"Cacat" UU Mahkamah Agung

Pengesahan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung pada Kamis (18/12) malam agaknya memang mempertegas adanya politik transaksional di Dewan Perwakilan Rakyat. Di sinilah kewenangan legislasi ”dijual” untuk kepentingan sekelompok orang. Di titik tertentu dapat berwujud pengkhianatan konstitusional terselubung.

Kali ini Mahkamah Agung menjadi ”target operasi” terpenting. Dua poin krusial yang diselipkan terletak pada bagaimana kekuatan elite status quo dipertahankan melalui jalur legislasi dan desain ketertutupan MA. Lembaga ini dijauhkan sedemikian rupa dari pengawasan. Dengan kata lain, publik sangat mengkhawatirkan, MA didesain menjadi sebuah tirani yudikatif.

Cacat prosedural
Pada aspek formal, pembahasan UU MA dari awal hingga akhir dinilai bermasalah. Ketertutupan dan kewajiban partisipasi menjadi asas yang selalu dilanggar pada tahap pembentukan awal. Kesan pembahasan yang sangat tergesa-gesa pun tidak dapat dihindarkan, terutama ketika pemimpin sidang paripurna dinilai melangkahi sejumlah tahapan dan prosedur hukum saat mengesahkan RUU MA tersebut.

Di tingkatan paripurna itulah Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pelanggaran yang lebih mendasar telah terjadi, terutama ketika pengambilan keputusan dilakukan dan pemimpin sidang paripurna menyatakan sebuah RUU sah sebagai undang-undang. Berdasarkan pemantauan langsung yang dilakukan, terlihat Ketua DPR selaku pemimpin sidang paripurna menafikan penolakan 109 anggota DPR yang tergabung dalam Fraksi PDI-P. Padahal, pernyataan tersebut telah disampaikan secara tegas dan tertulis dalam pendapat akhir fraksi. Bahkan, interupsi dari Fraksi PPP juga tidak diperhatikan. Pengesahan ini tentu cacat hukum. Dan, publik berhak tidak mengakui keabsahan UU MA.

Terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Tata Tertib DPR 2005/2006 (Tatib DPR) yang dituangkan dalam Keputusan DPR No 08/DPR-RI/I/2005.2006 merupakan satu produk hukum yang dilangkahi dengan sangat vulgar. Lihat saja BAB XXVIII tentang tata cara pengambilan keputusan, tepatnya Pasal 205, 206, 208, 209, dan 210 Tatib DPR. Tindakan Ketua DPR yang memimpin sidang saat itu dinilai melanggar sejumlah pasal dalam Tatib DPR tersebut.

Kuorum yang tidak diindahkan, misalnya. Paripurna yang secara riil hanya dihadiri sekitar 90 anggota DPR tentu saja tidak memenuhi ketentuan Pasal 206 Tatib. Dinyatakan, semua rapat DPR hanya dapat mengambil keputusan jika dihadiri lebih dari setengah anggota rapat. Apakah 90 orang sudah cukup?

Mengingat jumlah total anggota DPR adalah 550 orang, tingkat kehadiran Paripurna UU MA tentu sangat kecil. 90 dari 550. Hanya 16,4 persen. Lantas, bagaimana mungkin pemimpin sidang berani mengambil keputusan malam itu? Di sinilah pelanggaran pertama dilakukan. Karena pengambilan keputusan dilakukan secara langsung, angka kehadiran juga harus dihitung dari anggota yang secara nyata dapat memberikan sikap dalam sidang tersebut. Atau, mereka yang secara fisik hadir.

Dalam logika a-contrario, tidak mungkin anggota yang secara jasmaniah tidak hadir di ruangan dapat menyatakan persetujuan ataupun penolakan. Dengan demikian, logika kehadiran yang hanya didasarkan berdasarkan absensi semata dinilai tidak cukup argumentatif secara hukum.

Apalagi, Pasal 6 Ayat (2), Kode Etik DPR memberikan kewajiban ”kehadiran secara fisik” dan bahkan menyatakan ketidakhadiran lebih dari tiga kali sebagai pelanggaran. Lagi pula, bukankah tugas DPR untuk hadir dan ikut membahas sebuah undang-undang?

Klausul berikutnya yang dilanggar terletak pada mekanisme mufakat atau suara terbanyak. Publik menyaksikan dengan sangat jelas, satu dari 10 fraksi menolak secara tegas pengesahan RUU MA. Atau, setidaknya 109 suara anggota DPR tidak setuju dengan pengesahan tersebut sehingga pemimpin sidang tidak dapat dengan mudah menyatakan bahwa RUU MA telah sah menjadi undang-undang. Namun, kenapa pemimpin sidang saat itu langsung mengetuk palu, padahal sejumlah interupsi dan penolakan masih terdengar? Inilah pelanggaran kedua yang dilakukan.

Sesungguhnya ada banyak penyimpangan dan pelanggaran hukum yang terjadi, baik dari proses awal hingga akhir paripurna. Akan tetapi, dua catatan di atas telah secara jelas dapat mengantarkan argumentasi, bahwa pemimpin sidang diduga melanggar Tatib DPR, yang notabenenya merupakan bagian dari kode etik. Pasal 7 Kode Etik jelas mengatur, pelanggaran Tata Tertib masuk dalam kualifikasi Pelanggaran Kode Etik.

Atas dasar itulah, ICW menolak keabsahan UU Mahkamah Agung. Persekongkolan politik semakin nyata ketika kesan pemaksaan dan pengesahan yang terburu-buru dilakukan dan sejumlah materi undang-undang semakin memperlemah fungsi pengawasan dan audit eksternal seperti Komisi Yudisial dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Pengajuan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu jalan yang akan dipilih selain pengaduan kepada Badan Kehormatan DPR. Sejumlah cacat prosedural dan pertentangan beberapa pasal UU dengan konstitusi akan menjadi dasar argumentatif agar UU MA dibatalkan demi hukum. Publik tentu saja tidak ingin kewenangan konstitusional lembaga legislatif, seperti DPR, dibajak untuk kepentingan segelintir pihak.

FEBRI DIANSYAH Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Kompas, 24 Desember 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan