Cacat Moral Insan Terpelajar

Polsek Kasihan, Bantul, Yogyakarta-seperti diwartakan oleh media massa-belum lama ini menangkap sarjana farmasi lulusan universitas negeri terkenal di Yogyakarta berinisial RZ.
 
RZ digelandang polisi ketika melakukan kejahatan intelektual sebagai pelaku perjokian. RZ ditangkap saat menjadi joki ujian masuk mahasiswa baru di lingkungan fakultas kedokteran perguruan tinggi swasta (PTS) terkenal di Yogyakarta.
 
Sementara itu, satu bulan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi meringkus empat tersangka dugaan suap terkait pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT).  Keempat tersangka adalah pejabat publik berpangkat tinggi. Mereka insan terpelajar berpendidikan sarjana. Bahkan salah satunya menyandang gelar akademik doktor.
 
Kedua contoh tindak kejahatan tersebut adalah contoh kecil kejahatan kerah putih yang secara sengaja dilakukan insan terpelajar. Mereka adalah orang yang beruntung berhasil mengenyam pendidikan tinggi dari perguruan tinggi ternama dan terakreditasi memuaskan. Mereka bergelar sarjana, bahkan salah satu tersangka berijazah doktor. 
 
Jika ditilik dari capaian gelar akademis yang digenggam, mereka adalah kelompok insan terpelajar. Sayangnya, pada konteks ini, mereka terjerumus menjadi manusia cacat moral. Kecacatan tersebut terpaksa melekat erat dalam napas kehidupan mereka sehari-hari karena terperangkap jebakan kuasa uang. Mereka tergiring menjadi kelompok penyembah ideologi hedonisme dan materialisme.
 
 Secara de jure, mereka memang insan terpelajar pemilik sah ijazah sarjana, master dan doktor. Namun, secara de facto mereka mendekonstruksi dirinya menjadi orang tidak terpelajar. Orang tidak berpendidikan. Orang yang mengingkari kepemilikan talenta intelektual karunia Tuhan. Orang yang dengan sengaja mempermalukan dirinya. Orang yang sengaja membanting harga dirinya agar tercebur ke dalam jurang kenistaan: insan terpelajar, tetapi cacat moral!
 
Berdasarkan realitas sosial, kenyataan mental dan spiritual  semacam itu, penyandang cacat moral, sah dinilai sebagai penyandang cacat yang sesungguhnya. Kecacatan tersebut secara kasatmata muncul dari aspek batiniah, kemudian merembet  pada perilaku lahiriah. Selanjutnya, energi negatif tersebut menyebar bagaikan virus flu di musim hujan. Menyerbu ke seluruh nadi kehidupan sang penyandang cacat moral tersebut.
 
Amsal cacat moral lainnya tervisualkan atas beringasnya insan terpelajar. Mereka menjadi kesurupan saat menanggapi dan menyikapi realitas sosial yang tidak sebangun dengan kehendak rasa serta pikirannya. Mereka melakukan perlawanan sosial secara membabi buta. Biasanya diwujudkan dalam sebentuk aktivitas kekerasan fisik dan dioplos dengan kekerasan verbal sekaligus kekerasan visual.
 
Paparan tersebut menguatkan sinyalemen yang mengasumsikan harkat dan martabat kemanusiaan insan terpelajar hilang tanpa menyisakan sedikit pun ingatan positif sebagai sosok insan terpelajar. Hal itu dilakukan demi memuaskan egoisme pribadi dan kelompoknya. Simpul pangkalnya sebenarnya berujung dari terjadinya miskomunikasi akibat buntunya proses berkomunikasi  secara egaliter di antara para pihak. 
 
Hilangnya kepekaan "ajar"
Rusaknya mental spiritual yang menggerogoti tubuh insan terpelajar ditengarai karena mereka kurang memiliki kepekaan "ajar". Dalam konteks pendidikan formal, seharusnya kepekaan ajar dibagikan sebagai tuntunan untuk menyelaraskan akal dan nalar perasaan insan terpelajar.  Sayangnya, kepekaan ajar sengaja diabaikan secara sistematis oleh pemerintah.
 
Pengabaian tersebut tecermin dari kurikulum dan pola pengajaran yang diterapkan selama ini. Pengajaran diperintahkan untuk berjalan sendiri. Keberadaannya sengaja diceraikan dari aspek pendidikan. Realitas sosialnya, sekolah dan kampus sebagai institusi pendidikan formal diperintahkan sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.
 
Perintah selanjutnya, tugas utama guru dan dosen sebagai pengajar sekaligus pendidik secara sistematis dipreteli. Sekarang mereka justru di-casting menjadi administrator pendidikan yang mengurusi  tetek bengek administrasi pendidikan dalam takaran kuantitatif yang terstruktur dan capaiannya pun harus juga terukur.
 
Dampaknya, sekarang lembaga pendidikan diposisikan sebagai komoditas industri pendidikan. Format semacam itu menyebabkan peserta didik harus berkenan menerima proses indoktrinasi penyeragaman pola pikir serta penyetaraan perilaku dan selera tata rasa. Hasilnya, keberadaan lembaga pendidikan tinggi dalam konteks industri pendidikan bersalin rupa. Ia jadi sarana komersial berburu jabatan, pangkat, derajat, dan kasta modern bergengsi tinggi.
 
Atas dasar hal itu, kini kehadiran lembaga pendidikan tinggi tidak lagi dipandang sebagai lembaga sosial. Ia bukan lagi sebuah lembaga sosial yang disematkan peran sosial untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia kini harus rela menanggalkan peran sosial sebagai sebuah lembaga yang dikalungi tugas mulia untuk menyemai  rangkaian ilmu pengetahuan dalam konteks nilai- nilai kemanusiaan yang berbudaya, adil, dan bermartabat.
 
Kondisi semacam ini harus segera dipangkas dengan semangat revolusi mental. Ia diganti dengan pola pendidikan dan pengajaran yang di dalamnya mensyaratkan proses belajar-mengajar untuk memerdekakan akal serta nalar perasaan peserta didik secara bertanggung jawab dan bermartabat. Jika tidak, maka  fenomena cacat moral insan terpelajar secara kuantitas dikhawatirkan meningkat tajam dari tahun ke tahun.
 
Masalahnya kemudian, relakah kita ketika melihat hal itu terus-menerus terjadi di depan pelupuk mata?
 
SUMBO TINARBUKO, Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta
--------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Juni 2017, di halaman 7 dengan judul "Cacat MoralInsan Terpelajar".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan