Bukan Satu-satunya Pertimbangan; MA Tanggapi Putusan MK soal UU Korupsi
Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyatakan bahwa pasal 2 ayat 1 UU No 31/1999 tentang Korupsi tidak punya kekuatan hukum mengikat tidak otomatis dipatuhi MA (Mahkamah Agung). MA menegaskan tidak menjadikan putusan tersebut sebagai satu-satunya pertimbangan dalam memutuskan kasasi kasus korupsi.
MA akan mempertimbangkan semua aspek hukum, termasuk bukti materiil, kata Ketua Muda Bidang Yudisial MA Mariana Sutadi Nasution kemarin. Dia juga mengatakan, putusan-putusan kasasi kasus korupsi MA dapat menjadi yurisprudensi keputusan-keputusan hakim sesudahnya.
Saat ini MA menangani empat kasus korupsi besar. Yaitu, kasus korupsi KPU dengan terdakwa mantan Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin dan anggota KPU Hamdani Amin, serta kasus Dana Abadi Umat dengan terdakwa mantan Menteri Agama Said Agil Husein dan Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Taufik Kamil.
Sebelumnya, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh juga menyatakan kekecewaannya atas putusan MK itu. Terus terang, saya bersedih. Putusan itu jelas akan mempersulit pemberantasan korupsi, kata jaksa agung.
Putusan MK itu, menurut jaksa agung, merupakan hari besar bagi para koruptor. Tapi, dia mengingatkan kepada para koruptor tidak cepat-cepat bergembira. Ajaran sifat melawan hukum materi dalam fungsinya sudah ada jauh sejak UU Nomor 31/1999 disahkan, katanya.
Dia mencontohkan kasus korupsi mantan Dirut BBD (Bank Bumi Daya) Natalegawa pada 1983. Kasus itu telah disepakati menjadi sebuah yurisprudensi bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. MA tetap menganut penafsiran ini karena sudah menjadi pendapat modern, ujar Arman.
MK pada persidangan 25 Juli lalu memutuskan bahwa penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No 31/1999 bertentangan dengan UUD 1945. Menurut MK, penjelasan pasal 2 itu tidak sesuai dengan pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 tentang Perlindungan dan Jaminan Kepastian Hukum.
Pasal 2 ayat 1 UU No 31/1999 berbunyi: Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil. Yakni, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
MK berpendapat bahwa konsep melawan hukum materiil yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian, dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat sebagai satu norma keadilan merupakan ukuran yang tidak pasti. Ukuran tersebut berbeda dari satu lingkungan masyarakat tertentu dengan lingkungan masyarakat lain.
Selama ini penyidik menetapkan tersangka korupsi setelah melihat aspek formal dan/atau materiil. Nah, dengan putusan MK tersebut, praktis penyidik akan kesulitan menetapkan tersangka jika hanya mengandalkan pembuktian secara formal.
Ketua MK Jimly Ash-Shiddieqy menolak mengomentari putusannya. Sesuai kode etik, kami tidak boleh mengeluarkan penyataan apa pun soal putusan yang kami keluarkan, katanya. Menurut dia, dalam pembuatan sebuah putusan, MK mengacu pada konstitusi tertinggi yang berlaku di Indonesia, yakni UUD 1945. Soal kontroversi, itu hal biasa. Perdebatan yang saat ini mengemuka sudah terjadi sebelumnya dan sudah kami jadikan pertimbangan, jelasnya. (ein/agm)
Sumber: Jawa Pos, 28 Juli 2006