Bulletin Mingguan Anti-Korupsi: 2015 Juli 27-31
RINGKASAN BERITA
Senin, 27 Juli 2015
Aktivis ICW memenuhi panggilan Bareskrim terkait kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan Romli Atmasasmita. Dari diskusi para pegiat antikorupsi, kasus ini murni sengketa jurnalistik sehingga tidak pantas diselesaikan di ranah pidana.
Ada dua petisi yang bertolak belakang terkait Budi Waseso. yang satu menolak dan yang lainnya mendukung. Petisi menolak Budi Waseso sebesar 18.242 tanda tangan dan petisi mendukung budi Waseso sebesar 3.749 tanda tangan.
Dua pemimpin Komisi Yudisial yang menjadi tersangka dalam kasus pencemaran nama baik Sarpin Rizaldi memenuhi panggilan pemeriksaan oleh Badan Reserse Kriminal Polri.
Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa lagi Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, terkait kasus penyuapan hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, yang juga melibatkan pengacara OC Kaligis.
Pengacara OC Kaligis mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap KPK.
Selasa, 28 Juli 2015
Budi Waseso meralat pernyataannya bahwa tak ada instruksi Presiden untuk mentersangkakan dua komisioner Komisi Yudisial. Sebelumnya Budi Waseso mengklaim penyidik Bareskrim akan mengebut pengusutan kasus dua komisioner KY setelah Lebaran atas perintah Presiden Jokowi.
Bareskrim akan berkoordinasi dengan Dewan Pers terkait kasus yang melibatkan dua aktivis ICW atas laporan Romli Atmasasmita.
Sutan Bhatoegana dituntut 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara. Selain itu, jaksa penuntut KPK juga meminta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mencabut hak memilih dan dipilih Sutan (dalam jabatan publik) selama tiga tahun.
Sidang perdana gugatan praperadilan mantan Direktur Utama PLN Dahlan Iskan melawan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah digelar. Sidang ini untuk menggugat penetapan tersangka yang dilakukan Bareskrim pada 5 Juni 2015 lalu.
eleksi calon pimpinan KPK telah memasuki tahap ketiga. Dalam tahap ketiga ini, dilakukan serangkaian tes berupa profile assessment yang terfokus pada penggalian kemampuan berbahasa Inggris dan kepribadian guna melihat ketahanan fisik, loyalitas, kejujuran, dan mental.
Rabu, 29 Juli 2015
KPK menetapkan Gatot Pujo Nugroho dan Evi Susanti sebagai tersangka kasus dugaan penyuapan hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.
Kejagung telah menambah jumlah tersangka kasus korupsi pengadaan acara siap siar LPP TVRI tahun anggaran 2012 menjadi lima orang.
Dasep, Direktur PT Sarimas Ahmadi Pratama selaku insinyur dalam pembuatan mobil listrik ditahan oleh Kejaksaan Agung.
Kamis, 30 Juli 2015
Kepolisian Daerah Metro Jaya akan memeriksa Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Partogi Pangaribuan, sebagai saksi kasus penyuapan dan gratifikasi perizinan bongkar-muat barang di pelabuhan.
KPK akan memperberat hukuman pidana OC Kaligis yang dinilai tidak kooperatif dalam penyidikan.
Dewan Pers akan dimintai keterangan oleh Bareskrim untuk memperjelas duduk perkara keterlibatan media dalam kasus dugaan pencemaran nama baik Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara (Sultra) menyita uang hasil korupsi senilai Rp1,650 miliar. Uang tersebut berasal dari berbagai kasus korupsi di Sultra.
Jumat, 31 Juli 2015
Dua aktivis ICW menjalani pemeriksaan di Bareskrim untuk kedua kalinya dengan posisi sebagai saksi terkait laporan Romli Atmasasmita.
Kepolisian akan memeriksa 18 kementerian lain yang terlibat dalam penerbitan surat izin impor yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan. Pemeriksaan ini terkait penyidikan kasus suap dan gratifikasi pengurusan izin bongkar muat barang (dwelling) di Pelabuhan Tanjung Priok.
Polisi menyita uang Rp 69 miliar terkait dengan proyek percetakan sawah 2012-2014 di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Sidang perdana praperadilan yang diajukan OC Kaligis akan digelar pada 10 Agustus 2015 mendatang, untuk menguji penetapan tersangka yang dilakukan KPK.
PERKEMBANGAN PENTING
27 Juli
-
Aktivis ICW memenuhi panggilan Bareskrim
-
Petisi menolak Budi Waseso mendapat 18.242 tanda tangan
-
Komisioner Komisi Yudisial memenuhi panggilan Bareskrim
-
OC Kaligis mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap KPK
28 Juli
-
KPK sedang mendalami keterlibatan Gatot dan Evi dalam kasus suap hakim di Medan.
-
Bareskrim diminta mencabut kasus yang melibatkan komisioner Komisi Yudisial.
-
Bareskrim menjadwalkan pemeriksaan dua tersangka korupsi penjualan kondensat bagian negara.
-
Pansel sudah melakukan seleksi tahap ketiga untuk mencari sosok pimpinan KPK yang berkualitas.
29 Juli
-
Gatot dan Evi ditetapkan sebagai tersangka kasus suap hakim di Medan.
-
Pansel menyerahkan daftar nama calon komisioner untuk ditelusuri KPK.
-
Ahok diperiksa Bareskrim sebagai saksi dalam kasus korupsi UPS.
30 Juli
-
Partogi Pangaribuan diperiksa sebagai saksi dalam kasus suap dan gratifikasi perizinan bongkar-muat barang di pelabuhan.
-
Dewan Pers dimintsi keterangan oleh Bareskrim.
-
Kejati Sultra menyita uang hasil korupsi Rp1,650 miliar.
31 Juli
-
Dua aktivis ICW diperiksa Bareskrim sebagai saksi terkait laporan Romli
-
Kepolisian akan memeriksa 18 kementerian lain terkait kasus suap dan gratifikasi di Kementerian Perdagangan.
-
Polisi sedang mendalami peran Dahlan Iskan sebagai inisiator proyek cetak sawah di Ketapang.
IN-DEPTH ANALYSIS
Ancaman Kualitas Demokrasi
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan mantan terpidana (korupsi) maju dalam pencalonan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah sebagai hak konstitusional individu telah menyulut perdebatan panas. Beberapa partai politik, seperti Nasdem mengecam putusan tersebut karena merekalah salah satu fraksi di DPR yang mendorong agar ada pelarangan atas pencalonan seseorang sebagai kepala daerah sebagaimana telah diatur sebelumnya dalam UU Pilkada. Namun MK menghapus bentuk larangan tersebut dan memberikan ruang bagi mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai calon pejabat publik (elected officials). http://nasional.kompas.com/read/2015/07/10/02000021/MK.Anulir.Larangan.Mantan.Narapidana.Ikut.Pilkada
Alasan MK, UUD 1945 menyatakan bahwa UU tidak diperbolehkan untuk mencabut hak pilih seseorang, selain hanya dapat memberikan pembatasan saja. Pembatasan itu terletak pada dua hal, yakni pernyataan terbuka kepada publik jika dirinya adalah mantan narapidana. Jika calon tidak melakukan hal yang pertama, maka berlaku pembatasan kedua, yakni lima tahun sejak terpidana menyelesaikan hukumannya, ia boleh menggunakan hak pilih dan hak dipilihnya. MK berkeyakinan jika masyarakatlah yang akan menentukan apakah mantan narapidana akan terpilih kembali atau tidak.
Putusan MK barangkali mengandung kebenaran universal dimana dalam iklim demokrasi, siapapun tidak boleh dilarang untuk menggunakan hak pilih atau hak dipilihnya sepanjang sedang tidak menjalani hukuman karena sebuah tindak pidana yang dilakukannya. Namun demikian, putusan MK tidak berpijak pada konteks yang historis dan faktual karena demokrasi di Indonesia masih sangat labil. Kematangan politik warga belum terbentuk secara baik karena rendahnya tingkat pendidikan sebagaian besar penduduk dan secara ekonomi lemah. Sementara pada saat yang sama, partai politik dikendalikan oleh kekuatan oligarkhis yang memiliki kekuatan material besar sehingga mampu memonopoli arah dan kebijakan partai, sekaligus kepentingan partai. Bahkan studi dari berbagai kalangan telah menyimpulkan bahwa demokrasi (prosedural) di Indonesia telah dibajak oleh aktor non-demokrasi.
Kita mungkin bisa mengatakan bahwa kesimpulan tersebut terlalu dini, karena faktanya pilkada langsung yang telah digelar di Indonesia menghasilkan beberapa Kepala Daerah yang mumpuni. Sebagai contoh Basuki Cahaya Purnama (Ahok) di DKI Jakarta, Ridwan Kamil di kota Bandung atau Risma di kota Surabaya. Namun demikian, contoh ini tidak memadai untuk memberikan generalisasi atas fenomena pilkada di Indonesia karena jumlah kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia jauh lebih besar daripada tiga contoh keberhasilan pilkada yang kerap dijadikan rujukan. Mengacu pada putusan MK dalam sengketa pilkada, sebagian besar putusan MK menunjukkan adanya praktek politik uang yang massif, pelanggaran yang sistematis dan terstruktur yang dilakukan oleh para calon.
Praktek politik uang diyakini masih menjadi cara yang jitu untuk memperoleh kemenangan karena sikap permisif pemilih. Politik uang juga kerap dilakukan karena sulitnya praktek ini terungkap oleh penegak hukum. Jikapun diproses hukum, yang akan menjadi pesakitan hanya pelaku lapangan saja, mereka yang kedapatan memberikan sesuatu kepada pemilih, bukan pemilik uang atau pihak yang menyuruh/memerintahkan. Dengan kondisi seperti ini, diyakini bahwa mereka yang menjadi mantan narapidana korupsi dapat memenangi pilkada sepanjang kekuatan uangnya memadai. Putusan MK barangkali benar dari sisi yang satu, akan tetapi dapat menyebabkan pembusukan demokrasi pada sisi yang lain.***
Musim Pencemaran Nama Baik
Belakangan ini, Bareskrim Mabes Polri sedang sibuk dengan pemeriksaan laporan pencemaran nama baik (defamasi) terhadap penggiat anti korupsi. Pada minggu ini saja, Bareskrim tercatat melakukan beberapa kali pemeriksaan. Pertama, pemeriksaan terhadap Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki dan Komisioner Taufiqurrahman Syahuri 27 juli 2015, yang sebelumnya sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik hakim Sarpin Rizaldi.
Lalu, Bareskim juga memeriksa aktivis ICW, Adnan Topan Husodo dan Emerson Yuntho (tanggal 27 juli 2015 dan 31 juli 2015). Pemeriksaan terhadap aktivis di ICW berawal dari pelaporan yang dilakukan Guru besar Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita pada 21 Mei lalu. Laporan tersebut tidak hanya tertuju pada aktivis ICW, tetapi juga penasehat KPK Said Zainal Abidin. Romli menilai ketiganya telah mencemarkan nama baiknya melalui media massa antara lain Kompas, Tempo dan the Jakarta Post.
Pemberitaan tersebut sebenarnya hanya upaya untuk mengingatkan Presiden agar tidak salah pilih Panitia Seleksi (Pansel) KPK. Publik juga berharap bahwa Pansel tidak diisi Akademisi Pro Koruptor. Namun, kendati namanya tidak disebut ICW, Romli merasa bahwa berita tersebut dialamatkan kepadanya.
Jika saja laporan seperti bisa menyebabkan seseorang diproses hukum, maka pertumbuhan kehidupan berdemokrasi di Indonesia akan terhambat. Dalam kasus yang melibatkan KY, sangat berat jika pejabat berkomentar dalam tugasnya lalu dilaporkan. Negara ini akan maju kalau masyarakatnya memiliki hak berpendapat dan berkomentar. Karena itu bagian dalam proses pendewasaan demokrasi.
Selain itu, penjeratan dengan pasal defamasi bisa mengikis kepercayaan masyarakat terhadap Kepolisian. Hal ini dibuktikan dengan banjir petisi yang menuntut pencopotan Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Budi Waseso. Terakhir diakses, petisi tersebut sudah mencapai 19.138 pendukung.
https://www.change.org/p/pak-jokowi-copot-kabareskrim-budi-waseso-copotbuwas
Petisi tersebut mengatakan bahwa sekurangnya ada 49 orang pejuang anti korupsi dilaporkan dalam berbagai kasus pidana. Empat di antaranya adalah pejabat KPK dan Komisi Yudisial. Pokok tuduhannya hanyalah masalah sepele. Misal soal dugaan keterlibatan pembuatan KTP palsu dan tuduhan pencemaran nama baik. Hal yang sama juga dituduhkan kepada aktivis ICW.
Terkait pasal defamasi, Kepala Program Studi Akademi Televisi Indonesia Agus Sudibyo menjelaskan, ketika suatu pernyataan sumber dikutip dalam sebuah berita, sesungguhnya telah terjadi transisi dari ranah personal menuju ranah jurnalistik. Dengan transisi ini, maka tanggung jawab personal sumber berita pun juga digantikan oleh tanggung jawab institusional redaksi media (Harian Kompas - 24/7).
Dengan kata lain, jika yang dipersoalkan adalah masalah jurnalistik, maka penyelesaiannya harus melalui mekanisme penyelesaian jurnalistik sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Alangkah baiknya jika Kepolisian sebagai abdi masarakat bisa lebih jernih dan bijak untuk menggunakan alternatif ini. Apalagi lagi, sudah ada MoU (Memorandum of Understanding) antara Kepolisian dan Dewan Pers.
Presiden selaku otoritas tertinggi harus mulai mengambil sikap dan tidak membiarkan penegakan hukum Indonesia kembali ke masa pra-reformasi. Jika dahulu masyarakat dibungkam dengan penjeratan pidana atas tindakan subversif, maka pada era Presiden Joko Widodo, masyarakat dibungkam menggunakan jeratan pasal defamasi.***