Bubarkan KPK!
Tentu Anda terkejut mengapa judul artikel ini demikian kejam: ”Bubarkan KPK!”, padahal saat proses pembentukannya saya adalah salah seorang anggota panitia seleksi bagi lembaga penghalau korupsi itu. Bahkan, beberapa hari yang lalu, anggota staf di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menghubungi saya dan menanyakan apakah saya bersedia masuk dalam panitia seleksi pemilihan ketua KPK, setelah ditinggal Antasari Azhar yang sarat kabut hitam itu.
Kepada anggota staf itu saya katakan, jika Presiden tak keberatan saya masuk, demi efektivitas kerja KPK, tidak ada masalah. Tahu-tahu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan malah mengabulkan gugatan praperadilan Anggodo Widjojo dengan pengacaranya, OC Kaligis, agar Bibit-Chandra dihadapkan ke pengadilan. Artinya, jika itu terjadi, keduanya harus mundur dari jabatan pimpinan KPK.
Inilah sesungguhnya yang sangat diharapkan oleh warga negara busuk yang memang tidak rela melihat negeri ini menjadi baik sehingga para koruptor tetap bebas gentayangan untuk membobol pematang sawah Republik yang sudah bernapas Senin-Kamis ini.
Dengan judul di atas, sayalah sebenarnya yang lebih terkejut, tetapi Anda jangan cepat-cepat menyimpulkan sebelum ujung tulisan ini dibaca. Dalam lingkungan kultur yang serba tidak jelas, tidak tegas, akan sangat sulit dibedakan antara angguk dan geleng, antara iya dan tidak.
Bahkan, yang lebih berbahaya lagi jika dilihat dari sisi nilai-nilai moral profetik, keculasan hati seseorang sering benar dibungkus dengan laku dermawan dan sopan-santun, pandai bergaul. Lingkungan sekitar akan selalu mengatakan si anu itu orang baik, kenapa tiba-tiba dituduh sebagai penggelap pajak, markus perkara, dan yang sejenis itu. Semua pada heran dan tak habis pikir.
Namun, jika kita mau melihat lebih dalam dan jernih, dalam kultur yang sudah kumuh, sebenarnya gejala yang serba berlawanan itu tidak ada yang aneh. Semuanya logis belaka. Bukankah aktor dalam sinetron sering benar memukau karena memang dilatih untuk berpura-pura? Indonesia tercinta ini sedang diaktori oleh tipe manusia yang mahir ”menanam tebu di bibir, manis di luar busuk di dalam”.
Untuk berapa lama lagi situasi menggelisahkan ini harus ditanggungkan oleh bahu bangsa yang mulai kropos ini, sementara laku kekerasan semakin marak di mana-mana? Tidak jarang, karena sebab sederhana saja, orang dengan mudah berkuah darah. Jika perlu berlindung di balik komat-kamit bacaan ayat-ayat suci agar borok laku tidak terlalu kentara.
Di mana pemimpin? Pemimpin sudah menjadi makhluk langka di negeri ini. Dari tingkat pusat sampai ke lapisan yang paling bawah, tidak banyak perbedaan. Yang berkeliaran adalah para penjual obat palsu dengan merek paten. Lalu, di mana pula pemimpin agama yang sering berkhotbah di masjid, gereja, pura, klenteng, atau di majelis zikir yang mengundang orang sering menangis? Ini pun pertanyaan sia-sia.
Melemahkan KPK
Dari sekitar 235 juta penduduk Indonesia, bibit-bibit baik yang moralis tidak kurang. Saat yang tepat pasti akan tiba bagi giliran mereka memimpin bangsa yang tak putus dilanda musibah ini. Perlu kesabaran dengan sikap kritikal yang diperhitungkan. Saat menghadapi suasana yang parah sekalipun, kendalikan emosi agar anarkisme tidak merajalela, tetapi pandangan lurus dan tajam ke depan jangan sampai terkapar dalam perjalanan. Bangsa ini masih bisa diselamatkan selama nurani dan akal sehat jangan dibiarkan mati suri.
Apakah KPK sudah bekerja maksimal selama ini? Sama sekali belum. Bahkan, dalam menangani kasus tertentu mungkin sudah berlebihan, seperti keluhan yang sering saya dengar dari sejumlah kalangan: birokrat, perbankan, dan dunia usaha. Kata mereka tidak mudah melakukan tugas sekarang karena definisi korupsi yang multitafsir itu bisa menjerat siapa saja, di hulu dan di hilir.
Daripada tertangkap secara konyol, lebih baik ekstra hati-hati, artinya tidak berbuat apa-apa. Sisa anggaran kembalikan saja ke kas negara. Sikap semacam ini sama saja dengan membunuh proses pembangunan. Sampai di mana benarnya keluhan semacam ini, mohon pihak KPK menyimaknya dengan jujur dan penuh empati. Birokrat, bankir, dan pengusaha yang berhati nurani belum punah sama sekali, sekalipun nama mereka sering tenggelam ditutupi kelakuan tak senonoh oleh yang lain.
Akhirnya, Anda mau tahu posisi saya tentang keberadaan KPK? Formulanya sangat sederhana: ”Upaya membubarkan KPK atau melemahkannya bisa berujung dalam jangka panjang sama dengan membiarkan negara ini bubar di tangan anak-anak bangsa yang telah lupa daratan dan lupa lautan.” Jadi, judul di atas dalam kaidah ushul fiqh disebut mafhum mukhalafah harus dimaknai sebaliknya.
Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah
Tulisan ini disalin dari Kompas, 21 April 2010