Bung Hatta Award; Menjauhkan Korupsi, Mendekatkan Masyarakat

Wali Kota Surakarta Joko Widodo dan Pemerintah Kota Yogyakarta meraih Bung Hatta Anti Corruption Award tahun 2010.

Penghargaan itu diserahkan Kamis (28/10) ini. Menurut anggota Dewan Juri, Betti Alisjahbana, Senin (4/10), kriteria ditekankan pada reformasi birokrasi. ”Faktor yang dilihat adalah integritas, tindakan nyata, dan membangun sistem layanan publik yang terbuka,” ujarnya.

Joko Widodo dinilai berhasil melakukan reformasi birokrasi. Apa yang dilakukan Jokowi— panggilan akrab Joko Widodo—untuk mencegah dan memberantas korupsi di jajarannya?

Menurut Jokowi, sejak awal dia berupaya memperbaiki, mengubah, dan membenahi sistem. Misalnya, pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) dan perizinan. Jika dulu pengurusan KTP selesai dalam seminggu, bahkan sebulan, kini sejam jadi. Bahkan, tahun depan, ditargetkan selesai dalam tiga menit. ”Untuk apa lagi orang memberi amplop pada petugas jika satu jam saja KTP jadi?” katanya, pekan lalu di Solo, Jawa Tengah.

Demikian pula dengan perizinan usaha yang dulu selesai delapan bulan hingga satu tahun kini selesai dalam 3-6 hari. Perbaikan sistem itu juga merambah bidang lain, seperti kesehatan, antara lain Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Solo (PKMS). Masyarakat miskin pemegang kartu PKMS tidak perlu membayar untuk berobat di puskesmas. ”Kemudahan dan keterbukaan yang diciptakan lama-lama akan membudaya dan korupsi akan hilang dengan sendirinya,” katanya.

Namun, Jokowi mengakui, pembenahan sistem itu baru menyentuh 40 persen persoalan. Ia mencontohkan, di bidang pendidikan masih terjadi pungutan oleh sekolah saat penerimaan siswa baru. Ia masih mencari perbaikan di bidang itu. ”Bagaimana caranya agar tidak ada pungutan yang berkedok ganti-ganti nama. Dulu ada sumbangan pembangunan ganti sumbangan pengembangan, kemarin sumbangan institusi, sekarang sumbangan prestasi. Ini masih kami cari,” ungkapnya.

Bagaimana Jokowi melakukan pembenahan? Ia banyak belajar dari negara atau daerah lain yang lalu dievaluasi agar lebih sempurna untuk diterapkan. Wali kota yang juga eksportir mebel ini bercerita, saat mengurus izin investasi di Dubai, Uni Emirat Arab, hanya diperlukan waktu satu jam dengan dokumen cuma selembar kertas.

Untuk menerapkan perbaikan sistem, tak jarang timbul resistensi. Karena itu, diperlukan ketegasan. Ia mencontohkan, saat ingin menerapkan pengurusan KTP satu jam, ada pegawainya yang ”menawar” menjadi tiga atau enam hari. Tak segan- segan, pegawai itu pun dicopot.

Ia mengatakan, selain resistensi, ada pula kendala berupa aturan-aturan yang menghambat, tidak hanya di tingkat daerah, tetapi juga dari pusat. Untuk peraturan daerah, di Solo ada sekitar 13 peraturan daerah yang dinilai menghambat investasi dan tidak efisien.

Dengan mempersempit celah korupsi, kata Jokowi, anggaran menjadi tepat sasaran dan efisien. Masyarakat merasakan kehadiran pemerintah.

Penggiat Pusat Telaah dan Informasi Regional Surakarta, Alif Basuki, mengatakan, komitmen Jokowi dari aspek transparansi dan partisipasi dinilai cukup baik. Hal itu terbukti terbukanya dokumen APBD. Sejak masa pemerintahan Jokowi, Pemkot Solo menyebarkan poster berisi perincian APBD. Buku berisi APBD juga terdapat di kelurahan-kelurahan.

Akan tetapi, dikatakan Alif, masih ada beberapa kekurangan yang belum diperbaiki, seperti lelang yang belum satu atap. Isu korupsi juga pernah menerpa jajaran Pemkot Solo, termasuk Jokowi, terkait pembangunan Pasar Klithikan, Notoharjo. Namun, tudingan yang muncul saat pencalonan Jokowi sebagai wali kota untuk periode kedua itu tidak terbukti berdasarkan pemeriksaan Badan Pengawas Daerah Kota Solo dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Jawa Tengah.

”Penghargaan Bung Hatta ini harus jadi momentum untuk perbaikan yang lebih lagi. Jika melemah, kami tidak segan-segan mengusulkan agar penghargaan ini dicabut,” kata Alif.

Melayani masyarakat

Penerima penghargaan BHACA yang lain adalah Pemkot Yogyakarta. Sebagai wilayah terkecil (hanya 32,5 kilometer persegi) dari lima wilayah administratif di Provinsi DI Yogyakarta, Kota Yogyakarta menjulang dalam kancah nasional. Kiprahnya dalam tata kelola pemerintahan dan keuangan yang baik mendapat pengakuan luas.

Survei Indeks Persepsi Korupsi terhadap 50 kota di Indonesia yang diadakan Transparency International Indonesia pada 2009 menempatkan Yogyakarta sebagai kota paling bersih dari korupsi.

Pada tahun ini, Badan Pemeriksa Keuangan memberikan status ”wajar tanpa pengecualian” (status audit tertinggi) untuk laporan keuangan Pemkot Yogyakarta tahun 2009.

Kondisi itu tidak tercipta dengan sendirinya, tetapi hasil perwujudan kerja keras yang dipupuk secara bertahap dengan kepemimpinan visioner.

Saat ditemui awal Oktober, Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto yang berperawakan kurus dan berkacamata itu bercerita, pada awal ia memimpin, jurang hubungan antara pemerintah dan masyarakat menganga. Birokrasi yang merupakan abdi atau pelayan masyarakat justru berjarak dengan yang harus dilayani.

Kultur birokrat sebagai ”raja” masih sangat kental meskipun reformasi sudah tiga tahun bergulir kala itu. Menanamkan visi bersama bahwa birokrasi itu ada untuk melayani masyarakat dan akhirnya mencapai kesejahteraan bersama sangat susah.

Dengan kondisi mesin penggerak pemerintahan yang bermasalah itu, Herry memutuskan bertindak. Ia sadar, birokrasilah yang menentukan sukses atau tidaknya suatu pemerintahan. Di sisi lain, perubahan birokrasi sudah menjadi hal mutlak seiring derasnya tuntutan perubahan politik saat itu.

”Pilihannya hanya dua, dipaksa berubah atau secara sadar mengubah sendiri. Saya pilih yang kedua,” kata Herry yang pengusaha batik ini.

Herry sadar, kultur jelek birokrasi yang telah berakar lama tidak bisa langsung dipaksa berubah. ”Resistensi ada. Karena itu, pendekatan untuk mengubah birokrasi tidak saya lakukan dalam satu dimensi, tetapi multidimensi. Ada yang efektif disentuh dari segi keagamaan, ada yang dari sistem, ada juga yang personal. Macam-macam pendekatan dilakukan,” katanya.

Untuk itu, perubahan menuju tata kelola pemerintahan yang baik pun dibangun dari fondasi sistem dan nilai yang diselaraskan secara bertahap. ”Pertama saya bangun sistemnya dulu, setelah itu value diminta mengikuti. Lalu, saya tingkatkan sistemnya satu tingkat, value mengikuti lagi, begitu seterusnya,” ujarnya.

Salah satu value yang dibangun untuk mengikis kesakralan birokrasi adalah transparansi dan akuntabilitas. Herry membuka lebar-lebar keran bagi publik untuk mengakses pemerintahannya. Berbagai dokumen perencanaan, laporan pelaksanaan, laporan keuangan, hingga APBD dipampang dalam situs Pemkot Yogyakarta di www.jogjakota.go.id.

Aduan, keluhan, saran, atau informasi warga pada layanan pemkot dibuka peluangnya dalam Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan serta berbagai nomor hotline instansi-instansi teknis. Transparansi dan akuntabilitas itu diterapkan hingga level kelurahan dengan pemasangan rencana kebijakan pembangunan di kantor kelurahan.

Salah satu wujud nyata metamorfosa pembenahan tata kelola pemerintahan bisa terlihat dalam soal perizinan. Birokrasi perizinan dikoordinasikan dalam Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA). Pada 2006, UPTSA ditingkatkan lagi menjadi satu dinas tersendiri. Hasilnya, perizinan menjadi lebih efektif karena diproses di satu tangan saja. (Sri Rejeki/Mohamad Final Daeng)
Sumber: Kompas, 28 Oktober 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan