Budaya Kleptokrasi Kepala Daerah

Rasanya masih jelas di benak masyarakat bagaimana Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara, ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi karena menyalahgunakan wewenang dalam pem berian izin pertambangan. Tak lama kemudian, KPK kembali menetapkan seorang kepala daerah sebagai tersangka kasus korupsi, yakni Yan Anton Ferdian, Bupati Banyuasin yang terlibat dalam kasus dugaan suap proyek di Dinas Pendidikan setempat. Ini menunjukkan budaya klep tokrasi semakin mewabah di Indonesia.
 
Kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni ”kleptes” (maling) dan “kratos” (bentuk administrasi publik). Jadi, kleptokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan yang mengambil uang yang berasal dari rakyat untuk memperkaya kelompok tertentu atau diri sendiri. 
 
Ciri negara kleptokrasi antara lain tingkat korupsi di lingkup birokrasi sangat tinggi. Birokrasi ini merujuk pada eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kleptokrasi seringkali memperkaya birokrat dan mitra kerjanya yang korup dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam. Kemakmuran rakyat sering dikesampingkan demi mendapatkan kekuasaan dan harta. 
 
Kleptokrasi semakin populer ketika digunakan oleh Stanislav dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968). Ia merujuk pada sebuah pemerintahan yang sangat dekat dengan praktek korupsi serta penggunaan kekuasaan yang bertujuan mencari keuntungan secara tidak halal. 
 
Indonesia Corruption Watch mencatat, sepanjang 2010-2015, tercatat 183 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Jabatan bupati menempati peringkat teratas dengan jumlah total tersangka 110 orang, dilanjutkan dengan wali kota 34 orang, gubernur 14 orang, kemudian wakil bupati 16 orang, wakil wali kota 7 orang, dan wakil gubernur 2 orang. Setiap tahun, rata-rata 30 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Hal itu menunjukkan kepala daerah justru berlomba-lomba melakukan tindak korupsi. 
 
Kejahatan korupsi di Indonesia sudah mencapai titik kronis. ICW mencatat kerugian negara akibat korupsi pada 2016 (Januari-Juni) saja sudah mencapai angka Rp 890,5 miliar, sedangkan nilai total suap mencapai Rp 28 miliar, Sin$ 1,6 juta, dan US$ 72 ribu. Adapun pada 2015, negara telah dirugikan sebesar Rp 31,077 triliun. 
 
Dari segi ekonomi, korupsi tentu akan menghambat program-program yang telah dicanangkan pemerintah untuk menyejahterakan rakyat. Dana APBN dan APBD, yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat, justru dirampas oleh koruptor.
 
Kebijakan pro-rakyat akan menjadi sia-sia hanya karena masalah korupsi. Tentu ini akan menambah tingkat kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial lantaran dana pemerintah, yang seharusnya untuk rakyat, justru masuk kantong para pejabat dan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
 
Setidaknya, ada dua permasalahan utama dalam kleptokrasi di Indonesia. Pertama, minimnya pemimpin berintegritas yang dapat dijadikan panutan rakyat. Sistem yang bersih tentu tidak akan memberi peluang bagi pejabat-pejabat yang ingin melakukan korupsi. Maka, ketika masih ada pejabat negara yang korup, dapat dipastikan ada yang “bocor” dalam proses penyaringannya.
 
Kedua, kurangnya sistem kontrol masyarakat terhadap akuntabilitas kinerja pejabat publik. Terciptanya penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN tentu bukan hanya tanggung jawab penyelenggara negara, tapi juga masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat tidak boleh hanya dijadikan obyek penyelenggaraan negara, tapi juga harus dilibatkan sebagai subyek pembangunan.
 
Era kleptokrasi saat ini bisa berubah jika daerah-daerah di Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang bersih, berintegritas, dan tidak diragukan komitmen anti-korupsinya. Kontestasi politik pada 2017 bisa menjadi titik perubahan untuk bangsa Indonesia. 
 
Pemilihan kepala daerah serentak pada 2017 akan diselenggarakan di 101 daerah, yang terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Tentu saja pesta demokrasi ini diharapkan bisa menghasilkan kepala daerah yang berintegritas dan memiliki komitmen antikorupsi yang kuat. Selain berbicara soal pemimpin yang dihasilkan, masyarakat mendambakan proses pemilu yang berkualitas, jujur, dan adil.
 
Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk memastikan pemilu bersih dapat tercapai serta menciptakan pemimpin yang antikorupsi. Pertama, proses penjaringan calon kepala daerah oleh parpol harus dengan kriteria yang ketat. Parpol seringkali ti dak mempunyai indikator yang baik untuk menentu kan calon yang akan di usung. Walhasil, calon yang akan dipilih adalah hanya mengandalkan uang dan popularitas.
 
Kedua, memastikan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) calon kepala daerah sudah terdaftar di KPK. Ini sangat penting karena dapat menciptakan budaya transparansi di masyarakat sehingga mereka dapat melihat dan turut serta memantau lonjakan jumlah harta yang diperoleh calon tersebut, baik sebelum, selama, maupun saat masa akhir jabatan.
 
Ketiga, memperkecil ruang kecurangan saat kampanye, antara lain mencegah terjadinya politik uang. Budaya memberikan uang kepada masyarakat demi memperoleh suara seakan sudah dianggap lazim. Model kampanye seperti ini bisa merusak tatanan demokrasi. Seharusnya, rakyat bisa dididik untuk memilih berdasarkan ide dan gagasan dari calon tersebut.
 
Kurnia Ramadhana, peneliti Indonesia Corruption Watch
 
Tulisan di salindari Koran Tempo, 5 Oktober 2016

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan