Cabut Revisi UU KPK, Prioritaskan Revisi UU Tipikor!

PELEMAHAN KPK LEWAT PROSES LEGISLASI BELUM SELESAI

Setelah menimbulkan polemik dan penolakan banyak pihak, Presiden Joko Widodo pada Jumat 19 Juni 2015 akhirnya menyatakan membatalkan rencana pemerintah membahas Revisi Undang-Undang Pemberantasan Korupsi (Revisi UU KPK) dalam Program Legislasi Nasional 2015. Langkah Jokowi ini sudah tepat dan patut diberikan apresiasi karena Jokowi mendengar aspirasi publik dan secara subtansi Revisi UU KPK dinilai sebagai salah satu bagian dari skema besar upaya pelemahan KPK.

Sebelumnya Pemerintah dan DPR yang saling lempar tanggung jawab soal inisiatif revisi UU KPK. Ketidakjelasan ini tentu menimbulkan kecurigaan terhadap latar belakang diusulkannya pembahasan revisi UU KPK. Kecurigaan ini semakin menguat ketika revisi UU KPK ternyata tidak masuk kedalam prioritas 37 RUU dalam Prolegnas Pemerintah dan DPR di tahun 2015.

Dalam wacana revisi UU KPK tahun 2015 setidaknya ada 5 (lima) poin krusial yang perlu dicermati dan ini menjadi peluang pelemahan KPK.

Pertama, pencabutan kewenangan penyadapan. Penyadapan sebagai salah satu kewenangan yang dimandatkan dalam UU adalah senjata yang paling ampuh dalam membongkar kasus-kasus korupsi besar terutama suap. Banyak perkara korupsi yang terungkap melalui penyadapan, jika kewenangan ini dihapuskan maka pengungkapan kasus suap seperti yang terjadi di Sumsel baru baru ini tidak mungkin terjadi.

Kedua, terkait penghapusan kewenangan penuntutan KPK. Disatukannya kewenangan penyelidikan/penyidikan dan penuntutan dalam KPK adalah guna mempercepat proses penanganan korupsi sehingga tak berlarut-larut. Hal ini belajar dari praktik antara Kepolisian dan Kejaksaan dimana sering terjadi “bolak-balik” dalam penuntutan perkara sehingga penuntasannya memakan waktu sangat lama.

Ketiga, terkait perlu bentuknya dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK.  Pembentukan dewan pengawas juga tidak relevan karena saat ini KPK sudah diawasi banyak pihak. KPK diawasi oleh pengawasan Internal yaitu Bagian Pengawasan internal dan Penasihat KPK dan komite etik KPK maupun pengawas eksternal yaitu DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Keempat, terkait memperketat rumusan kolektif kolegial.  Bahwa makna kolektif kolegial tak dapat diartikan secara keseluruhan komisioner KPK. Pemaknaan kolektif kolegial haruslah dimaknai sebagai sebuah prinsip kebersamaan dan kesetaraan dalam berbagai proses. Dalam rencana revisi UU KPK pengaturan lebih rinci tentang kolektif kolegial sebagaimana pandangan pertama hanya akan mempersulit kerja-kerja KPK dalam memberantas korupsi.

Kelima, KPK diberikan kewenangan menghentikan perkara. Kepuasan publik terhadap kinerja KPK tak dapat dipungkiri juga dikarenakan KPK tak memiliki kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan. Hal ini memaksa KPK untuk sangat hati-hati dalam memeriksa perkara korupsi yang ditanganinya. Upaya ini terbukti dengan prestasi 100% conviction rate KPK, yang berhasil membuktikan perkara korupsi di persidangan. Diberikannya kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan hanya akan menurunkan standar penanganan perkara korupsi yang dilakukan KPK.

Dampak yang ditimbul apabila kelima isu krusial tersebut diakomodir dalam revisi UU KPK antara lain:

  1. KPK menjadi mandul dalam mengungkap kasus korupsi yang semakin canggih dan terselubung.

  2. Berlarut-larutnya penanganan perkara korupsi KPK karena penyidikan dan penuntutan dilakukan dua lembaga/institusi yang berbeda.

  3. Jika kewenangan penuntutan dilakukan terpisah potensi penghentian perkara korupsi oleh Kejaksaan sangat terbuka lebar.

  4. Menarik kewenangan penuntutan KPK ke Kejaksaan hanya akan membuka praktik korupsi baru di Kejaksaan dengan modus penghentian perkara

  5. Dibentuknya dewan pengawas hanya akan menimbulkan tumpang tindih pengawasan karena sudah ada komite etik KPK dan pengawas internal yang mengawasi kerja KPK.

  6. Memberikan kewenangan penghentian perkara hanya akan mendegradasi kualitas KPK sebagai institusi penegak hukum yang modern.

  7. Disamping itu KPK tak lagi menjadi contoh bagi Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal penangan perkara korupsi.

  8. KPK akan berangsur menjadi “Komisi Pencegahan Korupsi”

Namun demikian proses pelemahan KPK melalui proses legislasi belum dapat dikatakan selesai karena saat ini (Prolegnas 2015) DPR memprioritaskan Revisi Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan Revisi Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Dalam catatan ICW kedua regulasi ini penting untuk diwaspadai karena beberapa subtansi dapat melemahkan KPK. (Terlampir)

LEBIH TEPAT PRIORITASKAN RUU TIPIKOR

Seharusnya yang diperlukan saat ini – untuk kondisi korupsi yang semakin merusak dan canggih di Indonesia - adalah Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor). RUU Tipikor masuk dalam Prolegnas 2014-2019, namun sayangnya tidak menjadi prioritas jangka pendek. Jika pemerintah dan DPR ingin memperkuat KPK dan mendukung pemberantasan korupsi maka bukan dengan cara merevisi UU KPK namun justru yang harus dilakukan adalah melakukan revisi UU Tipikor.

Upaya menyusun RUU Tipikor sesungguhnya sudah dilakukan pemerintah sejak tahun 2007 dengan Tim yang diketuai oleh Prof. Andi Hamzah, SH. Namun pada tahun 2011, naskah RUU Tipikor yang disusun oleh pemerintah tersebut batal diserahkan ke DPR untuk dibahas. Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia saat itu menilai masih ada beberapa hal yang harus diperbaiki dalam naskah RUU Tipikor. Pasca 2011, tidak pernah lagi ada proses pembahasan RUU Tipikor meskipun masuk dalam Program Legislasi Nasional periode 2009-2014. Tidak tuntas di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), Revisi UU Tipikor saat ini kembali masuk menjadi prioritas di era pemerintahan Jokowi melalui Prolegnas 2014-2019.

Indonesia Corruption Watch bersama sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan sejak 2009 dan kemudian diperbarui tahun 2015 ini telah menyiapakan Naskah Akademik dan Rancangan Revisi UU Tipikor (Usul Inisiatif Masyarakat).

Keberadaan Naskah Akademik dan RUU Tipikor Versi Masyarakat merupakan bagian dari strategi untuk “mengawal” dan memberikan masukan substantif pada proses perumusan RUU Tipikor yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR, Masyarakat juga ikut memastikan agar prinsip-prinsip UNCAC diadopsi ke dalam UU Tipikor yang baru serta mengkonsolidasikan potensi didalam masyarakat dalam membangun sistem pemberantasan korupsi yang lebih komprehensif. Sekaligus dapat menjadi referensi dalam pembahasan RUU Tipikor tersebut nantinya di DPR

Dengan pertimbangan melakukan adopsi terhadap ketentuan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Korupsi (UNCAC) dan praktek penegakan hukum dalam perkara korupsi, ICW merekomendasi sedikitnya 18 (delapan belas) perbaikan dalam Revisi UU Tipikor yang diharapkan dapat mendukung optimalisasi pemberantasan korupsi.

Delapan belas rekomendasi ICW untuk Revisi UU Tipikor antara lain:
1. Pemberatan ancaman pidana (penjara dan denda) yang merugikan keuangan negara/daerah
Ancaman pidana yang diberikan lebih berat kepada pejabat publik yang melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangannya melakukan korupsi dan merugikan keuangan negara/daerah dibanding orang yang bukan masuk kedalam kategori pejabat publik. Bagi pelaku dari Pejabat publik ancaman pidana minimal adalah 6 tahun penjara sedangkan pelaku non pejabat publik dihukum dengan pidana minimal 5 tahun penjara.

2. Perluasan makna dari unsur merugikan keuangan negara/daerah
kerugian keuangan negara/daerah” tidak hanya yang bersifat ekonomi (finansial), namun juga kerugian negara/daerah berupa hilangnya sumber daya alam atau lingkungan atau ekologis akibat korupsi yang dilakukan.

3. Perluasan lembaga yang menghitung kerugian (keuangan) negara/daerah
Penghitungan kerugian negara/daerah dapat dilakukan oleh BPK atau BPKP atau Kantor Akuntan atau juga institusi penegak hukum sepanjang yang melakukan penghitungan adalah orang yang mempunyai kompetensi.

4. Penjatuhan pidana penjara melebihi 20 tahun penjara
Hukuman lebih dari 20 tahun penjara dapat dijatuhkan apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, terbukti tindak pidana korupsi lebih dari 2 (dua) perkara atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Mendatang tidak ada hukuman seumur hidup maupun hukuman mati untuk koruptor.

5. Penjatuhan Pidana tambahan bagi korporasi
Korporasi yang terbukti melakukan korupsi mendapatkan pidana tambahan, diantaranya pencabutan izin usaha, pembubarann korporasi dan pengambilalihan korporasi sebagaimana yang diatur dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang.

6. Pengaturan pidana dan perampasan untuk perolehan kekayaan secara tidak wajar (Illicit enrichment)
Pejabat publik yang diketahui memiliki harta benda yang diperoleh secara tidak sah atau tidak sesuai dengan pendapatannya yang sah diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 8 dan denda paling sedikit Rp.100 juta dan paling banyak Rp.350 juta. Harta benda yang diperoleh secara tidak sah atau tidak sesuai dengan pendapatannya yang sah dirampas untuk negara.

7. Pengaturan pidana untuk pejabat publik yang “memperdagangkan pengaruh” (trading in influence)
Revisi UU Tipikor berupaya menjerat pelobi atau lobbysit, sebuah profesi yang familiar di lingkungan politik. Revisi UU Tipikor mengatur ancaman pidana karena memperdagangkan pengaruh, setiap orang yang memberikan janji atau penawaran atau pemberian sesuatu apapun kepada pejabat publik atau orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung agar pejabat publik atau orang lain tersebut menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang dianggap ada dengan maksud memperoleh sesuatu dari otoritas administrasi atau publik untuk kepentingan orang tersebut atau siapa pun.

8. Perluasan Pidana Tambahan berupa Pencabutan Hak
Terhadap terpidana dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak antara lain: hak politik, hak untuk memperoleh remisi, pembebasan bersyarat dan cuti terhadap terpidana yang tidak mau bekerja sama dengan penegak hukum, hak memperoleh gaji atau tunjangan  atau fasilitas sebagai pegawai negeri sipil atau pejabat publik, hak untuk mendapatkan dana pensiun, hak untuk menduduki jabatan struktural dilingkungan pemerintah, penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

9. Pengaturan Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi
Tindak Pidana Korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa membutuhkan cara-cara penanganan yang luar biasa dan hukum acara yang berbeda dengan kejahatan biasa. Misalkan Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tidak memerlukan surat izin dari Presiden atau pejabat lain. Dalam Revisi UU Tipikor juga menegaskan Penuntutan perkara tindak pidana korupsi dilakukan oleh Kejaksaan Republik Indonesia, dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

10. Pengaturan sanksi administratif dan ancaman pidana terhadap pejabat publik yang tidak melaporkan atau tidak jujur dalam pelaporan kekayaan
Pejabat Publik yang tidak memberikan laporan harta bendanya kepada KPK dikenakan hukuman disiplin berat yang terdiri dari: Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun; Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; Pembebasan dari jabatan; Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai PNS. Hukuman disiplin berat sebagaimana disebutkan pada ayat (3) diberikan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara

Pejabat Publik yang memberikan laporan harta benda yang tidak benar dipidana karena memberikan keterangan palsu diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan negara berhak merampas harta benda yang keterangannya dipalsukan dalam laporan harta benda

11. Pembentukan Lembaga Pengelola Aset hasil korupsi
Lembaga Pengelola Aset berwenang menyimpan, mengelola aset hasil korupsi, dan melaksanakan putusan pengadilan yang berkaitan dengan uang pengganti dan pemenuhan ganti kerugian pihak ketiga akibat tindak pidana korupsi.  Lembaga ini diperlukan khususnya untuk mengelola aset-aset dalam bentuk perusahaan atau badan hukum agar nilainya tidak jatuh atau merugi. 

12. Pemberian sanksi bagi pejabat publik yang tidak melaporkan penerimaan hibah atau gratifikasi
Revisi UU Tipikor menegaskan Pejabat Publik dilarang menerima, baik secara langsung maupun tidak langsung, hadiah atau hibah yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya berhubungan dengan jabatannya. Pejabat Publik wajib melaporkan hadiah atau hibah yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya berhubungan dengan jabatannya, yang diterimanya baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi atau Pusat Pelaporan Gratifikasi pada Kementerian/ Lembaganya paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan hadiah atau hibah. Pejabat Publik yang tidak melaporkan penerimaan hadiah atau hibah dikenakan hukuman disiplin berat terdiri dari: Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun; Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; Pembebasan dari jabatan; Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai PNS

13. Penyuapan kepada Aparat Penegak Hukum
Rumusan dalam pasal ini memasukkan pelaku-pelaku baru dalam tindak pidana korupsi yakni, Penyidik, penuntut umum dan saksi. Sebelumnya dalam UU No. 20/2001 hanya merumuskan pelaku tindak pidana korupsi pada hakim dan advokat. Ketentuan ini, di masukkan karena semua pihak dalam suatu proses penegakan hukum akan memiliki peran yang sama,  baik untuk tegaknya hukum maupun khususnya untuk membuktian adanya tindak pidana korupsi.

14. Pengaturan korupsi di sektor swasta
Ketentuan mengenai penggelapan dalam jabatan dan Penerimaan Suap oleh sektor swasta ini, juga merupakan mandat dari pasal 21 UNCAC.  Ketentuan ini menegaskan bahwa tindak pidana korupsi juga bisa di lakukan oleh seseorang dalam jabatan swasta jika tindakan pidana itu di lakukan berkaitan dengan posisi atau jabatan swastanya yang untuk kepentingan umum.

Revisi UU Tipikor memberikan ancaman pidana terhadap seseorang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang bekerja pada badan di sektor swasta dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang bertentangan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum atau merugikan orang lain.

15. Pengaturan penyuapan terhadap pejabat publik asing maupun organisasi internasional
Revisi UU Tipikor juga mengatur ancaman pidana bagi setiap orang yang : memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat publik asing dengan maksud agar pejabat itu bertindak atau tidak bertindak dalam melaksanakan tugas-tugas resminya yang bertentangan dengan kewajibannya; memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang dalam jabatan apapun dalam organisasi internasional publik dengan maksud agar pejabat itu bertindak atau tidak bertindak dalam melaksanakan tugas-tugas resminya yang berlawanan dengan kewajibannya;

16. Perlindungan terhadap Pelapor
Penyidik mempunyai kewajiban terhadap pelapor yang beritikad baik dalam bentuk antara lain:  Memberikan penjelasan kepada pelapor tentang hak-hak yang dimilikinya yang berhubungan dengan kasus korupsi yang dilaporkan; Memberikan perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta benda, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan laporan yang telah diberikannya; dan Memberikan informasi mengenai perkembangan kasus, putusan pengadilan, dan dalam hal terpidana dibebaskan. Pelapor yang beritikad baik dalam perkara tindak pidana korupsi tidak dapat dituntut baik secara pidana atau perdata atas laporan yang telah diberikannya.

17. Pihak ketiga yang dirugikan akibat korupsi dapat mengajukan gugatan
Setiap orang yang menderita kerugian langsung karena tindak pidana korupsi berhak mengajukan tuntutan ganti kerugian ke Pengadilan berdasarkan suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap tau bersamaan dengan perkara pokoknya.

18. Perluasan peran serta masyarakat
Masyarakat (perseorangan atau kelompok) dapat mengajukan praperadilan berkaitan dengan penanganan perkara korupsi oleh penegak hukum (misal penghentian atau berlarutnya perkara) . Jika membantu mengungkap kasus korupsi Masyarakat juga dapat menerima premi 2,5 % dari kerugian keuangan negara yang berhasil diselamatkan.

Berdasarkan uraian diatas maka kami meminta:

  1. Presiden Joko Widodo

    1. Memastikan bahwa perintah menghentikan proses pembahasan RUU Tipikor ditaati oleh seluruh jajaran pemerintah (Wakil Presiden, Menteri Hukum dan HAM, Kapolrim Jaksa Agung, dan Mendagri). Perlu ada sanksi yang keras bagi jajaran dibawah Presiden yang membangkang atau tetap mendukung Revisi UU KPK dan upaya pelemahan terhadap KPK. Pengalaman perintah Jokowi untuk stop kriminalisasi terhadap KPK yang tidak ditaati tidak boleh terjadi dalam kaitannya dengan Revisi UU KPK ini.

    2. Mencabut Revisi UU KPK dalam Prolegnas 2014-2019, dan mendorong percepatan pembahasan RUU Tipikor sebagai wujud dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi secara menyeluruh.

    3. Mengingatkan Partai Pendukung Pemerintah Jokowi untuk juga menolak Revisi UU KPK.

    4. Memprioritaskan proses pembahasan RUU Tipikor dalam Prolegnas jangka pendek.

    5. Membatalkan upaya pelemahan pasal-pasal dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP yang berpotensi memperlemah kerja-kerja pemberantasan korupsi.

  2. Dewan Perwakilan Rakyat

Menghentikan upaya pembahasan revisi UU KPK atau membatalkan pasal-pasal dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP yang berpotensi memperlemah kerja-kerja pemberantasan korupsi termasuk didalamnya KPK.


Jakarta, 21 Juni 2015


Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan

Indonesia Corruption Watch


Aradila Caesar – Lalola Easter – Emerson Yuntho


POINTER PELEMAHAN KPK DALAM RUU KUHAP

Pasal Inti Dampak

Pasal 3 ayat 2

Ketentuan dalam UU ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain.

Ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi yang saat ini digunakan KPK.

Pasal 44

Penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.

Penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat dihentikan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

Pasal 58

Persetujuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5 x 24 (lima kali dua puluh empat)

KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan. Di sini, hanya disebutkan kepala kejaksaan negeri dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan negeri; kepala kejaksaan tinggi dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan tinggi; atau Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

Pasal 67

Penangguhan Penahanan yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa

Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh KPK.

Pasal 75

Penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan

Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak memberikan persetujuan penyitaan, barang yang disita harus segera dikembalikan kepada pemilik.

Pasal 83

Penyadapan pembicaraan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan

Penyadapan pembicaraan hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari Hakim.

Pasal 84

Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan

Jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberi persetujuan penyadapan, maka penyadapan KPK dihentikan.

Pasal 240

Terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas.

Kasus korupsi yang diajukan oleh KPK, jika divonis bebas ditingkat pertama atau banding, maka tidak dapat dikasasi.

Pasal 250

Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.

Kasus korupsi yang diajukan oleh KPK jika divonis berat ditingkat pertama atau banding, maka dapat dipastikan divonis lebih rendah jika dikasasi.


Walau saat ini sudah ada regulasi tindak pidana korupsi (Tipikor) yang diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 dan UU no 20 Tahun 2001, para penyusun RUU KUHP tetap memasukkan delik pidana tindak pidana korupsi dalam revisi regulasi tersebut.Ketentuan mengenai tindak pidana korupsi diatur dalam Buku II tentang Tindak Pidana khususnya Bab XXXII tentang Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal Pidana Korupsi dalam RUU KUHP juga hanya 15 Pasal (Pasal 688-702). Bandingkan dengan UU Tipikor yang saat ini berlaku terdiri dari 31 jenis tindak pidana korupsi. Dari aspek pemidanaan, hukuman pidana dalam RUU KUHP lebih rendah daripada UU Tipikor yang saat ini berlaku.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan