Bulog (Bukan Lagi) Sapi Perahan
Ketika kali pertama mulai bekerja sebagai direktur utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) pada 22 Maret 2007, Mustafa Abu Bakar berjanji akan menjadikan Bulog sebagai perusahaan yang sehat. Bulog bukan sapi perahan!tegasnya di hadapan karyawan Bulog.
Harapan Mustafa tak berlebihan. Selama ini badan pengelola pangan nasional itu sering menjadi sapi perahan pejabat Bulog dan penguasa. Bustanul Arifin, Beddu Amang, Rahardi Ramelan, Sapuan, dan Widjanarko Puspoyo adalah mantan pimpinan Bulog yang diadili karena dituduh korupsi.
Sejak zaman Soeharto, Bulog memang menjadi pengelola dana nonbujeter resmi yang bergelimang uang. Apalagi, dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga mengucur ke Bulog. Di sini banyak proyek pengadaan komoditas bernilai triliunan rupiah yang dikerjakan Bulog.
Di awal berdirinya pada 10 Mei 1967, lembaga tersebut sebagai penyedia dan pendistribusi pangan bagi rakyat. Dengan kewenangan lebih luas plus stabilisasi harga, menetapkan pemasok, dan menjaga ketahanan pangan, Bulog akhirnya menjadi mesin uang. Dana triliunan rupiah setiap saat bisa mengucur ke Bulog.
Posisinya sebagai lembaga yang langsung di bawah presiden menjadikan Bulog bisa menikmati dana nonbujeter di luar anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Itu yang menyebabkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sulit menjamah Bulog.
Mantan kepala Bulog, seperti Bustanul Arifin dan Beddu Amang, pun baru bisa diusut setelah Pak Harto tak berkuasa lagi. Keduanya diadili dan dihukum setelah terbukti korupsi. Berikutnya adalah Rahardi Ramelan yang menjabat kepala Bulog pada zaman Presiden B.J. Habibie.
Kala itu Bulog harus mengeluarkan dana Rp 40 miliar rekening nonbujeter yang diduga untuk biaya kampanye Partai Golkar. Atas perintah Presiden Habibie, dana itu diserahkan kepada Akbar Tandjung yang saat itu menjabat ketua umum DPP Partai Golkar.
Ketika kasusnya terungkap, pengelola Yayasan Raudhatul Jannah, seperti Winfried Simatupang, sebagai penerima dana itu tiba-tiba mengembalikan uang Rp 40 miliar kepada Bulog. Semasa Presiden Abdurrahman Wahid, skandal Bulog tak hanya memakan korban Wakil Kepala Bulog Sapuan. Presiden Wahid yang memerintahkan pencairan dana milik Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera) Bulog Rp 35 miliar untuk dipinjamkan kepada Suwondo, pemijat langganannya, justru mengakibatkan Presiden Abdurrahman Wahid dijatuhkan dalam Sidang Istimewa MPR.
Jadi, tak salah jika kemudian Wakil Presiden (Wapres) M. Jusuf Kalla yang pernah menjabat kepala Bulog selama enam bulan sebelum dipecat Presiden Abdurrahman Wahid menyebut jabatan kepala (direktur utama) Bulog sebagai hot seat alias kursi panas. Karena kursi panas ini pula, Widjanarko menjadi pesakitan.
Pimpinan Bulog yang menjabat sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri itu terjerat kasus impor sapi fiktif senilai Rp 11 miliar. Padahal, penugasan Presiden Megawati untuk persiapan Lebaran, Natal, dan Tahun Baru 2002 jelas sekali: mengimpor tiga ribu sapi. Tapi, hingga 31 Januari 2002, rekanan Bulog tak menepati janjinya.
Padahal, Bulog sudah mengeluarkan uang Rp 11,6 miliar. Dari kasus itu, mulai terlihat kewenangan Bulog semakin luas, juga menjadi pedagang sapi. Semasa dipimpin Widjanarko itu pula, Bulog melakukan kontrak pembelian pesawat Sukhoi dari Rusia yang menghebohkan.
Dan, yang dipersoalkan ialah mengapa harus Bulog yang membayar transaksi tersebut, bukan Departemen Pertahanan atau Departemen Keuangan? Bulog kala itu seperti sudah berubah fungsi menjadi kasir penguasa yang dananya bisa digunakan untuk keperluan apa saja, tak terkecuali membeli mesin perang.
Widjanarko memang tak seberuntung pendahulunya, seperti Ibrahim Hasan, Ahmad Tirtosudiro, Rizal Ramli, dan Jusuf Kalla yang sama sekali tak ternoda kasus pidana yang berkaitan dengan jabatannya sebagai kepala Bulog. Jika Mustafa tak hati-hati memegang kendali Bulog, dia bisa terjerumus seperti Widjanarko.
Mengapa? Sebab, sampai kapan pun Bulog akan tetap menjadi magnet yang diperebutkan berbagai kepentingan partai politik maupun penguasa. Jika itu tetap terjadi, apa yang diharapkan Mustafa ketika awal menjabat tak bakal bisa terwujud. Bulog akan tetap menjadi sapi perahan para pihak yang berkepentingan.
Impor komoditas besar-besaran yang berbau rekayasa sering mudah dibayari pemerintah, kendati petani dan pedagang menjerit karena produk lokal justru tak terbeli. Celakanya, keadaan seperti itu justru terkesan dipelihara terus tanpa henti. Kasus sapi impor fiktif adalah salah satu buktinya.
Agar Bulog tak lagi dijadikan mesin uang oleh pihak lain, Mustafa harus berani menolak permintaan proposal yang sering diajukan partai politik dan penguasa yang ingin memanfaatkannya. Mustafa juga harus berani membawa Bulog menjadi badan usaha yang lebih profesional dalam mengelola dana.
Mustafa sebagai pengganti Widjanarko jangan sampai dimanfaatkan pihak lain di luar Bulog. Dia harus bisa mengembalikan jati diri Bulog sebagai penyedia dan pendistribusi pangan bagi rakyat. Bukan penyedia dan pendistribusi dana nonbujeter yang melimpah.
Jika melihat catatan sejarahnya, Mustafa pernah menjadi Pj Gubernur Nagngroe Aceh Darussalam (NAD) ketika implementasi perdamaian. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak sembarangan memilih dia sebagai Dirut baru Bulog. Mustafa juga memiliki karier bagus.
Kalau Mustafa piawai dalam mengelola dana nonbujerer, niscaya Bulog bisa menjadi badan usaha yang jauh lebih maju lagi dibandingkan sekarang. Bulog tidak lagi dijadikan sapi perahan!
* Mochamad Toha, wartawan Majalah FORUM Keadilan
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 9 April 2007