Bulletin Mingguan Anti-Korupsi: 21-25 September 2015

Lagi, Tahanan Korupsi Tertangkap Pelesiran

Pekan ini, masyarakat kembali dihebohkan dengan beredarnya foto Gayus Tambunan di sebuah restoran. Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, yang telah divonis 30 tahun penjara karena kasus penggelapan pajak dan pencucian uang tersebut kembali berulah. Ini sebenarnya bukan pertama yang kali Gayus Tambunan tertangkap kamera berada di luar lapas (lembaga pemasyarakatan). Beberapa tahun lalu, Gayus tertangkap kamera wartawan sedang menikmati pertandingan tenis dunia di Bali.

http://news.detik.com/berita/3023909/penjelasan-ditjen-pas-soal-heboh-foto-gayus-tambunan-di-restoran

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membenarkan bahwa Gayus yang selama ini menjadi tahanan di lapas Sukamiskin, Bandung memang sempat keluar tahanan pada Rabu, 9 September 2105 untuk menghadiri sidang perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara.

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150921171448-12-80098/menkumham-gayus-keluar-tahanan-untuk-hadiri-sidang-cerai

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, narapidana diperbolehkan keluar lapas hanya dalam keadaan-keadaan luar biasa dan diberikan paling lama 24 jam tanpa menginap. Keadaan luar biasa dijelaskan dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b PP 32 Tahun 1999, yaitu jika ada keluarga sedarah (suami, istri, ayah, ibu, anak, kakak kandung, atau adik kandung) yang meninggal dunia atau sakit keras. Keadaan lainnya yaitu bila narapidana perlu menjadi wali atas pernikahan anaknya, dan pembagian waris. Mengacu pada penjelasan tersebut, alasan Gayus keluar lapas untuk menghadiri sidang perceraian tidak dapat dibenarkan, karena bukan termasuk kejadian luar biasa yang secara aturan telah disebutkan.

Menarik untuk diperhatikan bahwa biaya suap pelesiran keluar tahanan bisa mencapai ratusan juta. Pada kejadian sebelumnya, baru empat bulan mendekam di Rutan Mako Brimob, pada Juli 2010, Gayus menyuap Kepala Rutan Komisaris Iwan Siswanto sebesar Rp 10 juta untuk kabur tiga hari. Kemudian, Gayus keluar dari Rutan Mako Brimob selama 19 hari pada Agustus 2010 dengan uang suap Rp 70 juta. Setelahnya, demi pelesiran sebulan penuh atau 31 hari pada Oktober 2010, Gayus "menghadiahi" Komisaris Iwan Siswanto duit Rp 114 juta.

http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09/22/063702689/tarif-pelesiran-gayus-ke-luar-penjara-sampai-ratusan-juta

Pihak kepala lapas sukamiskin Edi Kurniadi sendiri mengakui, modus yang digunakan Gayus selain singgah ke tempat yang tidak semestinya, juga terlambat tiba di lapas.

http://news.metrotvnews.com/read/2015/09/24/434398/cctv-di-sekitaran-ruang-tahanan-gayus

Atas perbuatannya, Gayus mendapatkan sanksi isolasi didasarkan pada pelanggaran izin dan sesuai dengan aturan tertulis dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Gayus diduga telah melanggar ketentuan dalam bab V tentang Keamanan dan Ketertiban Pasal 47 ayat 2.

Sanksi berupa isolasi dan pemindahan tahanan dari Sukamiskin ke Lapas Narkoba Gunung Sindur – Bogor sebenarnya tidaklah cukup. Jika ada keinginan serius dari pemerintah, melalui Kemenkumham, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, penting untuk meningkatan kapasitas sumberdaya manusia di internal lapas, terutama untuk meningkatkan integritas petugas lapas.

Dan kedua, Yasonna perlu melakukan tindakan tegas terkait kasus Gayus ini. Yasonna harus melakukan investigasi penuh terhadap kejadian ini. Apalagi dari sejumlah pemberitaan sudah diakui adanya kekeliruan. Kapolri Jendral badrodin Haiti sendiri sudah mendukung dan memberikan jaminan akan memproses secara hukum jika Gayus keluar lapas secara ilegal.

http://www.rmol.co/read/2015/09/25/218582/Jenderal-Badrodin-Haiti:-Polisi-Pasti-Bergerak-Bila-Gayus-Keluar-Penjara-Secara-Ilegal-

Demi menjaga kewibawaan Kemenkumham, Yasona harus mengambil keputusan tegas jika terbukti ada pelanggaran yang dilakukan oleh jajarannya. Publik pasti mendukung jika memang langkah pencopotan Kepala Lapas harus dilakukan untuk menegakan hukum dan memberikan efek jera.***

Penyelundupan Norma dalam Putusan MK

Minggu ini ada kabar mengejutkan yang datang dari Mahkamah Konstitusi. Tepat pada 22 September 2015, MK (Mahkamah Konstitusi) mengeluarkan putusan yang berhubungan dengan Anggota MPR, DPR, DPRD dan DPD. Ke depan, untuk kepentingan penyidikan, penegak hukum membutuhkan izin Presiden untuk memeriksa mereka.

Berdasarkan putusan nomor 76/PUU-XII/2014, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Supriyadi Eddyono Widodo dan ICJR (Institute for Criminal Justice Reform). Inti dari putusan tersebut adalah apabila aparat penegak hukum ingin memanggil anggota DPR yang diduga melakukan suatu tindak pidana untuk dimintai keterangannya, maka perlu mendapatkan ijin dari Presiden yang berlaku selama 30 hari. Putusan ini memindahkan pejabat pemberi ijin dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) kepada Presiden.

http://icjr.or.id/icjr-kritik-putusan-pasal-perlindungan-anggota-dpr-putusan-tidak-menjawab-persoalan-hukum/

Meski tetap menghargai keputusan yang diambil oleh MK, para ahli hukum juga kecewa dengan putusan terebut. Di antaranya, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, yang juga merupakan Ketua MK pertama. Menurut dia, keputusan ini akan memperpanjang rantai birokrasi. Di tengah banyaknya tantangan dalam memberantas korupsi dan membangun pemerintahan yang baik, ada tambahan hambatan prosedural birokrasi dan tentunya menambah pekerjaan Presiden.

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/09/23/nv4xar335-jimly-kecewa-anggota-dpr-diperiksa-usai-izin-presiden

Jika ditinjau dari perspektif pemberantasan korupsi, ada banyak catatan kritis yang bisa ditemukan. Pertama, putusan MK keluar dari petitum (bagian dari surat gugatan yang dimohonkan), padahal pemohon tidak menyinggung prosedur izin tertulis Presiden untuk kepentingan pemeriksaan. Sehingga, tidak berlebihan jika publik menilai telah terjadi penyelundupan norma dalam putusan tersebut.

Kedua, putusan MK ini mengganggu independensi peradilan karena proses hukum justru tergantung pada izin Presiden. Syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi mekanisme penegakan keadilan. Lebih mengerikan lagi, persetujuan tertulis dari Presiden berpotensi menggerus makna pasal 24 ayat 1 UUD 1945 (konstitusi) yang menjamin bahwa sistem peradilan di Indonesia harus bebas dari intervensi.

Ketiga, putusan pengujian pasal tersebut bertentangan dengan mandat MK. MK memiliki mandat sebagai negative legislator. Ketika Mahkamah Konstitusi dalam putusannya memberi kuasa perizinan kepada presiden, MK justru menambah norma dan menjadi positive legislator, wewenang yang bertentangan dengan mandat yang dimilikinya.

Kelima, putusan MK menimbulkan Ketidakpastian Hukum. Hal ini dikarenakan tidak adanya batasan jangka waktu permohonan izin tersebut. Artinya, jika Presiden RI tidak mengeluarkan izin tertulis, proses hukum terhadap anggota legislatif yang sudah menjadi tersangka tidak bisa dilanjutkan.

Polemik terkait dengan izin presiden untuk pemeriksaan “pejabat” pada proses penyidikan sebenarnya bukan masalah baru. Dahulu, Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan pasal yang berhubungan dengan izin presiden (Putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011) dalam hal pemeriksaan kepala daerah. Hal ini dikabulkan oleh MK, karena izin tersebut dianggap bertentangan dengan asas equality before the law. Jika sekarang MK menambahkan frasa izin Presiden dalam putusannya, bukankah hal ini bentuk inkonsistensi dan lupa akan sejarah?***

RINGKASAN BERITA

  • Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, harus bertindak tegas dalam mengusut kasus ijin keluarnya Gayus Tambunan dari Lapas Sukamiskin - http://antikorupsi.info/Zwv

  • ICW berkeyakinan bahwa Undang-Undang No.14 Tahun 2008 adalah salah satu instrumen dalam upaya pencegahan korupsi - http://antikorupsi.info/Ziw

  • Pertamina akhirnya memenuhi tuntutan untuk menurunkan harga gas elpigi 12 kg. Tetapi penurunan harga itu masih sangat jauh dari yang diharapkan - http://antikorupsi.info/ZiZ

  • Keputusan MK soal ijin Presiden terkait pemeriksaan anggota DPR dipastikan akan mengganggu proses penegakan hukum yang efektif atas kasus-kasus pidana yang selama ini sering dilakukan oleh anggota dewan – http://antikorupsi.info/ZiJ

  • Kesadaran partai politik dalam memberikan informasi kepada publik tentang laporan keuangan, struktur kepengurusan, ataupun kegiatan yang dilakukan akhirnya menjadi bumerang sendiri. Kebiasaan partai politik ini terbukti digugat di komisi informasihttp://antikorupsi.info/Zii

UPDATE STATUS

21 September

  • Jaksa menuntut hukuman ringan pada dua terdakwa kasus korupsi uang hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia untuk Persiba Bantul.
  • Berkas Bambang Widjojanto sudah di bawah kendali Kejaksaan Agung.
  • Majelis hakim Pengadilan Tipikor Medan menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara kepada Mantan Direktur CV Arga Mulia, Tri Wahyudi.

22 September

  • Kejaksaan Agung menahan dokter yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan RSUD Sultan Thaha Saifuddin di Kabupaten Tebo, Jambi.
  • Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menerima berkas perkara kasus korupsi dana bantuan hibah Pemerintah Kota (Bandung tahun anggaran 2012, dengan tersangka anggota dewan Kota Bandung.

23 September

  • Jero Wacik dijerat pasal berlapis, yaitu menggunakan dana operasional menteri untuk kepentingan pribadi, memaksa bawahan mengumpulkan dana ilegal, dan menerima gratifikasi.

25 September

  • Walikota Medan periode 2010-2013, Rahudman Harahap, kembali akan diadili dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan tanah PT Kereta Api. Sebelumnya Rahudman telah dibebaskan di Pengadilan Tipikor Medan, tetapi jaksa penuntut umum mengajukan kasasi di Mahkamah Agung dan Rahudman divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan. Atas vonis tersebut, Rahudman mengajukan peninjauan kembali.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan