Buletin Anti-Korupsi: Update 2-9-2016
POKOK BERITA:
“KPK Deteksi Imbal Balik Lain”
http://koran.tempo.co/konten/
Tempo, Jumat, 2 September 2016
Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, diduga tidak hanya menerima imbal balik atas izin usaha pertambangan yang diterbitkan untuk PT Anugrah Harisma Barakah. Politikus Partai Amanat Nasional itu juga ditengarai menerima komisi atas pemberian rekomendasi untuk konsesi tambang perusahaan lain di kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara.
“Suap ke Sanusi dari PT APL”
http://print.kompas.com/baca/
Kompas, Jumat, 2 September 2016
Suap sebesar Rp 2 miliar kepada mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, M Sanusi, berasal dari PT Agung Podomoro Land. Suap tersebut diberikan kepada Sanusi untuk memengaruhi pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
“Menkum dan HAM Dinilai Salah Kaprah”
http://mediaindonesia.com/
Pengamat hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar, menilai pemerintah memiliki dasar pemikiran yang salah terkait rencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan. Menurutnya, diskriminasi terhadap narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi merupakan bentuk komitmen pemerintah terhadap upaya pemberantasan praktik rasywah. Ia mengkritik Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly karena telah salah kaprah.
"Keserakahan Tak Ada Batasnya, Gaji Anggota DPR Selangit Pun Tetap Korupsi"
http://nasional.kompas.com/
Pengamat politik dari Statesmanship and Political Campaign Pusat Kajian Kebijakan Independen (Para Syndicate), Toto Sugiarto, menilai, alasan permintaan kenaikan gaji bagi anggota DPRD guna menghindari praktik korupsi sangat berbahaya. Pasalnya, alasan tersebut dapat dimaknai bahwa korupsi adalah hal yang lumrah dilakukan oleh anggota DPRD.
“Dana Aspirasi Rentan Dikorupsi Lagi”
http://mediaindonesia.com/
DPR membuka ruang bagi kembalinya Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) alias dana aspirasi di RAPBN 2017. Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyebut program semacam ini merusak sistem anggaran dan rentan korupsi. Contoh nyata ada pada kasus Damayanti Wisnu Putranti dari PDIP dan I Putu Susiaratna dari Partai Demokrat.