Bukan Soal Retroaktif

Mahkamah Konstitusi membuat keputusan yang tepat kemarin. Sayang sungguh sayang, pertimbangan dalam menolak permintaan uji materiil atas Pasal 68 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang pemberantasan korupsi itu terkesan kurang tegas. Utamanya karena ditambahkan alasan ''pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional oleh pemberlakuan pasal tentang asas retroaktif itu sehingga permohonannya harus dinyatakan tak dapat diterima''.

Tambahan ini hanya menodai alasan utama yang sebenarnya sudah sangat pas, yaitu bahwa pasal 68 tersebut, yang mengatur soal peralihan, tidak mengandung asas retroaktif seperti yang dimaksudkan oleh pasal 28i ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Pasal dalam konstitusi yang dimaksudkan sebagai perlindungan bagi hak asasi manusia ini adalah sebuah konsep yang boleh dikatakan berlaku secara universal, yaitu seseorang tak boleh dihukum karena perbuatannya yang pada saat dilakukan bukan pelanggaran hukum, kendati perbuatan itu dinyatakan sebagai pelanggaran dalam undang-undang yang diberlakukan setelah perbuatan itu.

Asas retroaktif yang disebut dalam konstitusi ini jelas tak ada hubungannya sedikit pun dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 karena perangkat hukum ini hanya mengatur soal Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apalagi kejahatan korupsi itu sendiri sudah dianggap sebagai pelanggaran hukum sejak Republik Indonesia berdiri. Bahkan, melalui UU Nomor 3 Tahun 1971, kejahatan mencuri uang rakyat ini mulai diatur secara khusus, lalu diperbaiki melalui UU Nomor 31 Tahun 1999, dan disempurnakan lagi dengan UU Nomor 20 Tahun 2002.

Itu sebabnya, kalaupun ada perkara korupsi yang terjadi sebelum UU Nomor 30 Tahun 2002 berlaku, bukan berarti KPK tak boleh menyidik. Sebab, UU ini hanya mengatur organisasi dan kewenangan KPK dan sama sekali tak menambahkan pidana baru di bidang korupsi. KPK adalah lembaga baru di bidang penegakan hukum, bukan penegak hukum yang baru. Jadi, seperti juga disebut pada pertimbangan hukum keputusan Mahkamah Konstitusi, itu tak ada urusannya dengan asas retroaktif.

Pertimbangan yang elok ini sebetulnya tak perlu ditambah dengan persoalan legal standing pemohon, yang ternyata tak terkena dampak Pasal 68 UU Nomor 30 Tahun 2002. Tambahan alasan itu justru menerbitkan persoalan baru, yaitu menimbulkan interpretasi lain atas persoalan ada-tidaknya unsur retroaktif. Setidaknya kerancuan itu tersimak dari komentar dan pemberitaan yang muncul setelah keputusan Mahkamah Konstitusi dibacakan secara resmi.

Untuk menjernihkan silang sengketa ini, Mahkamah Konstitusi sepatutnya segera menyebarluaskan keputusan yang sudah tepat ini ke masyarakat, termasuk memberi penjelasan yang tegas mengapa tak ada persoalan asas retroaktif pada UU Nomor 30 Tahun 2002. Hal ini diperlukan agar KPK terbebaskan dari kemungkinan gugatan uji materiil serupa di masa depan, sehingga dapat lebih berkonsentrasi melakukan tugas utamanya memberantas korupsi.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Koran Tempo, 17 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan