Bukan “Centeng Freeport”

Kemelut masih terjadi di Papua. Sebuah afiliasi dari perusahaan tambang internasional yang berkantor pusat di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat sedang menuai masalah yang tidak kecil. Salah satunya, tentang dana keamanan Freeport yang diberikan untuk aparat Indonesia. Setelah di tahun 2005, Global Witness dan (Alm) Munir dari Kontras pernah mempersoalkan dana untuk “tentara Freeport” tersebut, sekarang persoalan tersebut muncul kembali.

Polri mengakui adanya dana keamanan dari Freeport, dan pihak perusahaan tidak membantah. Bahkan Mabes Polri mengatakan dana tersebut sah secara hukum, tidak akan berhenti menerima meskipun banyak pihak mengkritik keras. Di sisi lain, Komnas HAM tegas mengatakan, dana itu illegal. Di Amerika, United Steelworkers (USW) mengirimkan surat ke Fraud Section di Departemen Kehakiman AS (1/11) agar memeriksa apakah dana ini merupakan korupsi seperti diatur di US Foreign Corrupt Practices Act. Bagaimana kita membaca fakta-fakta ini?

Objek Vital
Jika dicermati, kita bisa menemukan sejumlah kejanggalan. Dalam jawaban resmi Polda Papua pada Kontras, dikatakan bahwa ada 635 personil keamanan ditugaskan untuk pengamanan objek vital (Freeport). Untuk pengamanan tersebut ada kontribusi perusahaan Rp. 1.250.000/orang/bulan. Jika dihitung, maka selama satu tahun Satgas Pengamanan tersebut menerima Rp. 9,525 Miliar.

Bandingkan dengan catatan Laporan Keuangan Freeport yang tidak dibantah oleh Polri, bahwa ada alokasi dana keamanan USD 14 juta atau senilai Rp. 126 Miliar di tahun 2010. Dikatakan bahwa Polri siap diaudit dan terbuka untuk penggunaan dana tersebut, dan dana itu secara riil langsung diberikan pada anggota di lapangan. Benarkah? Jika dicermati, ternyata dana yang diterima secara langsung oleh anggota Polri dan TNI di lapangan hanya 7, 56% dan masih ada selisih lebih dari Rp. 116 Miliar. Dari sini, wajar kita bertanya, kemana dan siapa penikmat dana 92,44% lainnya?

Polri bisa saja menjawab, bahwa dana tersebut juga digunakan untuk kepentingan lain, tapi sistem keuangan kita menghendaki sebuah mekanisme penerimaan dan pertanggungjawaban yang lebih rinci dan terbuka. Di titik inilah, penggunaan dana tersebut harus diperiksa oleh instansi yang berwenang, seperti BPK atau BPKP.

Setelah mengurai kejanggalan dari aspek aliran dana, pertanyaan paling serius sebenarnya adalah: apakah dana keamanan tersebut sah? Polri mengatakan sah, dan menggunakan Keputusan Presiden No. 63 tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional. Dan akan terus menerima dana dari Freeport selama belum ada Kepres yang baru. Logika yang menurut saya harus dikoreksi. Kenapa?

Benar, bahwa Kepres yang diturunkan pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 1762K Tahun 2007 menyebutkan ada 126 objek vital nasional di Kementrian ESDM. Akan tetapi, aturan ini tidak bisa menjadi dasar bagi institusi manapun melakukan pungutan uang atau menerima dana diluar ketentuan keuangan Negara yang ada. Bayangkan jika setiap departemen atau lembaga Negara bisa memungut uang di semua objek vital pada semua departemen, dan kemudian dana tersebut tidak dipertanggungjawabkan dengan mekanisme audit atau mekanisme keuangan Negara yang ada. Jika itu terjadi, ini adalah lobang besar yang potensial korup. Ingat, sejumlah kasus korupsi sudah diproses secara hukum terkait dengan dana-dana non-budgeter yang dikelola oleh lembaga Negara.

Pasal 4 ayat (2) Kepres 63/2004 justru memberi kewajiban bagi Polri untuk memberikan bantuan keamanan. Kenapa diberikan pada objek vital? Pasal 2 Kepres ini menyebut karena objek vital tersebut punya arti penting bagi kebutuhan masyarakat, pemerintahan dan bahkan kemanusian atau kepentingan umum. Untuk itulah Polri diberikan tugas melakukan pengamanan. Hal ini pun sesuai dengan UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dana Centeng?
Banyak pihak menyoroti aspek independensi Polri jika menerima dana dari perusahaan. Itu benar, akan tetapi ada persoalan yang lebih mendasar, apakah boleh institusi Negara menerima dan memungut uang dari perorangan masyarakat atau swasta diluar mekanisme keuangan negara? Tidak. Pasal 23A UUD 1945 melarang adanya pajak atau pungutan kecuali diatur dengan Undang-undang. Kenapa Undang-undang? Karena disana ada keterlibatan rakyat melalui DPR untuk menentukan pungutan yang akan membebani mereka. Tapi, argumen ini akan dibantah: bukankah dana dari Freeport itu sumbangan sukarela? Mari bertanya, jika Freeport tidak berikan dana USD 14 juta, apakah akan diturunkan 635 aparat untuk amankan Freeport?

Aturan tentang penerimaan dana diluar pajak tersebut bisa kita lihat di UU No. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Di kepolisian sendiri, tariff dan jenis PNBP ini diatur secara rinci dan terbatas di PP No. 31 tahun 2004. Polri hanya bisa menerima PNBP dari 7 sumber, seperti SIM, STNK, Tes klinik mengemudi, BPKB, STCK, TNKB, dan izin senjata api. Tidak ada aturan bahwa Polri bisa menerima dana dari jasa pengamanan objek vital, apalagi masyarakat tidak pernah tahu penggunaan dana tersebut secara rinci, dan apakah dana itu disetor ke kas Negara?

Hal-hal seperti ini sangat sensitif dan rawan korupsi. Tidak bisa dibayangkan jika institusi Negara tanpa dasar hukum yang kuat memungut atau menerima dana. Dari aspek PNBP sebernanya juga dimungkinkan adanya penerimaan dalam bentuk hibah dari pemerintah dan swasta dalam atau luar negeri. Hal ini diatur di Pasal 2 huruf (f) UU PNBP. Akan tetapi, dana-dana tersebut wajib disetor ke Kas Negara, dan seluruhnya dikelola dengan sistem APBN (Pasal 3 dan 4 UU PNBP). Apakah mekanisme pemberian dana kemanan Freeport sudah memenuhi aturan tersebut? Tidak.

Selain dari aspek PNBP tersebut, kita perlu menganalisis dari aspek gratifikasi yang diatur di UU No. 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Menarik ketika dalam buku saku KPK memahami Gratifikasi disebutkan : bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas. Tidak semua gratifikasi bisa dipidana memang, akan tetapi pada contoh ke-6, KPK menegaskan jika ada pemberian hibah dari BUMN atau swasta terhadap Polri, Kejaksaan atau instansi pemerintah lainnya, maka dana tersebut tidak bisa langsung diterima, tetapi harus dilaporkan ke KPK agar ditetapkan sebagai milik Negara, dan kemudian disalurkan dan digunakan melalui persetujuan Menteri Keuangan.

Persoalan ini tidak boleh mengambang karena potensi korupsinya sangat tinggi. Presiden sebagai pimpinan di eksekutif tidak bisa lepas tanggungjawab terhadap fenomena ini. Pertanggungjawaban secara administrasi keuangan dan hukum juga harus dilakukan. Selain itu, jika memang ada persoalan kekurangan anggaran, hal ini pun harus diselesaikan. Karena, aparat keamanan kita jelas bukan “centeng Freeport” atau perusahaan manapun. (*)

Oleh: Febri Diansyah, Peneliti Indonesia Corruption Watch, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Tulisan ini disalin dari Kompas, 21 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan