Bukti Ada Mafia Hukum

Terungkapnya fasilitas mewah untuk sejumlah terpidana, seperti Artalyta Suryani dan Limarita, di Rumah Tahanan Khusus Wanita Pondok Bambu, Jakarta, membuktikan adanya mafia hukum. Pejabat yang bertanggung jawab atas kejadian itu harus mendapat sanksi.

Ketua DPR Marzuki Alie, Senin (11/1) di Jakarta, menyatakan, seharusnya tidak ada diskriminasi terhadap tahanan.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung W mengaku kaget mendapat informasi terkait perlakuan yang didapat Artalyta. ”Saya terperangah, ada perlakuan berlebihan terhadap orang yang kasusnya sudah terang benderang. Itu kian menegaskan bahwa mafia hukum memang ada. Memang ada privilege. Ada orang kebal hukum. Itulah potret yang harus segera dibenahi,” kata dia.

Sebaliknya, Ismed Hasan Putro, Ketua Masyarakat Profesional Madani, menilai, temuan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum itu sebenarnya bukan hal baru. Sudah jadi rahasia umum. Praktik itu berurat berakar sehingga sulit diberantas jika upaya seperti sidak, Minggu lalu, hanya dalam konteks politik pencitraan. Bukan untuk membangun sistem dan menegakkan aturan.

Ismed menambahkan, tindakan keras harus diambil terhadap pejabat yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini, yaitu Direktur Jenderal Pemasyarakatan bersama jajarannya. Mereka tak cukup hanya mendapat sanksi administratif, seperti teguran.

Kasus ini, lanjut Ismed, juga harus menjadi pendorong bagi pemerintah dan DPR untuk segera merealisasikan dana bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna membangun rutan. Dengan demikian, tidak ada lagi penitipan narapidana koruptor seperti yang sekarang terjadi. Optimalisasi efek jera terhadap koruptor menjadi gagal jika ujung proses hukuman, yaitu penjara, memberikan keistimewaan dan kemewahan kepada koruptor.

Pasti bayar mahal
Secara terpisah, mantan penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta, Arswendo Atmowiloto, dan Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Senin, mengakui, narapidana yang mendapat berbagai fasilitas mewah pasti memperolehnya tidak gratis. Praktik jual-beli fasilitas kenyamanan dan keamanan dalam LP dan rutan punya tarif tersendiri.

”Semua itu ibarat dagang. Ada permintaan pasti ada penawaran. Logikanya, kalau banyak duit, ya fasilitasnya dapat selangit. Soal harga, sesuai kesepakatan di tiap tempat saja. Modus macam itu tidak hanya di kelas atas, tetapi juga pada napi kelas abal-abal,” ujar Arswendo.

Ia melanjutkan, ”Coba bayangkan, orang sekaliber Omar Dhani atau Soebandrio, pejabat masa lalu, tak bisa tinggal di fasilitas sel mewah, seperti yang ditempati Artalyta. Mereka tidak punya duit,” kata Arswendo.

Menurut Arswendo, narapidana dan tahanan bahkan bisa memesan lebih dahulu ruangan berfasilitas, sesuai keinginan dan kemampuannya. Pemesanan bisa dilakukan sejak proses hukumnya masih berjalan, melalui orang tertentu yang menjadi penghubung.

Praktik seperti itu, yang bisa disebut mafia, ungkap Arswendo, sudah berlangsung lama di sejumlah LP atau rutan. Ia mengaku tidak heran dengan temuan Satgas Antimafia hukum itu.

Emerson juga mengakui, fasilitas mewah di penjara itu bukan hal baru. Praktik semacam itu sebenarnya sudah berjalan lama, sistematis, dan melibatkan semua pihak di LP atau rutan. Dengan demikian, semua kalangan yang terlibat harus diberi sanksi. (nwo/dwa)

Sumber: Kompas, 12 Januari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan