Calon Presiden dan Korupsi (10/6/04)

TIDAK sedikit orang bertanya, adakah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bisa membawa keluar bangsa ini dari daftar negara paling korup di dunia. Rupanya banyak orang yang percaya bila masalah raksasa ini bisa dipecahkan, maka reformasi di bidang lain akan lebih mudah dilalui.

Pelajaran yang bisa dipetik dalam lima tahun terakhir kita menyaksikan laju reformasi hukum adalah penyehatan perbankan dan badan usaha negara (ekonomi) serta politik menjadi tersendat karena pertukaran kekuasaan dengan uang masih merupakan kegiatan utama pemerintahan.Pemilihan langsung presiden dan wakilnya oleh pemilih menumbuhkan harapan akan lahirnya presiden yang lebih kuat secara politik dan lebih bertanggung jawab kepada rakyat daripada partai. Tetapi harus diingat, hasil pemilu legislatif memperlihatkan peranan mesin politik parpol akan tetap dominan dalam pemenangan pemilu, khususnya di wilayah mayoritas pemilih irasional, sehingga konsep balas budi terhadap kekuatan politik dan donatur pemenangan pemilu tidak bisa diabaikan begitu saja.Tidaklah keliru berharap pada pemimpin untuk memberikan teladan dan kepeloporannya dalam memutus mata rantai korupsi di dalam sistem politik, hukum, dan birokrasi. Ada beberapa kisah sukses pemberantasan korupsi di sejumlah negara yang memperlihatkan peranan besar sang pemimpin, entah itu presiden atau setingkat wali kota. Misalnya, di Hong Kong, Pemerintah Kota New York di Amerika Serikat, dan Kota La Paz di Bolivia (Klitgaard, 2000). Atau Singapura yang relatif sukses membasmi korupsi dalam tubuh birokrasi dan hukum.Yang menarik, perang melawan korupsi sistematis harus menjadi bagian dari perbaikan yang lebih luas, bagian dari upaya untuk membenahi administrasi pemerintah, menjadi alat untuk meningkatkan mutu pelayanan umum, dan reformasi demokrasi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Dalam hal ini pemberantasan korupsi tidak sekadar menekankan pada upaya pendekatan represif, menyeret orang per orang ke meja hijau, atau lebih banyak membangun lembaga kontrol, lebih banyak undang-undang, tetapi juga lebih menekankan pada pencegahan dengan fokus pada reformasi sistem yang rentan bagi terjadinya penyimpangan.KLITGAARD dalam bukunya, Membasmi Korupsi (1998), memang senantiasa menekankan bahwa pencegahan korupsi dengan melakukan perubahan sistem melalui pendekatan komprehensif dalam jangka panjang jauh lebih penting daripada pendekatan hukum untuk merepresi orang per orang aktor korupsi.Kaufmann, Rose-Aeckerman, dan Klitgaard cenderung melihat masalah korupsi sebagai kelemahan fundamental pemerintahan, ketimbang sebagai penyakit masyarakat. Karenanya anjuran mereka-dan sekarang banyak diterapkan di banyak negara pasien Dana Moneter Internasional (IMF)-lebih diarahkan kepada perbaikan pemerintahan.Di Tanah Air perbaikan pemerintahan sejak pemerintahan Habibie sudah banyak dilakukan, terutama reformasi kelembagaan hukum, akuntabilitas kepemimpinan politik dan pejabat tinggi, desentralisasi pemerintahan, dan pengelolaan keuangan dan anggaran. Yang kurang disentuh adalah perampingan birokrasi dan profesionalisme pegawai negeri, serta perluasan koridor partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan publik dan pengawasannya.Namun, semua langkah reformasi itu, yang di banyak negara bisa mengerem laju korupsi secara signifikan, di sini belum membuahkan hasil. Apanya yang salah? Dari segi waktu mungkin kita bisa sedikit bersabar menunggu semua sistem itu bisa berjalan. Tetapi yang merisaukan, kita tidak melihat adanya kemauan untuk berhenti korupsi sekarang juga sehingga semua sistem yang telah dibangun dengan anggaran yang tidak sedikit itu sepertinya dibuat dengan tujuan untuk tidak dipatuhi, bahkan mungkin diperlakukan sebagai ancaman bagi penguasa. Harus diakui memang sebagian agenda governance itu didorong oleh IMF, bukan merupakan ide orisinal buah kemauan politik para pemimpin bangsa ini.JIKA kita bisa bersepakat bahwa dengan konsep governance korupsi merupakan akibat dari ketidakseimbangan relasi antara masyarakat dengan pemerintah dan sektor swasta, maka betapa pentingnya penguatan masyarakat madani untuk menjadi kekuatan penyeimbang. Di sinilah harus diakui refomasi pemerintahan untuk memberikan ruang bagi pengawasan dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik hampir tidak mendapat perhatian serius. Voting terbuka belum menjadi tradisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akses publik terhadap informasi pemerintah tidak dijamin, keputusan pengadilan tidak tersedia untuk publik, legal standing dari lembaga antikorupsi, atau class action bagi masyarakat untuk menuntut ganti rugi korupsi belum diakui dalam sistem hukum nasional.Para analis politik melihat tak berjalannya sistem checks and balances dalam demokrasi multipartai yang membuat korupsi tetap subur disebabkan tidak ada kekuatan oposisi di parlemen. Semua parpol peserta pemilu ingin menikmati kekuasaan sekecil apa pun bagiannya. Pemerintahan koalisi hasil Pemilu 1999- terutama sangat kentara pada era Megawati-memperlihatkan pragmatisme politik untuk kepentingan keselamatan kekuasaan dengan cara berkompromi dengan kekuatan-kekuatan lama, baik konglomerat, jenderal berpengaruh, dan petinggi birokrasi, yang di masa lalu merupakan pilar utama kleptokrasi Orde Baru. Selain itu, kekuatan-kekuatan politik baru pun yang mengklaim reformis juga memperlihatkan paradigma kekuasaan dan perilaku koruptif yang relatif sama dengan rezim Orba yang dikecamnya.Karena tidak ada perubahan struktur politik yang signifikan-kendati pemunculan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat merupakan sesuatu yang menarik-barangkali figur pemerintahan hasil Pemilu 2004 pun tidak akan jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Sampai di sini lagi-lagi barangkali pasangan presiden-wakil presiden yang terpilih akan terikat dengan kompromi-kompromi dan berbagi kekuasaan dengan anggota koalisinya.Sekalipun mungkin nanti akan ada kekuatan oposisi di parlemen, paling-paling masalah korupsi hanya akan menjadi isu politik yang hangat, amunisi tempur dalam persaingan kekuasaan politik dan ekonomi seperti pada era Pemerintahan Gus Dur, tanpa didasari oleh keinginan mereka untuk melahirkan pemerintahan yang bersih.MAKA kembali ke pertanyaan awal menaksir siapa pasangan calon presiden dan wakilnya yang mampu membawa negeri ini keluar dari cengkeraman rezim korupsi, barangkali bukan perkara mudah sekarang ini. Secara teoretis, pasangan calon presiden dan wakilnya yang antikorupsi ialah mereka yang bukan bagian dari masa lalu, yang telah teruji rekam jejaknya bersih dari korupsi, tidak terikat pada kepentingan bisnis donatur dana politik, serta yang paling utama punya nyali untuk melakukan perubahan dengan kalkulasi politik yang jitu. Silakan taksir sendiri adakah prototipe pemimpin semacam itu dari kelima pasangan capres-cawapres? Rasanya kita tidak bisa berharap banyak pada mereka dan karenanya perhatian kita harus lebih diarahkan pada pembangunan gerakan sosial antikorupsi yang lebih berpengaruh.Sindrom pemerintahan lemah pasca- Soeharto yang mencuatkan wacana pemerintahan yang efektif guna menjawab preferensi umum mengenai masalah lapangan kerja (ekonomi), kepastian hukum dan keamanan, bila tidak dicermati bisa menyesatkan pemilih dalam memilih presiden mendatang. Memang dalam beberapa jajak pendapat yang dilakukan oleh banyak pihak, masalah korupsi bukan perhatian utama masyarakat. Cuma sekitar lima persen. Tetapi siapa pun yang terpilih sebagai presiden nantinya barangkali akan dihadapkan pada kesulitan yang sama untuk bertarung melawan rezim korupsi guna menyediakan iklim bisnis yang kondusif, terbebas dari ekonomi biaya tinggi.Jaminan kepastian hukum dan keamanan membutuhkan kehadiran polisi, jaksa, dan hakim yang jujur, serta birokrasi yang melayani kepentingan umum, bukan mereka yang menyuap paling besar. Efektivitas pemerintahan barangkali akan lebih ditentukan oleh sejauh mana masalah struktural itu diselesaikan guna melahirkan kepemimpinan, seperti diidealkan Hyde, yang responsif, terbuka bagi observasi publik, bertanggung jawab kepada publik dan taat pada rule of law. Bukan oleh kehadiran figur yang berwibawa, santun atau menyejukkan, apalagi yang bengis.
Teten Masduki
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan