BPK: Penerima SKL Belum Tentu Lolos dari Hukum [24/07/04]
Badan Pemeriksa Keuangan masih memeriksa dan meneliti pemberian surat keterangan lunas (SKL) yang diberikan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kepada sejumlah debitor. Sehingga, debitor yang menerima SKL belum tentu lolos dari pertanggungjawaban hukum.
Ketua BPK Satrio Boedihardjo Joewono menegaskan, pihaknya juga tidak akan begitu saja menerima laporan BPPN mengenai pemberian surat keterangan lunas. Kalau menurut kami benar ya benar, kalau tidak ya kita katakan tidak. Bukan karena sudah keluar SKL, kemudian kami setuju saja, kata Satrio di kantornya kemarin.
Audit ini, kata Billy panggilan akrab Satrio, pada intinya dilakukan sehubungan dengan penutupan BPPN. Ini berarti seluruh kebijakan BPPN termasuk pemberian SKL terhadap para pengutang kakap juga diaudit. Makanya kami belum bisa memberikan pendapat sekarang. Tunggu saja, tidak lama lagi hasilnya akan keluar, ujarnya.
Setelah audit selesai, Billy menyerahkan kepada pemerintah untuk menggunakan atau mengabaikan hasil audit itu. Itu tanggung jawab pemerintah, paparnya. Dia pun menolak menanggapi kebijakan Jaksa Agung yang Kamis (22/7) lalu telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3) untuk Sjamsul Nursalim. SP-3 itu urusan Jaksa Agung. Kami bukan Jaksa Agung, kami hanya mengaudit, kata Billy.
Rachman mengeluarkan SP-3 dengan alasan tersangka korupsi Rp 10,5 triliun itu sudah menerima surat keterangan lunas. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 , kata dia, pemerintah berwenang memberikan jaminan kepastian hukum bagi setiap debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya. Terhadap debitor yang kooperatif membayar utangnya, dijamin akan mendapat SKL dan tuntutan pidananya tidak dilanjutkan lagi, kata Rachman lagi.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman mengatakan, pihaknya belum bisa menentukan sikap atas hasil audit BPK nantinya, termasuk kepastian untuk mencabut SP-3 jika BPK nanti menemukan kesalahan dalam penyelesaian utang mantan pemilik BDNI itu. Kami lihat saja nanti apakah SKL akan dibatalkan atau tidak. Tapi sekarang kami belum bisa mengatakan apa-apa, katanya saat dihubungi Koran Tempo.
Sementara itu, Komisi Hukum DPR kemarin mengirim surat kepada Wakil Ketua DPR. Surat yang ditandatangani ketua komisinya, A.Teras Narang, itu meminta DPR menyurati Jaksa Agung berkaitan keluarnya SP-3 untuk Sjamsul Nursalim. Komisi meminta Jaksa Agung memberikan penjelasan tertulis secara terperinci mengenai kronologi terbitnya SP-3 tersebut, kata Teras dalam suratnya itu.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hendardi, berpendapat kebijakan Jaksa Agung tersebut semakin menobatkan lembaga Kejaksaan sebagai juara bertahan mesin impunity negara. Dengan tanpa malu-malu lagi, Kejaksaan Agung di tengah hari jadinya ke-44, justru mengumandangkan Prestasinya melepas para koruptor kakap dari jerat hukum untuk kesekian kalinya, kata Hendardi kemarin. Rachman, kata Hendardi, rupanya lebih menghamba pada instruksi presiden ketimbang Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Tak heran, praktek korupsi semakin subur saja di negeri ini.
Namun, dalam pandangan calon Wakil Presiden Hasyim Muzadi, pemberian SP-3 untuk Sjamsul tidak mempengaruhi citra Megawati. Apalagi Megawati saat ini sedang masuk bursa pencalonan presiden untuk putaran kedua, September mendatang. Saya kira yang perlu saat ini diteliti, apakah DPR itu bisa meneliti SP-3 itu sudah memenuhi legal formal dan finansial substansial apa tidak? kata Hasyim menanggapi pertanyaan Tempo News Room kemarin.
Dia yakin, semua keputusan itu tidak akan menurunkan citra Megawati selama keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan hukum. Saya juga kurang mengerti karena saya sendiri tidak mengikuti kasusnya dari awal kasusnya bagaimana, ujar Hasyim. khairunnisa/suryani ika sari/maria rita
Sumber: Koran Tempo, 24 Juli 2004