BPK HARUS PERIKSA DUGAAN PELANGGARAN KODE ETIK DAN KONFLIK KEPENTINGAN YANG DILAKUKAN PEJABAT DI LINGKUNGAN KEPALA BPK PERWAKILAN JAKARTA

Pernyataan Pers

Indonesia Corruption Watch menerima laporan masyarakat terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik dan potensi konflik kepentingan oleh EDN yang saat ini menjabat sebagai pejabat di lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan DKI Jakarta. EDN diduga telah telah mencampuradukkan kepentingan pribadi dengan kewenangannya selaku pejabat BPK Perwakilan Jakarta berkaitan dengan Pemeriksaan BPK Jakarta atas Belanja Daerah pada Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta.

Kasus bermula pada tanggal 30 Desember 2014, ketika BPK Perwakilan DKI Jakarta mengeluarkan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) atas Belanja Daerah pada Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta. Dalam laporan tersebut diungkap temuan terkait ganti rugi pembebasan lahan seluas 9.618 m2 ditengah areal TPU Pondok Kelapa Jakarta Timur.

Berdasarkan Dokumen yang dimiliki oleh ICW, Tanah tersebut diklaim sebagai milik -seseorang yang bernama - EDN yang dibeli pada tahun 2005. Sebelumnya EDN telah mengirim enam kali surat kepada gubernur dan pejabat Pemprov DKI Jakarta agar membeli tanah tersebut. Pada intinya dalam surat tersebut, EDN menyatakan bahwa tanah yang dikuasainya telah clean and clear dan menjamin menanggung seluruh masalah hukum atas pembebasan. Namun pihak Pemprov DKI Jakarta menolak karena menilai bahwa tanah tersebut telah dibebaskan pada tahun 1979 sampai tahun 1985.

EDN merespon penolakan Pemprov DKI Jakarta dengan menyurati Kepala BPK Perwakilan untuk melakukan pemeriksaan status tanah sengketa tersebut. Surat dikirim pada tahun 2013, namun sampai Agustus 2014, BPK tidak kunjung mengeluarkan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan). LHP baru keluar ketika EDN menjabat sebagai kepala BPK perwakilan DKI Jakarta. EDN menjabat sebagai pejabat di BPK perwakilan DKI Jakarta pada bulan Agustus 2014.

Berdasarkan analisis perbandingan substansi antara surat pribadi EDN dan temuan LHP BPK atas tanah tersebut ditemukan kemiripan substansi. Temuan LHP BPK membenarkan, menguatkan dan sejalan dengan surat EDN kepada Pemprov DKI Jakarta. Dengan demikian, patut diduga EDN telah menggunakan kewenangannya selaku pejabat strategis BPK Perwakilan Jakarta untuk melakukan pemeriksaan atas status tanah pribadinya.

Selain itu, ICW menemukan kejanggalan lainnya dan menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait masalah ini yaitu::

1.       Mengapa EDN berani mengambil resiko membeli tanah seluas 9.816 m2 di tengah areal TPU Pondok Kelapa karena telah diklaim Pemprov sebagai aset mereka. Tanah tersebut masuk dalam rencana pembebasan Pemda DKI sejak tahun 1979. Tidak boleh dijual dan digunakan untuk kepentingan lain selain pemakaman. Bagaimana EDN bisa yakin bahwa tanah yang dibeli tersebut tidak akan bermasalah dengan hukum? Apakah EDN percaya diri membeli tanah tersebut karena dia adalah pemeriksa BPK sehingga mengetahui seluk beluk status hukum tanah tersebut?

2.       Mengapa EDN langsung menawarkan pembelian/pembebasan dalam waktu singkat atau beberapa bulan sejak dibeli dari 3 pemilik tanah pada Pemprov DKI Jakarta? Apa tujuan EDN membeli tanah tersebut, apakah untuk meraih keuntungan dengan memanfaatkan kedudukan sebagai pemeriksa BPK pada waktu itu?

3.       Darimana EDN memiliki dana untuk membeli tanah seluas itu (9.618 m2)? Jika NJOP tanah pada tahun 2005 sebesar Rp 500 ribu per m2, maka dibutuhkan dana sebesar Rp 4,9 miliar. Apakah EDN memiliki dana sebesar itu dengan pendapatannya sebagai pemeriksa BPK RI? Nilai NJOP tahun 2011 adalah senilai Rp 1.573.000 per m2 dan luas tanah sebesar 9.618 m2 sehingga total nilai tanah pada tahun 2011 sebesar Rp 15,4 miliar. Apakah EDN melaporkan tanah ini sebagai aset tidak bergerak pada KPK dalam LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara)?

Terkait dengan hal ini, ICW menduga telah terjadi konflik kepentingan EDN dalam pemeriksaan tanah seluas 9.816 m2 di tengah areal Pondok Kelapa Jakarta Timur oleh BPK DKI Jakarta. Selain itu, ICW menduga telah terjadi pelanggaran atas pasal 6 ayat (2) point d, Pasal 9 ayat (2) point b dan point d Peraturan BPK RI No. 2 Tahun 2011 tentang Kode Etik BPK RI.

Terkait dengan dugaan ini, berdasarkan pasal 13 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) point a dan Peraturan BPK RI No. 1 Tahun 2011 tentang Majelis Kode Etik BPK RI, ICW melaporkan EDN kepada Inspektur Utama sebagai Panitera Majelis Kode Etik BPK RI. ICW mendesak agar BPK membentuk Majelis Kode Etik BPK RI dan melakukan pemeriksaan, persidangan dan memutuskan atas dugaan pelanggaran etik dan konflik kepentingan dari EDN.

                                                                                                              Jakarta, 11 November 2015

                                                                                                            Indonesia Corruption Watch

                                                       Febri Hendri AA, Koordinator Divisi Investigas (081291867097) dan Firdaus Ilyas, Koordinator Divisi Riset (082125113199)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan