Bukan Koperasi Biasa

Tim Pelaksana Pengalihan Bisnis Tentara Nasional Indonesia sudah merampungkan tugasnya. Tim menyodorkan tiga alternatif untuk pengalihan bisnis militer. Apa di balik sikap TNI yang menunjukkan sikap penentangan terhadap rencana pembubaran koperasi?

Rekomendasi yang tak tunggal itu di luar perkiraan, meski tak terlalu mengejutkan. Dalam jumpa pers pada 4 November lalu, Ketua Tim Pelaksana Pengalihan Bisnis TNI Erry Riyana Hardjapamekas mengumumkan tiga rekomendasi soal pengambilalihan bisnis militer. Salah satu rekomendasinya malah tetap mempertahankan primer koperasi demi memenuhi kebutuhan pokok anggota. Meski soal ini Erry lantas mengatakan, "Alternatif ini muncul atas arahan dari Tim Pengarah."

Seperti namanya, tim yang dikomandani Erry ini sebatas pelaksana. Di atasnya ada Tim Pengarah, yang diketuai Menteri Pertahanan. Menteri Keuangan, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Sekretaris Kabinet, dan Panglima TNI menjadi anggota dalam tim ini. Selain pengarah, ada Tim Pengawas yang diketuai Sekretaris Menteri Negara BUMN, Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan sebagai wakilnya.

Hasil rekomendasi Tim Pelaksana inilah yang dalam pekan ini akan dibahas dalam pertemuan Tim Pengawas dan Pengarah. "Pertemuan akan membahas rekomendasi yang akan diserahkan kepada Presiden," kata Sekjen Departemen Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Sabtu pekan lalu.

Tim Pelaksana, sesuai nama dan mandatnya, tak bisa berbuat lebih dari yang digariskan dalam Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2008. Saat pembentukannya pada 16 April 2008, Sjafrie mengatakan tugas tim ini adalah melakukan inventarisasi, identifikasi, dan pengelompokan terhadap seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI. Tim Pelaksana memang sebatas memberikan rekomendasi untuk pengalihan bisnis TNI yang ditargetkan undang-undang harus selesai pada Oktober 2009.

Erry beserta timnya memulai kerjanya sejak April lalu. Dalam temuannya, ada sekitar 1.900 koperasi dengan 605 unit usaha dan 25 yayasan dengan 893 unit usaha di lingkungan TNI. Selain berdasarkan dokumen, data ini diperoleh dari kunjungan dan wawancara dengan para pengelola bisnis TNI. Tim juga meminta masukan dari konsultan, sejumlah instansi pemerintah, asosiasi profesi, dan para pakar untuk merumuskan rekomendasi soal pengalihan bisnis TNI ini. Akhir Oktober lalu, tim berhasil merampungkan rekomendasinya--meleset beberapa hari dari rencana awal 16 Oktober.

Hasil kerja Tim Pelaksana yang berupa rekomendasi yang tak tunggal itu diumumkan pada 4 November lalu. Alternatif pertama, pengalihan aktivitas bisnis TNI dilakukan dengan penataan dan reposisi serta pelurusan atas yayasan dan koperasi. Yayasan akan ditata dan diluruskan melalui berbagai mekanisme meliputi reposisi dan atau pelurusan. Soal dipertahankannya primer koperasi untuk memenuhi kebutuhan pokok anggota, disebut Erry sebagai, "Alternatif yang muncul atas arahan dari Tim Pengarah."

Alternatif kedua hampir sama dengan yang pertama. Bedanya, primer koperasi akan digantikan oleh satuan kerja yang dibentuk di bawah Departemen Pertahanan. Model satuan kerja ini mengacu pada Port Base Exchange di Amerika Serikat. Port Base Exchange ini berperan memberikan pelayanan kebutuhan pokok prajurit di setiap basis atau pangkalan militer dan melekat ketika pasukan berada di medan tempur.

Alternatif ketiga, yayasan dan koperasi milik TNI hanya digabungkan menjadi satu dengan yayasan dan koperasi serupa di bawah Departemen Pertahanan. Risikonya, akan tetap ada koperasi dan yayasan di bawah departemen--sesuatu yang kurang sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik. "Alternatif ini ditujukan agar gampang saja pelaksanaannya," ujar Erry.

Erry tak menyebut jelas soal arahan Panglima TNI tentang "alternatif pertama" rekomendasi timnya. Tapi, patut diduga, "arahan" yang dimaksudnya adalah respons Tim Pengarah yang disampaikan dalam pertemuannya dengan Tim Pelaksana, September lalu. Tim Pelaksana awalnya menyodorkan rancangan rekomendasi pembubaran semua bisnis TNI, termasuk koperasi. Primer koperasi yang ada disarankan dialihkan ke satuan kerja dengan bentuk badan layanan umum. Nada ketidaksetujuan soal pembubaran koperasi datang dari Tim Pengarah--yang salah satu dalihnya menyatakan Undang-Undang TNI tak menyebut secara eksplisit soal itu.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian mendefinisikan koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata-susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Namun, koperasi di lingkungan TNI cukup berbeda dari umumnya.

Dari keseluruhan bisnis militer, jumlah uang yang berputar dan orang yang terlibat tak beda jauh dari yayasan. Dari verifikasi yang dilakukan tim, unit-unit bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI sebagian besar berupa koperasi: ada 1.098 unit, dengan dua perseroan terbatas di dalamnya. Bandingkan dengan yang berbentuk yayasan: 23 unit, 53 berupa perseroan terbatas.

Koperasi TNI terbagi menjadi tiga tingkat, yaitu induk koperasi, pusat koperasi, dan primer koperasi. Kegiatan induk dan pusat koperasi mencakup berbagai bidang usaha, dari perkebunan, perhotelan, sampai perdagangan. Badan usaha ini merupakan bagian dari struktur TNI sehingga pengurus dan pengawasnya adalah prajurit aktif yang ditetapkan oleh kepala staf angkatan.

Jumlah personel yang ditugaskan dalam kepengurusan koperasi pada seluruh matra sebanyak 8.493 orang, terdiri atas 3.523 prajurit aktif dan 4.970 pegawai negeri sipil. Jumlah total aset milik koperasi juga tak kalah dari yayasan. Aset koperasi Rp 1,3 triliun, yayasan Rp 1,8 Triliun. Namun, Erry buru-buru menambahkan, jumlah itu aset kotor, belum termasuk kewajiban yang harus dibayar sebanyak Rp 1 triliun. "Sehingga total aset bersihnya Rp 2,1 triliun," ujar Erry.

Rekomendasi ini disikapi cukup beragam. Jaleswari Primodawardhani dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menilai pembubaran koperasi yang menangani kebutuhan pokok prajurit bisa memicu perlawanan. Untuk bisnis yang lain, memang selayaknya diambil alih. "Karena yang menikmati bisnis itu bukan prajurit di bawah. Beda dengan koperasi primer," kata Jaleswari. Kalau ada koperasi yang punya perusahaan terbatas, ia setuju diambil alih.

Rusi Marpaung dari Imparsial berpendapat koperasi primer, kalaupun tetap dibolehkan, harus dialihkan pada satuan kerja berbentuk badan layanan umum di bawah Departemen Pertahanan. "Cara ini akan benar-benar membawa TNI untuk berkoperasi dengan lurus dan bergerak murni untuk kebutuhan pokok prajurit," ujarnya. "Jangan sampai primer koperasi berbisnis walet atau transportasi lagi."

Soal pengalihan koperasi di bawah Departemen Pertahanan, Jaleswari tak sepenuhnya setuju dan juga tidak yakin ide itu akan berjalan mulus. "Karena banyak hal yang tak selesai antara Departemen pertahanan dan Mabes TNI Cilangkap," kata dia. Selain itu, Jaleswari mengingatkan sinyal "proses" Panglima TNI saat dia menyampaikan bahwa dalam pengambilalihan bisnis TNI ini harus memperhatikan aspek keadilan. "Kita tahu apa maksudnya. Dia mempertanyakan kenapa hanya TNI yang dipersoalkan bisnisnya, sementara polisi tidak," kata Jaleswari.

Bagi Kepala Biro Humas Departemen Pertahanan Brigadir Jenderal TNI Slamet Harijanto, pelurusan terhadap koperasi dan yayasan milik TNI tidak serta-merta membuat prajurit TNI dilarang berkoperasi dan beryayasan. "Kita kan sama-sama warga negara, kok tidak boleh? Jadi dianaktirikan, dong," ujarnya.

Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan Tim Pengarah akan memilih salah satu rekomendasi yang dianggap paling baik. "Yang lebih penting adalah pelaksanaannya," kata dia. Bagi Jaleswari, tak hanya itu soalnya. Dengan target harus selesai pada Oktober 2009, ia khawatir soal pengalihan bisnis militer ini bisa mendapatkan perhatian yang pantas di mata pejabat, politikus, dan masyarakat sipil yang sebagian besar tercurah pada pemilihan umum dan pemilihan presiden. ABDUL MANAN | TITIS SETIANINGTYAS

Sumber: Koran Tempo, 17 November 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan