Bulletin Mingguan Anti-Korupsi: 7-11 Desember 2015

Lelucon Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan

Beberapa minggu belakangan, hiruk - pikuk proses sidang Mahkamah Kehormatan Dewan DPR - RI (MKD) hampir mendominasi setiap pemberitaan. Sidang tersebut menindaklanjuti laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, atas dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto dalam kasus perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia (PT FI) pada 16 November 2015.

Menurut transkrip yang beredar di pemberitaan, Setya ditengarai mengatur renegosiasi perpanjangan kontrak PT. FI. Dalam percakapan tersebut, Setya diduga meminta PT. FI memberikan saham sebesar 11 persen kepada Presiden Joko WIdodo, dan 9 persen kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Perkembangan sampai dengan hari ini (10/12), hampir semua pihak yang dibutuhkan keterangannya oleh MKD sudah menjalani pemeriksaan. Namun, publik merasa sangat kecewa atas pemeriksaan yang dilakukan MKD. Khususnya pada sidang pemeriksaan terhadap Setya yang dilakukan secara tertutup. Proses ini sangat berbeda dengan proses pemeriksaan sebelumnya terhadap Sudirman Said sebagai pelapor, dan Presiden Direktur PT. FI Marof Sjamsoeddin sebagai saksi yang dilakukan secara terbuka.

Hukum positif di Indonesia sebenarnya menjamin kerahasiaan dan keamanan pelapor. Sehingga Sudirman Said dilindungi haknya sebagai pelapor. Bukan sebaliknya, melindungi terlapor dan memojokan pelapor. Sehingga tidak berlebihan rasanya, jika publik menilai pemeriksaan ini dipenuhi dengan kejanggalan.

Selain pemeriksaan Setya yang dilakukan secara tertutup, kejanggalan lainnya terlihat ketika MKD mencecar pelapor dengan pertanyaan - pertanyaan yang tidak relevan. Misalnya, MKD mempertanyakan legal standing pelapor (kedudukan hukum atau persyaratan sebagai pelapor). MKD sempat membangun argumen bahwa, Menteri tidak termasuk pihak yang memiliki hak untuk melaporkan pelanggaran etik anggota DPR ke MKD. Sejumlah pihak menilai argumen yang disampaikan majelis ini "ngawur", mengingat Undang - undang memberikan ruang kepada setiap individu untuk menyampaikan laporannya ke MKD.

Tidak hanya itu, MKD juga mempermasalahkan keabsahan perolehan bukti rekaman yang tidak dilakukan oleh penegak hukum. Rekaman yang dijadikan bukti dalam persidangan menjadi tidak sah, ilegal. Bisa jadi, MKD lupa jika mereka sedang menjalani proses sidang etik, bukan pidana. Untuk mencari kebenaran atas sebuah pembuktian, MKD dengan mudah bisa melakukan konfirmasi kepada terlapor dan saksi.

Ekspektasi publik terhadap pengungkapan kasus ini sangat tinggi. Hal ini menyebabkan respon publik terhadap proses di MKD menjadi sangat luar biasa. Jika ada proses yang dianggap keliru dan melecehkan nalar, maka publik dengan cepat mengambil sikap. Misalnya, alumni Sekolah Antikorupsi (SAKTI) ICW menggalang dukungan lewat petisi. Dalam satu hari, petisi mampu menembus 8.300 penandatangan. Dan dalam hitungan minggu, penandatangan petisi mencapai 43.831 orang. Mereka mendesak agar sidang MKD, menjadi sidang terbuka dan bisa dilihat seluruh rakyat Indonesia. Tidak terbatas pada petisi, kekesalan publik juga termanifestasi melalui pembuatan video di youtube. Video youtube yang dibuat oleh Eka Gustiwana mampu menembus 488.658 penayangan dalam hitungan minggu.

Proses persidangan MKD sebenarnya tidak hanya menentukan perbuatan Setya Novanto melanggar etik atau tidak. Lebih dari itu, persidangan kali ini menjadi tempat pertaruhan kredibilitas DPR kesekian kalinya. Publik sempat dikecewakan melalui putusan MKD dalam kasus "trumpgate", MKD hanya menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran terhadap Setya Novato. Padahal fakta membuktikan bahwa Setya hadir di acara Donald Trump yang mendeklarasikan diri sebagai bakal calon presiden, dan Setya Novanto sebagai Ketua DPR yang mengatas namakan rakyat Indonesia memberikan dukungan.

Hastag #PertanyaanMKD di jejaring twitter sebenar sudah meletakan sidang MKD sebagai lelucon. Mereka sudah dalam posisi yang tidak percaya dan cenderung menghina. Tapi MKD sebenarnya masih punya kesempatan terakhir untuk menyelamatkan dan memulihkan citranya, kalau saja MKD berani memberikan sanksi sangat tegas kepada Setya Novanto.***

BERITA MINGGUAN

STATUS UPDATES

7 Desember

  • Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat menambah dua tersangka baru terkait kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan kedokteran dan keluarga berencana di Rumah Sakit Umum Daerah Sulawesi Barat.

  • Mantan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem, Patrice Rio Capella, dituntut dua tahun penjara karena menerima suap Rp200 juta dari Gubernur Sumatera Utara nonaktif Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evy Susanti.

8 Desember

  • Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kupang, Nusa Tengara Timur (NTT) membebaskan delapan terdakwa yang diduga terlibat kasus dugaan korupsi pembangunan Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Nagekeo.

10 Desember

  • Kejaksaan Negeri Binjai menahan Kepala Seksi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Binjai, Epiyanto Nasution atas dugaan kasus korupsi pengadaan alat kesehatan.

  • Badan Reserse Kriminal Polri menyerahkan berkas penyidikan kasus dugaan penganiayaan pencuri sarang burung walet dengan tersangka penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, ke Kejaksaan Negeri Bengkulu.

  • Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta menduga ada kerugian negara dalam pembangunan XT Square Yogyakarta.

  • Terpidana korupsi APBD-P Temanggung 2004 yang buron sejak 2010, Totok Ary Prabowo ayng menjabat mantan Bupati Temanggung, ditangkap Kejaksaan Agung di Kamboja.

11 Desember

  • Penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, melakukan pencucian uang Rp 667,05 miliar.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan