Cacat Lembaga Demokrasi Sipil

Kasus penangkapan anggota KPU Mulyana W. Kusuma oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menyuap petugas auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengejutkan setiap orang yang mengenal sosok Mulyana W. Kusuma.

Mulyana selama ini dikenal sebagai aktivis yang gigih berjuang di bawah bendera kebebasan, HAM, dan demokrasi. Orang yang mengenalnya tentu tak percaya, figur sekaliber Mulyana yang paham luar dalam rimba-belantara hukum di Indonesia melakukan suap untuk menutupi kasus yang diduga korupsi di KPU.

Tulisan ini tetap berpijak pada asas praduga tak bersalah selama proses hukum belum menghasilkan keputusan final. Sebaliknya, tulisan ini berupaya memaparkan dampak peristiwa tersebut terhadap kinerja dan citra institusi demokrasi sipil yang diwakili oleh KPU.

Puncak Keberhasilan
Posisi KPU sebagai representasi lembaga demokrasi sipil di Indonesia dapat dikatakan merupakan puncak keberhasilan sipil dalam mendesakkan agenda reformasi birokrasi penyelenggaraan pemilu di Indonesia yang selama puluhan tahun didominasi dan dihegemoni aparat birokrasi Orba, mulai tingkat pusat sampai daerah.

Demokrasi dan hegemoni politik Orba begitu kuat sehingga tidak ada satu pun kekuatan partai politik dan kelompok kepentingan media yang mampu menembus birokrasi KPU Orba yang bertugas mengolah perolehan suara selama pemilu-pemilu Orba.

Ketika itu, masyarakat dan partai politik hanya bisa menerima bentuk jadi angka-angka hasil pemilu yang diolah secara oligarki dan tertutup oleh rezim Orba.

Artinya, tidak ada oposisi atau institusi pengontrol hasil-hasil pemilu yang mampu mengkritisi sekaligus menampilkan angka-angka pembanding karena sistem informasi pemilu diciptakan sedemikian rupa agar tidak muncul kontrol dari masyarakat.

Kini setelah proses transformasi kekuasaan berubah menjadi makin terbuka, pluralis, dan menuju demokratis, penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh KPU/KPUD yang berisi figur-figur sipil, yaitu akademisi, tokoh LSM, tokoh media, bahkan tokoh agama.

Keberadaan KPU yang sipil jelas merupakan
counter hegemony terhadap KPU model Orba yang sarat dengan kekakuan, tidak transparan, dan kedap kontrol publik. Dengan KPU baru hasil reformasi, maka semangat untuk menghasilkan kualitas pemilu yang demokratis makin tinggi.

Terbukti, pemilu pertama era reformasi 1999 dan pemilu legislatif serta pemilu presiden dan wakil presiden 2004 suskes. Dua pemilu itu diikuti beragam partai politik plus beragam spektrum ideologi politik serta menghasilkan wakil-wakil rakyat yang kebanyakan berasal dari kalangan sipil. Bahkan, di parlemen pun tidak ada lagi wakil dari Polri/TNI.

Parlemen dari tingkat pusat dan daerah diisi figur-figur sipil yang berlatar belakang aktivis HAM dan demokrasi, jajaran politisi partai, pengusaha, tokoh agama, mantan elite sipil, maupun mantan elite militer Orba yang berganti baju menjadi sipil.

Kelompok elite sipil yang kini menguasai parlemen, partai, dan organisasi yang melambangkan hadirnya supremasi sipil itulah yang kemudian menjadi kekuatan politik baru dalam masyarkat kita.

Dari Militer ke Sipil
Dengan demikian, selama enam tahun sejak reformasi bergulir, lambang supremasi politik bergeser dari dominasi militer yang memiliki sumber kekuasan politik berupa akumulasi senjata ke supremasi sipil yang representasi politiknya berupa institusi-institusi demokrasi sipil seperti partai politik, parlemen, media yang relatif bebas dan independen, kelompok penekan dan kepentingan, serta kepala daerah yang berasal dari figur sipil.

Masyarakat pun percaya, institusi-institusi sipil tersebut akan menjadi motor pembaruan kehidupan politik dan penegakan hukum di Indonesia. Masyarkat pun berharap kekuatan sipil itu akan konsisten membumikan idealisme politik mereka ke tingkat yang konkret dengan mendukung gerakan antikorupsi yang selama ini carut-marut.

Bahwa masalah korupsi sudah sedemikian senapas dengan budaya, diperkuat dengan hasil kajian T
ransparency International bahwa dua pusat pemerintahan, yaitu Jakarta dan Surabaya, merupakan kota terkorup pertama dan kedua di Indonesia. Reaksi pun muncul dari birokrat yang tidak terima bahwa kotanya masuk terkorup.

Resistensi politik yang muncul menunjukkan bahwa para elite tidak peka dengan kebobrokan sistem yang ada di lingkungan kekuasaannya. Alih-alih memberantasnya, sebaliknya malah mengancam akan menuntut secara hukum pihak-pihak yang membeberkan korupsi di institusinya.

Segala harapan dan kepercayaan publik pun pupus manakala dijumpai banyak anggota dewan, KPUD, dan kepala daerah di Indonesia yang menjadi tersangka korupsi. Anggota dewan dari Sumbar, Kaltim, Sidoarjo, Malang, Majene Sulsel, Kupang NTT, Solo, sampai jajaran birokrasi dan kepala daerah Blitar, Banyuwangi, Bengkulu, hingga kasus gubernur nonaktif NAD pun tersangkut dugaan korupsi.

Modus operandi kasus korupsi yang dilakukan elite politik tersebut bervariasi, mulai penggelapan dana proyek, penyelewengan dana APBD, mark up pembelian barang, sampai penggelapan dan penipuan terhadap pihak lain.

Terjadinya korupsi di jantung institusi demokrasi itu semakin memperkuat asumsi bahwa reformasi politik hanya menghasilkan perubahan struktur, namun tidak diikuti dengan reformasi budaya, perilaku, dan mentalitas di kalangan elite politik.(Kris Nugroho, dosen FISIP Unair)

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 27 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan