BPKP: 394 Kasus Diduga Korupsi; Temuan BPKP terkesan tidak ditindaklanjuti.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sepanjang 2004 hingga April 2005 melakukan audit investigasi terhadap 394 kasus berindikasi korupsi.

Ketua BPKP Arie Soelendro mengatakan, pemerintah berpotensi mengalami kerugian Rp 3,56 triliun dan US$ 74,6 juta dari kasus-kasus tersebut.

Terhadap 94 kasus pada 2004, BPKP melakukan audit investigasi sendiri. Dari kasus-kasus itu, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 171 miliar dan US$ 7,8 juta. Berikutnya, sebanyak 187 kasus diperiksa bersama kepolisian, dengan potensi kerugian Rp 2,9 triliun dan US$ 58 juta.

Dari kasus-kasus Januari-April 2005, sebanyak 48 kasus diperiksa sendiri oleh BPKP dengan kemungkinan kerugian Rp 97 miliar dan US$ 6,4 juta. Sisanya, sebanyak 65 kasus, diaudit bersama kepolisian dengan potensi kerugian Rp 383 miliar dan US$ 2,4 juta.

Ini menunjukkan, kinerja BPKP juga ada dalam investigasi, kata Arie dalam rapat kerja dengan Komisi Keuangan dan Perbankan DPR kemarin.

Saat anggota Dewan menanyakan, di mana korupsi terbesar ditemukan, Arie hanya menjawab, Harus dilihat lagi.

Dia beralasan bahwa agenda rapat kemarin adalah untuk membahas anggaran BPKP 2006. Kalau perlu detail, nanti akan disampaikan daftar tertulis pada pertemuan berikutnya, kata Arie.

BPKP mengajukan anggaran Rp 399,78 miliar untuk 2006. Dana itu bersumber dari dalam negeri Rp 396,56 miliar dan pinjaman atau hibah asing Rp 3,22 miliar.

Arie menuturkan, dana tersebut akan digunakan untuk peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara, pengelolaan sumber daya manusia aparatur, dan peningkatan sarana dan prasarana aparatur negara.

Dalam tahun anggaran 2005, BPKP mengusulkan anggaran Rp 493 miliar. Namun, yang disetujui hanya Rp 352 miliar dan baru terealisasi Rp 50,8 miliar hingga 31 April 2005.

Salah satu program BPKP tahun ini adalah memeriksa pengadaan barang dan jasa baik di pusat dan daerah. Kami akan all out di sini, kata Arie.

Anggota Komisi Keuangan Dradjad H. Wibowo meminta BPKP mengawasi Badan Pengawas Pasar Modal, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Sebab, kata Dradjad, pengawasan internal pada lembaga-lembaga tersebut selama 2 tahun belakangan ini tidak baik dan menyebabkan masyarakat terkena dampak dari kasus sektor keuangan dan perbankan.

Menurut dia, audit lebih awal terhadap Bapepam dapat mencegah secara dini guncangan sektor perbankan dan keuangan nasional. Begitu pula, sekalipun BPPN sudah ditutup, BPKP berwenang memeriksa Tim Pemberesan lembaga itu.

Namun, menurut Arie, kewenangan mengaudit Bapepam atau Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan dimiliki Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan. Yang pernah dilakukan, kami bukan mengaudit, tapi meneliti kinerja Direktorat Jenderal Pajak pada 2001, ucapnya.

Anggota komisi yang lain, seperti Walman Siahaan, Soekardjo, dan Nursanita Nasution, sama-sama berpendapat bawha seharusnya BPKP sama bergiginya dengan Badan Pemeriksa Keuangan. Selama ini, hasil temuan BPKP tidak berefek jera. Terkesan tidak ada tindak lanjut dari temuan BPKP, ujar Walman.

Anggota Komisi Fuad Bawazier menegaskan, BPKP harus mengikuti jejak BPK dengan memberikan banyak bahan penyelidikan kepada kepolisian dan kejaksaan. RR ARIYANI

Sumber: Koran Tempo, 17 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan