bekerja lebih optimal dan menghasilkan. (M-1)

Sumber: Media Indonesia, 13 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan