Bulletin Anti-Korupsi Mingguan 15-05-2015

Perkembangan Utama dan Ulasan Berita 11-15 Mei 2015

ULASAN MINGGU INI:

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami kemunduran terkait kasus mantan Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin, ketika pada Selasa, 12 Mei, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa KPK “tidak memiliki bukti cukup” untuk mendukung dakwaan korupsi terhadap politisi Sulawesi Selatan tersebut. Para pakar hukum mempertanyakan legalitas putusan pengadilan, dan mengatakan bahwa pengadilan telah melampaui kewenangannya dengan memeriksa aspek prosedural kasus dan mengevaluasi bukti. Mantan pimpinan dan pimpinan KPK saat ini, tidak setuju dengan keputusan yang dikeluarkan, dan terus menahan pilihan banding terbatas mereka. Plt. Wakil Ketua KPK, Johan Budi, mengatakan bahwa KPK akan kembali mengajukan gugatan terhadap mantan Walikota tersebut, setelah mempertimbangkan keputusan hakim, dan akan menyesuaikan strategi untuk menghadapi sidang praperadilan berikutnya.

Minggu ini, unit Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Mabes Polri melakukan penggeledahan di kantor PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Dengan dukungan dari tim bersenjata lengkap, penggeledahan yang dilakukan jelas merupakan ajang unjuk kekuatan. Polri menarik perhatian media, dan hal tersebut sesuai dengan harapan Polri untuk memulihkan kredensial anti-korupsi Polri yang dipertanyakan. KPK telah melakukan penyidikan tuduhan korupsi yang melibatkan pejabat dari SKK Migas dan Kementerian Pertambangan dan Sumber Daya Alam, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), selama bertahun-tahun. Oleh karena itu penggeledahan yang dilakukan Polri, dan yang dipublikasikan secara meluas tersebut, diperkirakan dapat meningkatkan relevansi kepolisian dalam hal pemberantasan korupsi, terlepas dari fakta bahwa Polri melanggar pakta kesepahaman terkait perambahan birokrasi dalam penyidikan yang sedang berlangsung. Selanjutnya, pernyataan kepolisian bahwa pihaknya akan melakukan ekspose kasus dari PPATK terkait PT TPPI, telah mengecilkan peran KPK, terlepas dari janji kerjasama dengan lembaga antirasuah tersebut. Pekan ini, KPK mendakwa Waryono Karno, mantan Sekjen Kementerian Pertambangan dan Sumber Daya Alam, dalam sidang yang berlangsung pada 13 Mei, di TIPIKOR.

Tokoh masyarakat terus mengutarakan argumen terkait usulan KPK untuk membuka pintu bagi keanggotaan dari TNI. Tanggapan dari DPR sebagian besar negatif, sejumlah anggota dari Komisi III – yang mengawasi hukum, ham dan keamanan – mengatakan bahwa usulan tersebut melanggar sejumlah peraturan hukum. Pada pertengahan pekan ini, KPK menjelaskan posisinya, dan mengatakan bahwa personil militer harus terlebih dahulu mengundurkan diri dari tugas aktifnya sebelum dapat dipertimbangkan bergabung di KPK. Beberapa pihak bersepekulasi bahwa KPK meletakkan dasar sebelum Panglima TNI, Moeldoko, memasuki masa pensiunnya pada bulan Juni, agar yang bersangkutan dapat memainkan peran dalam lembaga antirasuah tersebut. 

Perkembangan terakhir, KPK memeriksa sejumlah saksi dalam kasus-kasus terbuka, termasuk kasus terkait Rumah Sakit Universitas Udayana, proses pengadaan e-KTP dan kasus mantan menteri Jero Wacik dan Suryadharma Ali. 

PERMOHONAN PRAPERADILAN MENAWARKAN KESEMPATAN DAN RISIKO

Keputusan Mahkamah Konsititusi pada 29 April lalu, memperluas kriteria terkait kewenangan pengadilan negeri untuk mempertimbangkan permohonan praperadilan. Keputusan terpisah dari hakim, dimana terdapat 6 dukungan 3 penolakan, telah menimbulkan kegelisahan di sektor hukum Indonesia, akan tetapi dampak keseluruhannya masih belum terlihat. Hal yang jelas terlihat adalah, keputusan tersebut telah menyebabkan posisi KPK terhadap praperadilan menjadi berbalik –  dari oposisi terhadap praperadilan, menjadi posisi yang menganggap praperadilan sebagai bagian utama dari strategi pertahanan untuk Wakil Ketua non-aktif KPK, Bambang Widjojanto dan penyidik KPK, Novel Baswedan.

Selama bertahun-tahun, pakar hukum mempertahankan pendapat bahwa Pasal 77 KUHP mengatur bahwa keputusan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka tidak dapat disengketakan di pengadilan. Pada tahun 2009, penasehat hukum Polri mengambil posisi yang sama ketika pimpinan KPK saat itu, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, meminta kajian resmi atas tuduhan bermotif politik yang dilayangkan pada keduanya ditengah-tengah sengketa dengan Polri.

Enam tahun kemudian, ketika permohonan praperadilan Komjen Budi Gunawan dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terjadi suatu kegagalan hukum yang menimbulkan preseden yang meresahkan. Antara bulan Feburari dan Maret, delapan tersangka kasus korupsi yang berbeda, mengajukan permohonan praperadilan untuk menantang keabsahan penetapan diri mereka sebagai tersangka, dengan harapan memperoleh jalan keluar melalui keputusan kontroversial yang dikeluarkan Hakim Sarpin Ridzaldi. Terlepas dari kekhawatiran bahwa “efek Sarpin” dapat menyebabkan pembatalan dakwaan terhadap tersangka korupsi, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan pada bulan Februari-Maret, baik karena kasus telah disidangkan di pengadilan sehingga permohonan batal demi hukum, atau karena pengadilan menerapkan interpretasi sempit dari Pasal 77 KUHP. Satu-satunya pengecualian adalah kasus mantan Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin, dan mantan Dirjen Pajak, Hadi Poernomo, yang masing-masing menarik kembali permohonan mereka pada tanggal 1 April dan 14 April.

Selama terjadinya ketidakpastian hukum antara Februari dan Maret, KPK mengadaptasi pendekatanwait-and-see. Seperti halnya Bambang Widjojanto dan Novel Baswedan – yang masing-masing menghadapi tuduhan kriminal – tidak mengajukan permohonan praperadilan karena khawatir melegitimasi langkah hukum yang masih dipertanyakan kepastiannya. Akan tetapi, setelah dikeluarkannya keputusan dari Mahkamah Konstitusi – yang memperluas peran yudisial sebagai sarana untuk memeriksa kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat – Bambang dan Novel mengajukan permohonan praperadilan masing-masing pada 5 Mei dan 8 Mei, guna menantang aspek dari tuduhan, penangkapan, penggeledahan dan penyitaan terkait kasus yang dituduhkan.  

Menjelang sidang praperdilan Bambang dan Novel, kasus yang ada saat ini mungkin bisa dijadikan pertanda akan apa yang nanti akan terjadi. Pada Selasa, 12 Mei, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menerima permohonan baru dari mantan Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin dan menolak tuduhan terhadap mantan Walikota tersebut. Pengadilan mengatakan bahwa KPK gagal memberikan dua bukti pendukung yang disyaratkan. KPK menghadirkan sejumlah pernyataan saksi-saksi dan laporan keuangan, tapi hakim menolak menerima bukti dalam bentuk fotocopy serta pernyataan saksi tanpa tandatangan saksi sebagai ganti dari dokumen asli. Keputusan ini memperlihatkan dua hal: pengadilan negeri berani memutuskan hal tersebut karena berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi, pengadilan tidak hanya berhak memeriksa aspek prosedur dari kasus, tapi juga kualitas bukti (terlepas dari kurangnya kewenangan hukum untuk melakukan hal tersebut); dan KPK tidak siap untuk menghadapi pemeriksaan mendalam seperti ini, karena sebelumnya pengadilan secara teknis berfokus pada (dan hal ini sesuai dengan ketentuan hukum) kajian prosedur dan kewenangan hukum. Terkait dengan keputusan MK tersebut, Plt. Ketua KPK, Johan Budi, mengatakan bahwa hakim telah melampaui kewenangan dengan memeriksa isi, dan bukan prosedur penyidikan. Johan menambahkan bahwa pengadilan memaksa dilakukannya pemeriksaan penuh terhadap bukti, yang dapat menyebabkan lembaga penegak hukum mengungkapkan penyidikan, sehingga membahayakan penyidikan yang sedang dilakukan, sebelum keputusan akhir dapat diperoleh.  

Kasus Bambang dan Novel sarat dengan penyimpangan dokumen dan pelanggaran hak sipil. Oleh karena itu, kecenderungan aktivisme yudisial belakangan ini, memberikan kesempatan terbaik bagi para pejuang anti-korupsi untuk menantang tuduhan bermotivasi politik yang dilayangkan terhadap mereka. Hal tersebut juga memperkenalkan sistem pemeriksaan yudisial terhadap kemungkinan penyalahgunaan kewenangan eksekutif, dalam masyarakat dimana penggeledahan dan penahanan tidak membutuhkan persetujuan hakim.

Di sisi lain, tren ini menimbulkan kesempatan yang berbahaya dimana pengadilan negeri dapat merampas kewenagan TIPIKOR, yang dididirikan untuk menjawab ketidakmampuan pengadilan negeri menangani kasus-kasus korupsi secara profesional dan tidak berpihak. Oleh karena TIPIKOR tidak memiliki mandat hukum untuk melakukan pengkajian terhadap permohonan praperadilan, pengadilan negerilah yang akhirnya mengambil peran ini, dan hal tersebut dapat menghentikan penyidikan yang tengah dilakukan, sampai adanya perbaikan legislatif. Dampak yang mungkin terjadi adalah KPK dan lembaga penegak hukum lainnya, harus menunggu penyidikan selesai dilakukan sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka. Akan tetapi, hal ini akan berdampak kemampuan menahan paksa tersangka untuk mencegah upaya melarikan diri, atau memusnahkan alat bukti.

Tersangka korupsi, Hadi Poernomo, mengajukan kembali permohonannya, dan sidang dijadwalkan dimulai pada Senin, 18 Mei. Sidang ini mungkin menawarkan pandangan terkait bagaimana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menginterpretasikan putusan Mahkamah Konsititusi sebelum sidang praperadilan Novel, yang dijadwalkan akan berlangsung pada 25 Mei. Jadwal sidang praperadilan Bambang sampai saat ini masih belum ditetapkan.

KPK MENJANGKAU MILITER

Pejabat KPK baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang mengindikasikan hubungan erat KPK dengan TNI. Sementara sebagian besar atensi media berfokus pada keuntungan dan kerugian merekrut personil TNI sebagai penyidik KPK, usulan kerjasama ini sebenarnya menunjukkan penguatan hubungan KPK-TNI yang secara bertahap semakin erat dengan terjadinya konflik KPK-Polri pada awal 2015. Personil TNI telah beberapa kali memberikan pengamanan – baik dalam bentuk jaminan maupun personil – untuk mengamankan gedung serta pimpinan KPK.

Protes awal muncul terkait dengan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI dan masalah TNI dengan integritas. Hal tersebut menggambarkan risiko signifikan bagi KPK, dalam hal reputasi dan independensi. Tidak ada alasan untuk berasumsi bahwa militer akan memberikan dukungan tanpa tujuan altruistis. Setidak-tidaknya, TNI berharap dapat meningkatkan reputasinya dengan mengasosiasikan lembaganya dengan popularitas KPK. Kemungkinannya adalah, TNI melihat penguatan KPK sebagai cara untuk membalas rivalnya, Polri. Skenario terburuk adalah, TNI berupaya mengambil alih KPK dan menyalahgunakan wewenangnya.  

Hal ini merupakan risiko serius dan membutuhkan pengawasan dan pengelolaan teliti. Akan tetapi, menghujat kerjasama dengan TNI sebenarnya mengindahkan realita kekuatan kedua lembaga tersebut dan iklim politik saat ini.

Secara institusi, KPK merupakan lembaga penegak hukum yang memiliki tugas untuk mengejar penjahat paling berkuasa di negeri ini, tapi KPK memiliki kekurangan dalam segi infrastruktur kekuatannya sendiri. Upaya KPK untuk membangun kekuatan penyidikan independen telah berkembang dengan baik, tapi masih tetap dibawah ancaman yudisial dan legeslatif. Dalam kasus apa pun, sumber daya penyidik KPK tidak akan bisa setara dengan staf kepolisian yang berjumlah 400.000. KPK selalu bergantung pada dukungan dari lembaga luar: penyidik kepolisian dan penuntut dari Kejaksaan Agung, yang telah membantu KPK selama satu dekade. KPK telah secara eksklusif bergantung pada otoritas moral lembaga dan menghindari terciptanya kesan berkuasa yang dapat menyebabkan persaingan tidak sehat dengan lembaga penegak hukum lainnya.  Akan tetapi, otoritas moral ini selalu didukung dengan keyakinan dari pihak-pihak yang ditangkap KPK, bahwa KPK memiliki “target” untuk membawa siapa saja ke pengadilan. Sesaat setelah kepercayaan itu digoncangkan, yang merupakan dampak dari diajukannya permohonan praperadilan baru-baru ini, kepatuhan memenuhi panggilan pemeriksaan dari KPK menurun pesat.

Oleh karenanya, KPK harus benar-benar membuktikan bahwa mereka mampu menyusun kekuatan untuk memaksakan dipatuhinya keputusan. Oleh karena selama empat bulan terakhir Polri memperlihatkan upaya untuk melemahkan KPK, jelas KPK tidak dapat bergantung pada Polri untuk menegakkan hukum. Penguatan internal KPK tidak dapat  dilakukan dengan adanya perbedqan pendapat di lembaga legislatif dan kurangnya dukungan dari eksekutif. Pilihan untuk menerima bantuan TNI, bukan lagi merupakan suatu pertimbangan, tapi lebih pada suatu hal yang tidak dapat dihindari sebagai akibat dari serangan Polri.

Perlu diingat bahwa kerjasama dengan militer akan memberikan manfaat  terkait situasi dengan kepolisian, terlepas dari kerugian yang ada: militer hampir-hampir tidak memiliki kewenangan penyidikan di luar militer. Bahkan jika suatu saat terjadi sengketa antara TNI dengan KPK, pengulangan krisis seperti yang terjadi saat ini, termasuk ancaman tuntutan kriminal, tidak mungkin terjadi. UU KPK juga membatasi kemampuan KPK untuk melakukan penyidikan terhadap angkatan bersenjata, sehingga menghilangkan kekhawatiran akan terjadinya konflik kepentingan. Maka, cicak KPK dapat bertahan dengan menyeimbangkan persaingan antar dua buaya.

Pertanyaannya adalah: bagaimana hubungan ini dapat terjaga dan tidak menjadi Pakta Faust? Empat panduan berikut dapat menjadi awal yang baik:


1)     Pemeriksaan sebelum perekrutan: TNI (dan rekanan di masa yang akan datang) harus tunduk pada proses perekrutan ketat sebagaimana pelamar lainnya, dengan fokus khusus terhadap latar belakang untuk menghindari penerimaan pelamar yang memiliki latar belakang buruk atau korupsi. Penunjukan “politik” merupakan hal yang dilarang di KPK, dan harus dihindari.  


2)     Hindari konflik kepentingan: Staf TNI yang membantu KPK tidak boleh terlibat dalam penyidikan yang mungkin berdampak pada kepentingan militer. Apabila memungkinkan, staf TNI yang membantu KPK harus ditarik dari penyidikan terkait kepolisian (dan menarik staf Polri yang membantu KPK dalam penyidikan terkait kepentingan militer)


3)     Klausula pekerjaan: Lembaga yang membantu KPK, harus memberikan ijin jika staf mereka memilih untuk bergabung dengan KPK. Terdapat manfaat signifikan bagi KPK jika dapat merekrut mereka yang terbaik dan terpandai (dan terjujur) untuk bergabung secara permanen.


4)     Menangani opini masyarakat: KPK harus transparan dalam proses perekrutan personil militer dan perwira polisi yang masih terus bergabung di KPK. KPK harus menjelaskan berapa jumlah staf yang sudah bergabung dan apa tanggung jawab mereka. KPK harus mempublikasi alasan kerjasama dan standar yang harus dipatuhi personil TNI atau perwira polisi yang bergabung, dan juga rencana kerangka kerja dari para staf ini.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan