Bukan Subordinat Pengadilan Negeri

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menegaskan, Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi tidak boleh menjadi subordinat atau berada di bawah pengadilan negeri. Pengadilan Tipikor harus dibentuk sebagai salah satu kamar di lingkup peradilan umum.

Penegasan itu diungkapkan Mahfud dalam jumpa pers di Gedung MK, Selasa (1/9), menjawab pertanyaan mengenai bagaimana format ke depan Pengadilan Khusus Tipikor sesuai dengan putusan MK.

Mahfud menjelaskan, putusan MK 19 Desember 2006 sebenarnya sederhana. Inti putusan itu, MK tidak membolehkan adanya dualisme pengadilan untuk kasus korupsi.

Selain itu, MK menyatakan, landasan hukum pembentukan Pengadilan Khusus Tipikor—yaitu Pasal 53 UU Komisi Pemberantasan Korupsi—tidak benar.

”Kita dulu menyebutnya menjadi pengadilan khusus di peradilan umum. Kalau di situ sudah jelas, yang dimaksud tidak boleh ada dualisme itu ya tetap di bawah peradilan umum, tapi menjadi salah satu kamar khusus di lingkungan itu,” ujar Mahfud.

Arti di bawah peradilan umum, tegas Mahfud, berbeda dengan di bawah pengadilan negeri (PN) atau menjadi subordinat PN.

”Tidak boleh. Pengadilan Khusus Tipikor bukan subordinat PN,” kata dia.

Hanya saja, Mahfud enggan berkomentar lebih lanjut ketika ditanya mengenai rumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Khusus Tipikor yang saat ini masih dibahas Panitia Kerja (Panja) DPR.

Pasal 10 RUU itu menyebutkan bahwa ketua pengadilan negeri menjadi ex officio ketua Pengadilan Khusus Tipikor. Banyak kalangan ini merupakan bentuk subordinasi PN terhadap Pengadilan Khusus Tipikor.

”Kalau itu sudah memasuki materi perkara,” ujar Mahfud yang mengaku tak mau berkomentar karena RUU itu nantinya berpotensi dimintakan uji materi ke MK.

”Di dalam” PN
Ketua Panja RUU Pengadilan Khusus Tipikor Arbab Paproeka tidak sependapat dengan penilaian sejumlah kalangan bahwa panja menempatkan Pengadilan Khusus Tipikor di bawah PN. Istilah yang tepat untuk menjelaskan posisi Pengadilan Tipikor terhadap PN, menurut Arbab, adalah ”di dalam PN, tetapi tidak di bawah PN”.

”Tidak bisa dibahasakan subordinat. Kami ini hanya merespons putusan MK. Lingkungan peradilan kan ada empat, yaitu peradilan umum, tata usaha negara, agama, dan militer. Tidak mungkin diletakkan di peradilan lain selain peradilan umum. Makanya, harus di pengadilan negeri. Hal yang sama juga dilakukan untuk pengadilan hubungan industrial, pengadilan HAM ad hoc,” ujar Arbab.

Apabila kini sejumlah kalangan mempertanyakan, termasuk mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Arbab mengatakan, ”Kami justru mempertanyakan balik sekarang. Dulu saat mutus itu bagaimana?”

Mengenai pembahasan RUU, menurut dia tinggal dua hal yang dibahas, yaitu tempat dan kedudukan Pengadilan Tipikor serta komposisi hakim. (ANA)

Sumber: Kompas, 2 September 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan