Bulletin Mingguan Anti-Korupsi: 16-20 November 2015
Saturday, 21 November 2015 - 00:00
Dugaan Pelanggaran Etik Ketua DPR
Ketua DPR – RI (Dewan Perwakilan Rakyat) Setya Novanto kembali menjadi buah bibir dalam pemberitaan. Menteri ESDM, Sudirman Said melaporkan Setya ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) karena dugaan pencatutan nama Presiden dalam pengurusan izin PT Freeport Indonesia (PTFI). Sudirman menyebut bahwa Setya Novanto menjanjikan suatu cara penyelesaian tentang kelanjutan kontrak PT Freeport.
Berdasarkan pemberitaan, ada informasi yang beredar terkait dengan rekaman pertemuan antara pria yang disebut sebagai Setya Novanto dan pengusaha Reza Chalid dengan petinggi Freeport. Pada perkembangannya, bukti rekaman mengenai pertemuan Setya Novanto dengan petinggi Freeport pun sudah diserahkan Kementerian ESDM ke MKD pada Rabu (18/11/2015).
Kasus ini sangat menyita perhatian publik. Indikatornya, ada petisi yang dibuat oleh A Setiawan Abadi di situs change.org ini ditujukan kepada MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan), kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Belum 24 jam dibuat, petisi telah ditandatangani lebih dari 6.500 kali. Petisi tersebut menjelaskan bahwa Setya Novanto dianggap melakukan penyalahgunaan kekuasaan legislatif, memanipulasi informasi, dan pencemaran nama baik.
Jika benar pencatutan nama Presiden tersebut benar – benar terjadi, maka ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai jalan keluar. Pertama, menyelesaikan proses dugaan pelanggaran kode etik yang sebagai mana laporan Menteri ESDM. MKD memiliki kewajiban untuk menyelamatkan wibawa DPR. Penting untuk diingat bahwa berhadap – hadapannya Setya dengan MKD bukan yang pertama. Sebelumnya MKD pernah memproses Setya karena pertemuannya dengan Donal Trump. Dalam pertimbangannya, MKD menilai kehadiran Novanto di kampanye Trump tidak tepat. Terlebih lagi, Novanto sempat mengklaim kepada Trump bahwa rakyat Indonesia menyukainya. Meskipun pada akhirnya masyarakat menilai bahwa pemeriksaan Setya Novanto, MKD dianggap tidak sungguh - sungguh, lantaran MKD hanya memberikan sanksi dengan kategori ringan.
Kedua, pencatutan atau penggunaan nama Presiden bisa dianggap penipuan. Karena dalam sejumlah pernyataannya, Presiden membantah terhadap pengunaan namanya. Dalam perspektif hukum yang berlaku di Indonesia, penipuan ini memiliki konsekuensi pidana. Berdasarkan pasal 378 KUHP (Kitab Undang - Undang Hukum Pidana), siapapun yang bermaksud menguntungkan dirinya sendiri atau secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan agar orang lain menyerahkan sesuatu barang kepada dirinya, bisa diancam penjara paling lama 4 tahun. Pada titik ini, sebenarnya Kepolisian bisa bertindak proaktif tanpa menunggu laporan. Mengingat tindak pidana penipuan bukanlah delik aduan.
Dan ketiga, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebenarnya bisa juga terlibat untuk menyelesaikan persoalan ini. Pemberantasan korupsi sebenarnya tidak melulu urusan penindakan (proses pemidanaan). Tetapi juga ada dimensi pencegahan yang harus dilakukan. Paling tidak, dalam bingkai penyelamatan terhadap sumberdaya alam yang ada di Indonesia khususnya sektor tambang. KPK bisa melakukan evaluasi terhadap proses dan kegiatan pertambangan yang dilakukan PT. Freeport. Apakah memiliki manfaat bagi Indonesia, ataukah justru semakin merugikan. Termasuk proses perijinannya yang sekarang sedang ada upaya oleh PT. Freeport untuk diperpanjang.
Untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap DPR, maka MKD harus memproses laporan ini dengan maksimal. Semoga saja, pola pemeriksaan seperti sebelumnya terhadap Setya dalam kasus kunjungan Donald trump tidak terulang. Selain itu, Kepolisian dan KPK tidak perlu menunggu, karena potensi pelanggaran pidana dan korupsi juga ada dalam kasus ini. Penyelamatan terhadap sumber daya alam di sektor tambang harus dilakukan.****
Penarikan Jaksa Berprestasi di KPK
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Kristiana akan ditarik kembali oleh Kejaksaan Agung. Rencananya, Jaksa Yudi akan dipindahkan ke bagian Pusdiklat (Pusat Pendidikan dan Pelatihan) dengan pangkat eselon 3. Sejumlah kalangan menyayangkan hal ini, mengingat Yudi adalah salah satu Jaksa yang dianggap berprestasi di KPK.
Selama masa kerjanya, Yudi memegang peran sentral dalam penuntutan kasus - kasus besar di KPK. Diantaranya, kasus bank Century yang menyeret mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya. Selain itu, Yudi juga menangani korupsi dan pencucian uang proyek Hambalang yang menyeret mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Yudi sebagai ketua tim jaksa menuntut Anas dengan hukuman pidana selama 15 tahun. Tak hanya itu, Anas juga dituntut membayar uang pengganti sekitar Rp50 miliar dan pencabutan hak politik.
Kasus terbaru yang ditangani oleh Yudi dan masih berjalan adalah kasus dugaan korupsi mantan Sekertaris Jendral Nasdem Rio Capella dan pengacara Otto Cornelis Kaligis. Dalam kasus tersebut, Yudi bertugas memimpin penuntutan. Menariknya, Yudi ditarik setelah saksi pada perkara yang ditanganinya menyatakan, ada dana yang disiapkan untuk Jaksa Agung dan Direktur Penyidikan masing-masing. Sehingga ada kecurigaan bahwa penarikan ini dianggap sebagai bentuk pelemahan KPK. Masyarakat khawatir jika penarikan ini tetap dilakukan, maka kinerja KPK di bidang penuntutan akan terganggu
Berdasarkan ketentuan berlaku, fungsi penuntutan di KPK sepenuhnya bergantung pada tenaga Jaksa yang berasal dari institusi Kejaksaan. Hal ini dikarenakan fungsi penuntutan yang tunggal dan melekat pada Jaksa. Sehingga KPK tidak bisa mengangkat sendiri dan mengandalkan jaksa - jaksa yang ditugaskan oleh Kejaksaan. Konsekuensi, Kejaksaan Agung sewaktu - waktu bisa melakukan penarikan terhadap jaksa yang sedang bertugas di KPK.
Penarikan pegawai KPK oleh instansi asal diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 103 tahun 2012 tentang sistem manajemen sumber daya manusia KPK. Menurut pasal 5A ada 3 alasan yang harus dipenuhi untuk melakukan penarikan ke institusi asal. Pertama, pegawai telah 4 tahun melaksakan tugas. Kedua, penarikan dengan tujuan untuk melakukan pembinaan karier. dan ketiga, pegawai tersebut telah melaksanakan semua tugas dan tanggungjawab pekerjaan telah diselesaikan.
Jika melihat ketentuan tersebut, sudah sepatutnya penarikan Yudi harus kembali dipertimbangkan. Mengingat Yudi masih menyisakan tugas dan taggung jawab untuk memimpin penuntutan. Selain itu, Yudi masih memiliki sisa 2 tahun di KPK. Pada sisi yang lain, penarikan ini juga akan menimbulkan persepsi negatif di mata publik. Mengingat Jaksa Agung berasal berasal dari partai Nasdem (satu partai dengan terdakwa Rio Capela). Masyaraat sering mengait-ngaitkan bahwa penarikan ini dilakukan lantaran Yudi dinilai sudah mengganggu dan menyentuh kepentingan tertentu.
Melihat fenomena ini, sudah sewajarnya Kejaksaan Agung mengurungkan penarikan Yudi sampai tugas yang menjadi tanggung jawabnya benar - benar selesai dilaksanakan. Sehingga persepsi negatif bisa diluruskan, penuntasan perkara menjadi tidak terhambat dan lebih maksimal.***