BUMN; Badan Usaha Milik Siapa?

BADAN Usaha Milik Negara (BUMN) kini sedang jadi sorotan. Itu dipicu oleh indikasi masuknya 19 komisaris BUMN dalam tim sukses calon presiden atau capres.

Sebagai Badan Usaha Milik Negara, BUMN memiliki dua jiwa. Pertama, jiwa badan usaha. Fungsinya jelas, menjalankan peran korporasi secara profesional untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Keuntungan itulah yang sebagian akan disetorkan kepada negara melalui dividen.

Kedua, jiwa milik negara. Fungsinya, menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk memenuhi hajat hidup warga negara. Caranya, melalui mekanisme public service obligation (PSO) atau pelayanan publik, baik di bidang energi, pangan, maupun transportasi.

Lalu, bagaimana jika kepentingan politik masuk dalam tubuh BUMN? Pertama, jiwa BUMN sebagai badan usaha akan terganggu. Kepentingan politik akan mengganggu mekanisme korporasi. Intervensi di sana-sini akan membuat manajemen BUMN tak bisa bertindak profesional.

Kedua, jiwa BUMN sebagai milik negara akan tercoreng. Politik mewakili  kelompok atau golongan, bukan negara. Karena itu, kepentingan politik tidak sebangun dengan kepentingan negara (rakyat).

Sampai di sini saja, sebenarnya, sudah bisa diambil kesimpulan, apa pun alasannya, masuknya komisaris BUMN dalam tim sukses capres jelas tidak bisa dibenarkan. Namun, untuk lebih menjelaskan betapa tidak ada excuse bagi masuknya kepentingan politik dalam tubuh BUMN, kita bisa melihat melalui kacamata good corporate governance (GCG), sebuah mekanisme tata kelola perusahaan yang baik, yang menjadi syarat mutlak tumbuh kembangnya sebuah entitas bisnis.

BUMN Sapi Perah

Memang, dengan total aset hingga Rp 1.845 triliun, size perusahaan pelat merah kita begitu besar. Belum lagi perputaran uang melalui belanja modal (capital expenditure) yang pada 2008 lalu mencapai Rp 128,32 triliun dan belanja operasional (operational expenditure) hingga Rp 962,77 triliun (prognosis). Angka yang fantastis.

Dengan perputaran uang yang begitu besar, jangankan memeras, mendapatkan tetesannya pun sudah akan membuat seseorang atau kelompok tertentu bisa memupuk pundi-pundi kekayaan yang luar biasa besar.

Memang, akan sangat sulit mencari bukti pengerukan dana BUMN oleh seseorang atau kelompok tertentu. Dalam era yang serba-teraudit seperti saat ini, orang yang ingin mengeruk uang dari BUMN tidak akan memakai cara-cara bodoh dan konvensional seperti meminta setoran uang. Jika dengan cara demikian, tentu akan banyak politisi dan pejabat BUMN yang bakal masuk bui.

Lalu, bagaimana caranya? Seorang pengamat kebijakan publik yang sudah lama memelototi BUMN menyebut, salah satu modus yang sering dipakai seseorang atau kelompok tertentu untuk mengakses dana BUMN adalah melalui kedok proposal bernilai ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Proposal itu bisa diajukan untuk acara-acara formal yang dikaitkan dengan hari-hari nasional atau acara informal lain. Agar mulus, proposal semacam itu biasanya juga menyertakan rekomendasi informal, baik dari para pejabat maupun orang-orang dekat pejabat.

Indikasi tersebut rupanya klop dengan pengakuan seorang eksekutif di salah satu BUMN besar di tanah air. Menurut dia, hampir setiap hari pihaknya menerima proposal dari berbagai kelompok, baik untuk acara skala daerah maupun nasional.

Selain modus proposal, intervensi dari pihak-pihak luar yang ingin mendapatkan keuntungan dari BUMN juga dilakukan dengan cara yang cukup rumit dan rapi. Salah satu contoh yang masih hangat adalah rencana aksi korporasi salah satu BUMN untuk mengakuisisi saham salah satu perusahaan.

Cerita itu tersiar dari berbagai SMS yang beredar di kalangan wartawan. Memang, tidak jelas benar dari mana SMS tersebut berasal karena entah sudah berapa kali SMS tersebut dikirimkan secara berantai. Namun, meski belum jelas kebenarannya, isi SMS itu patut dicermati karena cukup memiriskan.

Kira-kira, begini inti ceritanya. Ada salah satu perusahaan -sebut saja perusahaan A- yang berniat menjual sahamnya melalui mekanisme tender. Beberapa perusahaan berminat, salah satunya adalah BUMN.

Berdasar kapitalisasi pasar, nilai saham yang dijual seharusnya tidak lebih dari Rp 1 triliun, namun ada perusahaan yang menawar dengan nilai lebih dari Rp 1 triliun. Seakan tidak mau kalah dengan perusahaan swasta tersebut, BUMN yang ikut tender pun dikabarkan menawar dengan harga yang lebih tinggi. Alasannya, saham perusahaan A yang akan dibeli itu bernilai strategis bagi BUMN tersebut.

Dari situlah kabar kurang sedap beredar. Rumor di pasar menyebut, ada intervensi dari salah seorang petinggi yang memerintahkan agar BUMN itu mengajukan harga lebih tinggi sekitar Rp 100 miliar- 200 miliar dari harga yang sepantasnya. Selanjutnya, selisih pembelian ratusan miliar yang diterima perusahaan A tersebut akan disetorkan untuk mendukung kampanye salah satu capres.

Rumor tak sedap itu makin menyengat karena salah satu pejabat di BUMN tersebut masuk dalam tim sukses salah satu capres. Apalagi, perusahaan A yang sahamnya akan dibeli itu dikabarkan terafiliasi dengan grup usaha salah satu orang kuat di zaman Orde Baru. Karena itu, makin kencanglah beredarnya rumor tersebut.

Tapi akhirnya, rencana tersebut tak kesampaian. Men BUMN Sofyan Djalil menolak usul harga yang diajukan salah satu BUMN itu kerena dinilai terlalu mahal. Tentu saja, saat dikonfirmasi apakah penolakannya terkait dengan beredarnya rumor tak sedap tersebut, Sofyan pun membantah. (*)

Ahmad Baidhowi , wartawan Jawa Pos, owi@jawapos.co.id

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 23 Juni 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan