Bosowa Diusut Lagi

Kredit senilai Rp 1,049 triliun yang dikucurkan Bank Mandiri ke PT Semen Bosowa Maros bakal diusut kembali oleh Kejaksaan Agung. Penyidik menyatakan menemukan adanya unsur melawan hukum dalam penyaluran kredit ke perusahaan semen terbesar di Indonesia Timur itu.

Tim jaksa sudah menemukan unsur perbuatan melawan hukum. Itu satu unsur saja untuk meningkatkan ke penyidikan. Tetapi, BPK menyatakan kredit PT Semen Bosowa dinyatakan lancar sehingga kami (kejaksaan) menunda penanganannya, jelas Hendarman seusai mengikuti rapat kerja dengan jajaran Komisi III DPR di gedung DPR/MPR Jakarta kemarin.

Memang, bila mengacu pada laporan hapsem (hasil pemeriksaan semester) II/2004 BPK, terungkap bahwa status kredit PT Semen Bosowa kolekbilitas 2. Ini berarti masih lancar. Data inilah yang menjadi alasan bagi Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu untuk menghentikan penyidikan.

Hendarman menjernihkan pernyataan sebelumnya yang menyatakan kejaksaan tidak akan menangani dugaan kredit macet PT Semen Bosowa. Menurut dia, pihaknya beberapa waktu lalu hanya mengungkapkan, dari temuan BPK sejauh ini belum ditemukan adanya kredit macet. Tetapi, hal tersebut bukan berarti penanganan benar-benar dihentikan. Kejaksaan justru telah menemukan unsur perbuatan melawan hukum, tegasnya.

Ketika ditanya lebih rinci soal unsur melawan hukum dalam kredit Semen Bosowa, Hendarman hanya menjelaskan, Yang jelas, ada unsur melawan hukum. Dia tidak bersedia merincinya.

Yang jelas, katanya, Kejagung akan meminta BPK melengkapi data tentang audit Bosowa. Bila datanya sudah lengkap, akan ditingkatkan ke tahap penyidikan.

Dikonfirmasi terpisah, Aksa Mahmud, salah satu pemilik PT Semen Bosowa, menjelaskan, kredit Bosowa di Bank Mandiri tidak bermasalah. Sebab, selain kredit tersebut masuk kolektibilitas dua (lancar), tidak ada unsur yang merugikan negara.

Dan, harus diingat, kredit Bosowa itu direstrukturisasi lewat keputusan KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) yang di dalamnya juga ada jaksa agung dan Kapolri. KKSK itu lembaga resmi negara, tegas Aksa, mantan presdir PT Bosowa Grup itu.

Menurut tokoh yang juga wakil ketua MPR ini, kredit awal Bosowa sebenarnya Rp 526 miliar. Pinjaman itu diperoleh dari sindikasi Bank Dagang Negara (BDN), Bank Exim (Ekspor Impor), Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Danamon, dan Bank Niaga. BDN dan Exim belakangan melebur ke Bank Mandiri.

Akibat rugi selisih kurs karena krisis moneter pada 1997, utang Bosowa membengkak menjadi sekitar Rp 1,7 triliun. Karena Bosowa merupakan perusahaan sehat, utang itu kemudian direstrukturisasi lewat KKSK yang dipimpin menko perekonomian. Jadi, Bosowa tidak masuk BPPN. Kalau masuk BPPN, aset biasanya dilelang murah sehingga aset yang kembali ke negara hanya sepuluh persen. Itulah yang merugikan negara. Bosowa tidak masuk BPPN dan tidak merugikan negara, tandasnya.

Aksa menyebutkan, Bosowa adalah perusahaan semen yang sehat dan terus melakukan ekspor. Dan, kita tetap bayar cicilan. Tahun lalu kita bayar Rp 70 miliar. Padahal, utang itu belum jatuh tempo, katanya.

Lebih dari itu, jangka waktu kredit itu diperpanjang KKSK dari 2010 menjadi 2014. Tiap bulan saya tetap bayar bunga, ucap pengusaha asal Makassar ini. Jadi, saya menganggap tidak ada yang salah dengan kredit Bosowa. Apalagi, sudah diputuskan KKSK yang di dalamnya juga ada unsur kejaksaan agung, tambahnya.

Kredit Bakrie Telecom
Hendarman menjelaskan, Kejagung sejatinya sudah mengetahui rincian 28 debitor dengan berbagai status kolektibilitas yang dicurigai melawan hukum dalam pengajuan kredit ke Bank Mandiri. BPK awalnya menyerahkan 12 debitor bermasalah, tetapi setelah dievaluasi, hanya empat yang resmi ditingkatkan ke tahap penyidikan. Debitor tersebut adalah PT Lativi Media Karya (kredit macet Rp 328,521 miliar), PT Arthabhama Textindo (Rp 33,820 miliar), PT Siak Zamrud Pusaka (Rp 20,195 miliar), dan PT Cipta Graha Nusantara (Rp 171,619 miliar).

Selanjutnya, BPK menyerahkan lagi empat debitor lainnya yang saya lihat mayoritas kerugian negaranya belum nyata-nyata ada, jelasnya. Di antara keempat debitor itu, hanya satu yang ditingkatkan ke tahap penyidikan, yakni PT Kiani Kertas (Rp 1,718 triliun).

Sedangkan dugaan kredit macet Rp 498,618 miliar di PT Bakrie Telecom yang terafiliasi Men Perekonomian Aburizal Bakrie, Hendarman menjelaskan, juga salah satu kasus yang dihentikan sementara. Kita perlu urutkan dulu perusahaan yang punya kredit macet, jelasnya. Dari temuan BPK, kredit yang diajukan perusahaan bergerak di bidang telekomunikasi (Esia) itu memang mempunyai kolektibilitas 1 alias lancar.

Dipertanyakan Anggota DPR
Sementara itu, dalam rapat kerja kemarin, kalangan anggota Komisi III DPR mempertanyakan sikap kejaksaan menghentikan penanganan kasus kredit macet PT Semen Bosowa dan PT Bakrie Telecom. Bahkan, sebagian anggota dewan mencurigai hal itu merupakan intervensi pihak-pihak tertentu.

Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun, misalnya, mengatakan bahwa penanganan kasus kredit macet Bank Mandiri merupakan parameter keseriusan jaksa agung dalam menangani dugaan korupsi yang melibatkan tokoh penting. Kejagung seharusnya tetap menjaga jarak dengan pihak-pihak tertentu yang dicurigai memiliki kepentingan, termasuk pihak terafiliasi.

Kasus Bank Mandiri merupakan parameter keseriusan kejaksaan. Ini karena terkait pejabat negara yang mantan pengusaha dan pedagang yang mantan pejabat negara. Jadi, jangan sampai muncul kesan diskriminasi dalam penanganannya, jelas anggota dewan dari PDIP itu.

Dalam rapat yang digelar pukul 09.00 hingga 16.20 itu, akhirnya disepakati sejumlah poin penting terkait penanganan kasus korupsi di BUMN, termasuk Bank Mandiri. Di antaranya, pertama, jaksa agung perlu membuat batas waktu untuk mengejar para buron terpidana kasus korupsi di luar negeri; kedua, jaksa agung dan Timtastipikor segera menyerahkan nama pelaku yang menjadi tersangka dalam korupsi BUMN dan departemen; dan ketiga, jaksa agung harus menyerahkan progress penanganan berbagai kasus korupsi.(agm/naz/yog/nur/adb)

Sumber: Jawa Pos, 27 Mei 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan