BPK Siap Bongkar Data BLBI; Suplai Kejagung untuk Ungkap Kasus Grup Salim
Seiring dengan menguatnya sorotan terhadap kasus BLBI, BPK juga menunjukkan sikap antusias untuk pengusutan kembali kasus yang melibatkan uang negara triliunan rupiah itu. Anwar Nasution, ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menyatakan siap memasok data kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan membongkar kembali arsip bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Masalah BLBI ini sudah selesai (diperiksa) oleh BPK sejak lima tahun lalu. Kami telah bentuk tim untuk menyuplai data yang dibutuhkan oleh Kejagung, kata Anwar seusai acara penandatanganan kesepakatan bersama antara BPK dan Kejagung kemarin. Kami akan refresh lagi dan akan buka file-file lama sehingga apa yang dibutuhkan Kejagung akan kami berikan.
Saat ini Gedung Bundar mengusut ulang kasus pengembalian aset BLBI yang diduga merugikan negara trilunan rupiah. Salah satunya adalah dugaan penyimpangan penyerahan aset obligor yang dikelola PT Holdiko kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Holdiko adalah perusahaan yang dibentuk BPPN untuk mengelola recovery aset yang diserahkan oleh obligor Grup Salim.
Dalam penjelasan resmi, Kejagung memang tidak menyebutkan langsung nama Grup Salim. Gedung Bundar hanya mengungkapkan bahwa ada selisih penghitungan yang merugikan negara triliunan rupiah dari aset yang dikelola Holdiko. Sementara untuk kasus kedua, Kejagung hanya menguraikan angka-angkanya, tanpa menyebut obligor dan banknya.
Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, data BPK diperlukan untuk membuktikan apakah obligor telah melakukan apa yang dipersyaratkan saat pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL). Ada kebijakan pemerintah dengan mengeluarkan SKL, tapi apa yang harus dikembalikan menurut SKL secara material atau fisik tidak sama, jelasnya.
Sebab, menurut dia, tidak tertutup kemungkinan adanya negosiasi antara obligor BLBI dan pejabat pemerintah untuk memperoleh SKL itu. Jadi, kita tidak terburu-buru menentukan siapa pelakunya. Buktilah yang akan menentukan, kata Hendarman.
Dugaan Markup
Sementara itu, pada akhir Juni 2007, Hendarman mengatakan, Kejaksaan Agung menargetkan menyelesaikan tiga kasus kakap dari delapan kasus dugaan korupsi dana BLBI yang memiliki nilai kerugian negara di atas Rp10 triliun. Tetapi, dia tidak merinci tiga kasus BLBI yang dimaksud, termasuk siapa koruptor terkait.
Dari tiga kasus itu, ada dua yang sama modusnya. Satu kasus adalah saat kredit dikucurin. Jadi, kita mengajukan PK terhadap putusan bebas kasus mantan Gubernur BI Sjahril Sabirin dan Djoko Tjandra (kasus Bank Bali, Red). Dan yang penyaluran BLBI tapi tidak ada pengembalian, itu belum kita jamah. Masih nanti, paparnya.
Yang kedua, lanjut dia, adalah BLBI yang SKL (surat keterangan lunas)-nya sudah diberikan. (Tapi) yang harus dia kembalikan secara material, secara fisik tidak sama. Di situ kita melihat siapa yang berbuat. Kami tidak prejudice untuk menentukan pelaku-pelakunya itu, katanya.
Menurut Hendarman, tidak tertutup kemungkinan perbuatan tersebut tidak hanya dilakukan obligator sendirian, tapi bisa juga di pejabat pemerintah. Bisa terjadi negosiasi antara pejabat dan yang mengembalikan, ujarnya.
Hendarman menambahkan, 35 jaksa yang menangani kasus itu dibagi menjadi dua tim. Yang pertama mengusut aset-aset dan melakukan penyitaan. Sisanya melakukan pemeriksaan guna mengetahui adanya perbuatan tindak pidana korupsi itu. Berdasar catatan, Grup Salim semula menerima BLBI Rp 35 triliun pada 1998. Dalam perkembangannya, pada September 1998, saat penandatanganan master settlement and acquisition agreement (MSAA - Perjanjian Pengembalian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan Jaminan Aset), jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) obligor tersebut membengkak menjadi Rp 52,7 triliun. Angka itu hasil audit yang tidak melalui auditor independen, tetapi dihitung sendiri oleh obligor.
Selanjutnya pada 1999, terjadi penyerahan aset ke BPPN dan Holdiko. Dari hasil audit Lehman Brothers cs yang ditunjuk BPPN, aset yang diserahkan obligor itu Rp 52,6 triliun. Dari audit tersebut, utang obligor dan asetnya menjadi klop. Artinya, utangnya lunas.
Namun, berdasar audit BPPN melalui Pricewaterhouse Cooper (PwC), hasil penghitungan aset hanya Rp 23 triliun. Ironisnya, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2006, penjualan aset yang diterima BPPN menyusut jauh, tinggal Rp 19 triliun. Pada 2004, obligor tersebut sudah mendapatkan SKL.
Dengan kata lain, berdasar hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh BPK, nilai penjualan aset Salim yang diserahkan ke BPPN untuk penyelesaian BLBI hanya 36,7 persen atau Rp 19,38 triliun.
BPK-Kejagung Kerja Sama Lagi
BPK dan Kejagung kembali bekerja sama mengenai tindak lanjut penegakan hukum atas hasil pemeriksaan BPK yang berindikasi mengandung unsur pidana. Sebelumnya, kedua pihak menandatangani kesepakatan serupa pada Juni 2006. Namun, kesepakatan itu diperbarui karena terjadi perubahan mendasar dalam sistem keuangan negara. Misalnya, paket ketiga UU Keuangan Negara 2003-2004. Kejaksaan Agung juga sudah memiliki UU baru, yaitu UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Karena kedua alasan itulah, perlu dilakukan perubahan substansi kesepakatan antara BPK dan Kejaksaan Agung, ujar Anwar Nasution dalam sambutan penandatanganan kesepakatan kemarin.
Anwar memaparkan, kerja sama tersebut meliputi penyerahan hasil pemeriksaan BPK yang mengandung unsur tindak pidana korupsi, tindak lanjut penegakan hukum atas penyerahan hasil pemeriksaan BPK, dan kegiataan koordinasi kejaksaan agung dengan BPK dalam penegakan hukum.
Selanjutnya, pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bersama, operasi bersama antara BPK dan Kejagung tanpa keluar dari koridor tugas dan kewenangana masing-masing. Yang terakhir pemberian keterangan tenaga ahli atau tenaga auditor BPK atas permintaan Kejagung dan sebaliknya. Dengan kesepakatan itu, koordinasi antara Kejaksaan Agung dan BPK diharapkan semakin mantap, tandas Hendarman. (aan)
Sumber: Jawa Pos, 26 Juli 2007