Bukan Waktu Yang Tepat Revisi UU KIP

Sebuah forum Focus Group Discussion (FGD) cukup menarik digelar di Komisi Informasi Pusat (KIP). ICW berkeyakinan bahwa Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 merupakan salah satu instrumen dalam upaya pencegahan korupsi. Oleh karena itu ICW berkesempatan hadir dalam acara tersebut. Berikut beberapa catatan penting yang mengemuka dalam forum itu.
 
Acara yang bertajuk Review Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) itu digelar Selasa siang 22 September 2015. Sepertinya acara ini dimaksudkan untuk menggalang pendapat pakar dan stakeholder agar mau mendukung keinginan untuk melakukan amandemen terhadap undang-undang ini. 
 
Namun alih-alih mau mendukung keinginan dominan dari pihak KIP tersebut, para ideolog keterbukaan informasi publik yang diundang menjadi narasumber sepertinya justru sepakat untuk tidak setuju apabila undang-undang ini diubah atau disempurnakan.
 
Paulus Widiyanto, anggota DPR dari PDIP periode 2004-2009 yang juga salah satu tim penyusun undang-undang ini, mengungkapkan bahwa undang-undang ini merupakan undang-undang kompromi. 
 
"Kurang lebih hanya 60 persen ide-ide para penganjur keterbukaan informasi publik bisa terakomodir dalam undang-undang ini", ungkapnya. Sehingga cukup memungkinkan bahwa undang-undang ini disempurnakan.
 
Rupanya hanya Paulus sendiri yang cukup netral melihat persoalan ini. Di acara yang mirip reuni para anggota DPR dan penganjur keterbukaan informasi publik ini para nara sumber utama nyaris sepakat bila UU Keterbukaan Informasi Publik belum perlu untuk dilakukan amandemen. Agus Sudibyo, mantan aktivis Koalisi Memperoleh Informasi Publik (KMIP), sebuah koalisi masyarakat sipil yang cukup getol mendorong pembentukan undang-undang ini tahun-tahun 2000-an, mengungkapkan bahwa dengan melihat peta politik saat ini, cukup pesimis melakukan perbaikan undang-undang ini. Para pakar keterbukaan informasi publik cenderung melihat undang-undang ini sudah cukup bagus. "Hal ini tentu cukup beralasan bila kita melihat keterbukaan informasi publik di negara-negara lain", katanya. Menurut Agus dengan peta politik di DPR, dia cukup khawatir bila kemudian ada yang mendorong DPR melakukan perubahan. Undang-undang ini adalah karya dan perjuangan masyarakat sipil dan DPR. "Undang-undang ini dibuat dengan darah dan luka", tambah Agus Sudibyo. 
 
"Menurut saya undang-undang ini nilainya 70. Kita berharap dengan penyempurnaan itu kelak undang-undang ini nilainya 90. Namun saya sangat khawatir kalau nantinya bukan nilai 90 yang diperoleh, melainkan  justru menjadi 50. Oleh karena itu rasanya sayang sekali kalau hasil karya dan perjuangan ini kemudian rusak hanya karena kita salah ambil keputusan," lanjut Agus.
 
Andreas Pareira anggota DPR PDIP dari Komisi I saat pembahasan undang-undang ini, menambahkan bahwa yang diperlukan sekarang adalah memaksimalkan implementasinya. Ia juga tidak cukup "rela" bila undang-undang ini diamandemen.
 
Dedy Jamaludin Malik, anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang kemudian pindah ke PDIP juga mendukung pendapat Andreas. "Saya kira kelemahan undang-undang ini hanya pada persoalan implementasinya. Terutama soal tafsir atas beberapa hal terkait dengan hal-hal yang diatur oleh undang-undang ini. Misalnya saat ICW mengajukan sengketa informasi soal rekening gendut di Kepolisian, saya saat itu menjadi saksi ahli. Menurut saya undang-undang ini seharusnya menjadi payung hukum atas undang-undang lain. Putusan KIP saat itu menyebutkan bahwa informasi itu terbuka. Namun kepolisian tetap keukeuh bahwa informasi itu tertutup, karena ada undang-undang lain yang mengaturnya. Saya juga cukup kaget dengan argumentasi itu", terangnya.
 
"Saya kira ini tantangan buat KIP dan stakeholder para user undang-undang ini. Bagaimana kita bisa memaksimalkannya sehingga menjadi lebih powerfull", sambung Hajriyanto W Tohari, mantan politisi Partai Golkar yang dulu juga sebagai penggagas undang-undang ini.
 
Terkait dengan itu, Tosari Wijaya, mantan anggota Komisi I dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang juga mantan dubes Indonesia untuk Maroko ini gemes dengan pertanyaan salah satu peserta FGD yang mengatakan bahwa undang-undang ini cukup bermasalah. Dalam undang-undang disebutkan bahwa banyak tugas dan fungsi dilimpahkan kepada komisi informasi. Menjadi agen yang mengedukasi masyarakat iya, menjadi hakim pemutus sengketa juga iya. 
 
"Saya membayangkan komisi informasi itu diisi oleh tokoh-tokoh yang hebat. tokoh-tokoh bangsa. Sehingga bisa mengeliminir persoalan-persoalan yang ada di dalam undang-undang ini maupun komisi informasi", ujar Tosari dengan agak geram.
 
"Menurut saya komisi informasi ini bisa mencontoh Mahkamah Konstitusi. Kebetulan MK bisa mendapatkan hakim-hakim yang merupakan tokoh-tokoh yang hebat. Komisi informasi seharusnya juga seperti itu. Sudah tabrak saja semua. Cari terobosan-terobosan dulu, selama tidak atau belum ada aturan yang melarang. MK bisa menggelar rekaman Anggodo (kasus merintangi penyidikan korupsi yang diproses oleh KPK-red). Itu khan tidak apa-apa dan justru publik menilainya sebagai terobosan yang spektakuler", tambah Hajriyanto. 
 
"Saya kira tidak apa-apa. Semua pendapat yang muncul dalam diskusi ini cukup menjadi amunisi bagi KIP. Sehingga nanti kami bisa satu suara menyikapi keinginan untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang keterbukaan informasi publik ini," kata Evi Trisulo, Komisioner KIP yang menjadi moderator acara ini, terkait beragamnya pendapat di forum ini. 
 
Untuk memaksimalkan undang-undang keterbukaan informasi publik ini pulalah, ICW yang sudah berkali-kali melakukan permintaan informasi ke berbagai badan publik dan berkali-kali mengajukan sengketa informasi seperti yang diatur dalam undang-undang ini, melakukan pengawalan sampai tahap eksekusi. Misalnya terkait permohonan informasi oleh ICW tentang informasi atau laporan pertanggungjawaban pengelolaan dana BOS di 5 SMP di DKI Jakarta, ICW mengajukan sengketa informasi, dan pasca putusan Komisi Informasi Pusat melaporkan ke kepolisian, mengadukan kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan terakhir mengajukan eksekusi kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (Lais Abid)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan