Budaya Korporasi BUMN (Menyambut Rencana DPR RI Menghapus Kementerian Negara BUMN) - [22/07/04]

Seorang teman saya mantan eksekutif Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bercerita betapa nikmatnya menjadi Direksi BUMN. Mempunyai rumah dan tinggal di Jakarta. Berkantor di Lhokseumawe. Sekali seminggu sang direktur pulang ke Jakarta, agak sulit meninggalkan nikmatnya hidup di Jakarta. Senin pagi, setiap Minggu, sang direktur berangkat kerja ke Lhokseumawe menggunakan pesawat Garuda pada kelas bisnis.

Transit di Medan sebelum melanjutkan pejalanan ke Lhokseumawe besok pagi. Siang hari seperti biasa, main golf bersama kolega, dilanjutkan acara menghabiskan malam di beberapa tempat hiburan di sekitar Kota Medan. Tiba dengan pesawat pertama di Lhokseumawe, langsung memimpin rapat dengan seluruh anggota direksi bersama beberapa manager kunci. Seolah menebus waktu karena mangkir beberapa hari, sang direktur dengan bersemangat memimpin rapat maraton sampai sore.

Rapat secara intensif membahas soal efisiensi, produktitifas dan pencapaian target produksi. Menjelang sore, para manager yang sudah lelah dan mulai ngantuk terhibur dengan iming-iming akan adanya peningkatan insentif bagi seluruh karyawan menjelang akhir tahun. Seorang manager sejurus kemudian menyela bahwa restrukturisasi utang belum tuntas dan perusahaan sedang berusaha mendapatkan kredit modal kerja dari perbankan.

Namun sang direktur dengan mantap dan meyakinkan mengatakan bahwa semua itu akan beres. Pemerintah juga berkepentingan dengan penampilan BUMN yang perform, apalagi dalam waktu dekat digelar Pemilu. Semua peserta rapat akhirnya manggut-manggut. Mereka bangga dengan kecerdasan sang direktur. Rapat pun bubar. Hanya satu dua orang yang tinggal menunggui sang direktur memeriksa surat-surat dalam sepekan dan menandatangani semua surat-surat yang telah disiapkan.

Sejurus kemudian manager keuangan masuk, membungkuk, menyodorkan setumpuk surat dan setumpuk amplop. Amplop yang terakhir lebih dulu langsung dimasukkan ke dalam tas direktur disertai sedikit bisik-bisik. Manager keuangan seolah-olah takut terdengar padahal mereka tinggal berdua. Semua berkas diperiksa, diberi catatan atau diposisi dan ada juga yang ditandatangani. Semuanya tak lebih setengah jam.

Dengan pesawat pertama, sang direktur meninggalkan Kota Lhokseumawe menuju Medan, sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Dengan wajah puas sumringah, sang direktur tiba di Jakarta keesokan harinya. Dalam hati dia bersyukur bisa memimpin perusahaan negara. Dia sangat bangga dan puas dengan hasil kerja anak buahnya. Dia menjalani keseharian yang memanjakan sebagai seorang Direktur BUMN. Satu kenikmatan hidup yang tiada tara.

Efisiensi Atau Korupsi
Siklus hidup sang direktur rupanya tidak dinikmati karyawan. Seluruh karyawan sehari-hari dihadapkan dengan tingkat produktivitas yang terus menurun. Utang yang terus bertambah, alat-alat produksi yang kadaluarsa. Etos kerja yang makin melempem. Perusahaan secara konsisten terus dijarah, baik dari dalam maupun dari luar. Penjarahan berlangsung terstruktur, sistematis dan sistemik.

Sulit menilai apakah penjarahan itu dikategorikan sebagai korupsi atau sekadar masalah efisiensi. Secara akuntansi, auditor tidak menemukan tindak pidana korupsi, sehingga dalam catatan kecil dia hanya bisa mengatakan itu sebagai inefisiensi. Penjarahan internal rupanya demikian merasuk sehingga akuntan publik pun tidak berkutik.

Tetapi reformasi sedikit membantu. Maksudnya membantu menjelaskan mengapa perusahaan makin tidak efisien. Ekses reformasi menyebabkan penjarahan eksternal rupanya makin seru. Secara kasat mata, unit-unit produksi dan aset perusahaan memang dijarah oleh orang-orang yang tidak dikenal. Diperlukan anggaran yang sangat besar bagi mengamankan unit-unit produksi dan aset perusahaan, Ini pun akhirnya menambah beban bagi perusahaan.

Hanya saja publik menjadi sedikit maklum mengapa BUMN, misalnya mengalami masalah keuangan. Penjelasan lainnya ialah, alasan klasik organisasi yang kelewat gemuk. Jumlah karyawan tidak proporsional, tidak efisien apalagi bila dibandingkan dengan tingkat produktivitasnya. Selain itu, direksi juga sering mengeluh tentang keharusan melayani para petinggi dari pusat.

Semua itu mudah-mudahan dapat segera berlalu. DPR RI nampaknya sedang menyiapkan konsep yang memungkinkan semua BUMN di kelola lebih profesional lepas dari genggaman satu tangan, yaitu kementerian negara BUMN (Meneg BUMN). Kalau itu terwujud tak pelak lagi BUMN nampaknya tengah berada di persimpangan jalan. Kita sangat berkepentingan dengan perubahan itu mengingat tiga BUMN Perkebunan (PTPN 2, PTPN 3 dan PTPN 4) menjadi andalan utama daerah ini.

Menelaah BUMN
Sekelumit kisah Direktur BUMN di atas sebenarnya hanya sedikit dari sekian banyak kisah-kisah dan perilaku para pengelola BUMN, bagian dari budaya korporasi BUMN kita. Ada yang akhirnya di penjara, menjadi bulan-bulanan jaksa dan polisi. Mereka cenderung menghindar dari publikasi. Bahkan direksi profesional yang baik pun akhirnya tertular menjadi terikut-ikut. Publik cenderung melakukan generalisasi. Mereka hanya tahu bahwa BUMN menguasai begitu banyak aset negara.

Apabila aset yang lebih dari 600 triliun rupiah dikelola secara baik dan profesional, maka dalam praktek bisnis yang lazim, BUMN kita seyogianya bisa membukukan laba setidaknya 10 persen dari nilai aset itu atau 60 triliun rupiah. Keuntungan itu setara dengan sekitar 20 persen dari nilai APBN kita. Angka itu juga ekuivalen dengan cicilan utang nasional kita setiap tahun. Andaikan itu dapat dicapai, maka APBN kita bisa bebas dari beban bunga dan cicilan utang, sehingga angka itu bisa digunakan bagi pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Tapi itu rupanya tidak terjadi atau belum mungkin terjadi dalam waktu dekat. BUMN kita malah masih berkutat dengan masalah efisiensi (korupsi termasuk didalamnya), hutang yang terus bertambah, harga pokok produksi yang sulit turun dan budaya korporasi yang tidak sehat. BUMN Perbankan malah menyedot dana rekap trilyunan rupiah yang sebagian justru ditaruh lagi dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Para Bankir pelat merah tetap saja menikmati kondisi itu.

BUMN Perkebunan terus mencari suntikan dana segar melalui perbankan, pasar modal atau sumber-sumber lain. Belum lagi penjarahan dan penyerobotan lahan. Budaya korporasi perkebunan masih belum beranjak dari gaya lama yang feodalistik. Mereka membudidayakan tanaman yang secara tradisional merupakan andalannya. Mereka tidak menanam menurut kehendak pasar. BUMN Perkebunan kita masih berkutat di sekitar on-farming, belum memasuki bisnis off-farming, yang justru lebih berprospek besar dan menjanjikan.

Di bidang budidaya pun BUMN Perkebunan kita masih kalah jauh dibanding Perkebunan Swasta Nasional apalagi swasta asing. Produktivitas setiap hektare lahan sawit PTPN sekitar 18 ton per tahun, sementara swasta asing sudah mampu mencapai 26 ton - 30 ton per tahun. Belum lagi membandingkan harga pokok produksi yang sangat jauh berbeda. Sebaliknya, menjadi pertanyaan dan terasa aneh para profesional justru lebih berharap bisa bekerja di PTPN dibandingkan dengan perkebunan swasta.

BUMN Kekaryaan atau BUMN Kontraktor masih berkutat dengan hutang dan persaingan yang semakin sangit dengan masuknya kontraktor asing seiring dengan pemberlakuan berbagai kesepakatan pasar bebas seperti AFTA, APEC dan lain-lain. Iklim dunia jasa konstruksi sendiri sangat tidak sehat. Landasan hukum seperti Undang-undang dan Keppres tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Dunia usaha jasa konstruksi menjerit dengan kondisi yang ada. Tetapi para Direksi BUMN Konstruksi justru hidup nyaman dan sejahtera.

BUMN Tambang, energi dan perminyakan juga menghadapi masalah yang sama. Perusahaan negara kita itu berkutat menghadapi inefiensi dan hutang yang sangat besar. Perusahaan Listrik Negara (PLN) nyaris mengalami kebangkrutan. Melalui suatu kebijakan yang tidak jelas juntrungannya, PLN harus membeli arus listrik dari swasta yang dibangun melalui program keterlibatan swasta memenuhi kebutuhan arus listrik yang terus meningkat. Puluhan ribu rumah sederhana dan sangat sederhana menjadi korban karena PLN tidak sanggup menyediakan sambungan arus dan meteran listrik 450 VA.

BUMN Telekomunikasi juga tidak kalah rumit masalahnya. Telkom yang memiliki hak eksklusif harus menguras energi yang besar mengelola Kerjasama Operasai (KSO) dengan mitra asingnya. Mirip dengan PLN, mitra asing seolah-olah akan membangun Satuan Sambungan Telepon (SST), membantu kesulitan dana investasi Telkom yang terbatas. Namun praktiknya kemudian tidak sesuai dengan harapan semula membantu Telkom. Yang terjadi justru membebani bahkan menguras energi Telkom. BUMN telekomunikasi lainnya yang sehat dan satu-satunya BUMN yang terdaftar di bursa saham New York justru dijual kepada pihak asing.

Meneg BUMN Atau Holding Company
Manakala kemudian kementerian BUMN menggelar kegiatan yang bersifat konsolidasi dan menganugerahkan penghargaan (BUMN Award), kita memang patut berharap banyak. BUMN Award tersebut semogalah mengawali upaya kita mengaudit BUMN secara menyeluruh. Konsolidasi itu sendiri sudah terlihat dari upaya kementerian menggiring sebanyak mungkin masuk bursa saham (go public). Sayangnya belum banyak yang bisa masuk bursa.

Nah, sekarang konsolidasi itu dilanjutkan lagi dengan penganugerahan penghargaan pada saat DPR RI sedang menyiapkan RUU Kementerian yang di dalamnya tidak memuat Portofolio Kementerian BUMN. Itu berarti DPR RI menilai kementerian itu dianggap perlu dihapuskan. Bagaimanakah nasib konsolidasi BUMN selanjutnya. Di tengah dimana kita berharap banyak kepadanya.

Usulan yang berkembang sepertinya BUMN akan dikembalikan kepada departemen teknis sebagaimana sebelumnya. Pertanyaan selanjutnya ialah mana yang lebih baik. Bila pertimbangannya efisiensi, sudah sangat jelas bahwa kementerian sejenis Meneg BUMN yang bersifat holding company akan lebih efisien. Hanya saja bila di bawah kendali seorang menteri, apalagi yang berafiliasi dengan salah satu partai, maka portofolio Meneg BUMN sangat mungkin dijadikan mesin uang partai.

Oleh karena itu, menurut saya sebaiknya portofolio kementerian BUMN diganti dengan Holding Company yang terdiri atas para profesional yang langsung terlibat dengan manajemen BUMN menurut divisi-divisi sebagaimana dikelompokkan selama ini ke dalam deputy. CEO Holding Company secara langsung terlibat dengan maju mundurnya BUMN, untung rugi serta seluruh tetek bengek perencanaan dan pengembangan bisnis. Pengangkatannya melalui fit and proper test di DPR RI dan ditetapkan melalui SK Presiden tersendiri. Seleksi direksi holding company BUMN memungkinkan publik terakses sehingga secara langsung ikut melakukan audit sejak awal terhadap kinerja seluruh direksi BUMN yang ada.

Kondisi itu berbeda dengan apa yang dilakukan Departemen Teknis atau Meneg BUMN selama ini. Mereka hanya mengurusi kebijakan perencanaan dan pengembangan makro, baik pengembangan bisnis maupun SDM. Dalam beberapa hal Meneg BUMN lebih banyak memposisikan diri sebagai Menteri Personalia BUMN, yang mengangkat, memindahkan atau memberhentikan para direksi BUMN. Itu sebabnya para deputy Meneg BUMN kadangkala dianggap sebagai dewa bila turun ke daerah.

Menjadi terasa aneh karena ternyata mereka tidak terlibat dengan kondisi riil BUMN. Bila BUMN merugi atau bermasalah, yang bertanggungjawab adalah direksinya. Namun bila menguntungkan dan sehat, yang punya nama kementerian BUMN. Kondisi ini akan sangat riskan bila secara politis rezim yang sedang berkuasa memiliki kepentingan politik terhadap BUMN. BUMN akan kembali menjadi sapi perahan.

Oleh karena itu BUMN sebaiknya tidak lagi berada di bawah satu portofolio kementerian manapun, melainkan di bawah satu manajemen Chief Executive Officer (CEO) Holding Company yang langsung atau tidak langsung bertanggungjawab secara profesional melalui praktik dan pengelolaan bisnis yang lazim terhadap masa depan BUMN kita. Lepas dari kepentingan-kepentingan politik atau pihak-pihak yang tengah berkuasa.(Ir. H. Chaidir Ritonga, MM , adalah Ketua Kadin Daerah Sumatera Utara)

tulisan ini diambil dari Waspada Online, 22 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan