Budaya Korupsi dan Akal Sehat
Kompetisi di antara partai politik telah dimulai. Bendera parpol, kampanye terselubung, dan iklan telah merebak di media massa, termasuk televisi.
Kata-kata, seperti menjunjung moral politik, demi kesejahteraan, kemakmuran, kepentingan rakyat, diobral.
Di sisi lain, beberapa politisi DPR terkena skandal korupsi. Anggota DPR, Hamka Yandhu, misalnya, mengakui ada 52 anggota komisi IX DPR 1999-2004 menerima dana BI (Kompas, 31 Juli). Bagaimana kita memahami paradoks seperti ini? Di satu sisi politisi berkata membela rakyat, di sisi lain politisi mengikuti nafsu sendiri (korupsi dan berkhianat pada kepentingan rakyat). Apakah akal sehat tidak lagi dipakai dalam bersikap dan berperilaku politik?
Perilaku binatang
Perilaku koruptif politisi itu menunjukkan karakter asli manusia, yakni karakter binatang. Sebuah karakter yang didefinisikan Thomas Hobbes sebagai leviathan: karakter iblis yang ada pada tubuh manusia. Manusia, betapa pun tinggi kebudayaan yang dimiliki, tetaplah binatang. Sebuah karakter primitif kebinatangan yang ada pada diri kita. Manusia terasa susah untuk keluar dari karakter kebinatangan, seperti karakter agresif dan destruktif. Irasionalitas yang menyelimuti kondisi dan perilaku beberapa politisi seakan membawa manusia pada karakter aslinya sebagai binatang.
Filsuf besar Aristoteles berkata, ”manusia adalah binatang berpikir” (animal rationale). Satu-satunya keunikan yang membedakan manusia dengan binatang adalah karena manusia punya akal. Karena itu manusia lebih unggul dan beradab dari binatang. Dengan akal, manusia bisa mengendalikan dan menjaga nafsu-nafsu kebinatangan.
Sementara filsuf lain pada abad modern, Spinoza, menyatakan ”manusia adalah binatang sosial”. Manusia cenderung membuat kelompok dan bisa bekerja sama. Kita bernalar dan bersosial. Relasi bernalar dan bersosial bisa diketahui dengan melihat dampak nalar terhadap masyarakat.
Kemampuan bernalar dan kecerdasan merupakan hasil evolusi yang muncul karena berbagai keunggulan yang didapat leluhur manusia purba dari kehidupan berkelompok. Sebagian ciri-ciri kehidupan sosial binatang berasal dari naluri, sedangkan sebagian lain (khususnya primata) hanya dapat dijelaskan dengan kemampuan bernalar (otak). Dilihat dari jangka waktu evolusi, naluri sudah lama dan nalar adalah baru.
Monyet dan simpanse juga menggunakan tipu muslihat seperti digambarkan Nicollo Machiavelli tentang cara-cara penguasa membangun politik dan mempertahankan kekuasaannya. Apakah nalar manusia memberi kecerdasan yang dibutuhkan guna menghadapi keadaan sosial yang kian kompleks?
Homo sapiens memiliki keunggulan biologis yang didapat dari; (1) pergaulan pribadi yang terampil di masyarakat (baik kepentingan pribadi dan kerja sama melibatkan nalar), (2) bahasa (artikulasi, komunikasi, dan perluasan nalar), (3) kecekatan (berburu, mengumpul pangan, merajut pakaian dan membuat tempat berlindung). Ketiga kemampuan ini—keterampilan sosial, bahasa, dan kecekatan—mengakibatkan terbentuknya kebudayaan dengan segala pencapaiannya, yang memungkinkan terjadinya evolusi kebudayaan. Manusia seolah punya keunggulan dari primata lain. Namun, dalam perkara moralitas tampaknya manusia belum tentu unggul. Kebudayaan memberi banyak contoh.
Istilah budaya mencakup aspek-aspek dari masyarakat untuk menjalani hidup, termasuk bahasa, moralitas, agama, kesenian, pemerintahan, hukum, industri, ekonomi, hiburan, makanan, dan kesehatan. Budaya juga berarti cara hidup (way of life) yang merupakan hasil pembelajaran dari lingkungan alam dan sosial. Budaya telah memanfaatkan dan meningkatkan nalar, tetapi pada saat sama juga menindas nalar dan menghukum orang-orang yang rasional. Pandangan rasional sering bertentangan dengan budaya irasional yang mapan.
Mengapa manusia punya sikap dan perilaku berbeda? Ada manusia yang berperilaku baik dan ada yang buruk. Salah satu penjelasan penting adalah karena kebutuhan untuk menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan berbagai faktor lingkungan. Karena itu, selalu ada bagian tertentu yang irasional dari kebudayaan. Tidak mengherankan jika budaya, karena harus bertahan, membuat pilihan-pilihan irasional.
Kodrat manusia
Thomas Hobbes mengakui, kodrat manusia adalah jahat dan destruktif. Manusia adalah leviathan. Sosok iblis ada dalam diri manusia, terwujud dalam perilaku koruptif, tamak, dan jahat kepada rakyat. Namun, kodrat buruk tidak berarti tak bisa diatasi.
Maka, solusi Hobbes adalah menyandera karakter iblis pada diri manusia dengan rasio. Rasio mampu mengendalikan karakter leviathan. Jika rasio senantiasa digunakan untuk mengevaluasi tindakan, perilaku korupsi bisa dicegah. Karena itu, budaya rasionalitas (menggunakan akal sehat) harus terus disuntikkan kepada politisi. Terus memikirkan dan mengevaluasi tindakan dengan akal sehat. Masyarakat juga harus terus mengingatkan politisi akan pentingnya akal sehat dalam perilaku politik.
Sebagaimana dikatakan Socrates, hidup yang tidak dipikirkan adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani. Perilaku koruptif, entah apa pun jabatan kita, adalah perbuatan amat nista sehingga tidak layak untuk dijalani.
EKO WIJAYANTO Dosen Filsafat FIB UI
tulisan ini disalin dari Kompas, 19 Agustus 2008