''Bola Liar'' Vonis Aulia Pohan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akhirnya menjatuhkan vonis bersalah terhadap Aulia Tantowi Pohan dan tiga terdakwa kasus korupsi aliran dana Bank Indonesia Rp 100 miliar (17/6). Penjara empat tahun enam bulan dan denda Rp 200 juta yang dijatuhkan hakim bahkan lebih tinggi daripada tuntutan jaksa KPK.
Hukuman ini memang tidak begitu keras bila dibandingkan dengan ancaman maksimal undang-undang yang mencapai 20 tahun. Tetapi, agaknya, ketegasan Pengadilan Tipikor menghukum seseorang meskipun dia kerabat dekat presiden, tetap bernilai penting bagi masyarakat. Setidaknya, satu ujian kecil independensi KPK dan Pengadilan Tipikor terlewati.
Namun, kasus ini baru memasuki tingkatan lanjut sehingga tidak boleh selesai hanya pada vonis Aulia Pohan. KPK dilarang "menutup mata" terhadap sejumlah fakta yang muncul di persidangan. Masyarakat telah mencatat sejumlah indikasi keterlibatan 52 anggota DPR, aliran dana kepada oknum kejaksaan dan pengadilan, serta dugaan keterlibatan salah seorang mantan dewan gubernur lain. Jika KPK tidak menganggap itu penting, kasus ini justru dapat menjadi "nila" yang merusak prestasi dan nama baik KPK dalam pemberantasan korupsi.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa vonis bersalah Aulia Pohan akan menjadi "bola liar" yang bisa mengejar balik KPK, mengacaukan ritme kampanye pemilihan presiden, dan bahkan serangan balik terhadap Pengadilan Tipikor. Karena itulah, KPK harus mengambil peran lebih banyak untuk mengontrol dan meminimalkan serangan balik pascaputusan terhadap Aulia Pohan. Cara paling efektif adalah menuntaskan aktor korupsi dalam skandal bank sentral itu.
Menurut catatan ICW, hingga saat ini baru tiga anggota DPR yang dijerat KPK, padahal fakta persidangan mengungkap 52 nama. Diperkirakan setidaknya Rp 31,5 miliar dari Rp 100 miliar dana BI mengalir ke sejumlah anggota DPR komisi perbankan. Dengan demikian, tidak adil, diskriminatif, dan tebang pilih jika pelaku lain tidak dijerat hanya karena mereka sedang duduk sebagai pejabat eksekutif aktif di kabinet. Seperti diketahui, niat di balik penyaluran dana ke DPR semuanya menjadi fakta. Mulai kehendak "menyelesaikan" korupsi BLBI secara politis atau di luar mekanisme hukum pidana, dan amandemen UU Bank Indonesia.
Memang agak sulit membuktikan anggota DPR dan oknum penegak hukum lain yang menerima aliran dana tersebut. Tetapi, dengan kewenangan KPK yang sangat besar, catatan serah terima uang, keterangan saksi "mahkota" dari anggota DPR yang mengungkap aliran dana ke Senayan, dan fakta persidangan, KPK diyakini mampu mematangkan kasus ini lebih maksimal. Apalagi, sekarang empat pimpinan KPK dinilai relatif tidak punya hambatan "struktural" pasca ketua KPK nonaktif tidak lagi berpengaruh di komisi ini.
Konstruksi Korupsi
Bagian ini penting untuk melihat gambaran lebih besar dari kasus aliran dana BI sekaligus memetakan prioritas penegakan hukum yang dapat dilakukan KPK.
Kasus korupsi Bank Indonesia (BI) sesungguhnya dapat diserderhanakan menjadi dua level. Pertama, tahap kebijakan. Level ini berbicara tentang desain pengusulan, persetujuan, dan kesepakatan pengalokasian dana BI - YPPI Rp 100 miliar. Tujuan penyusunan kebijakan telah terungkap di persidangan. Bahwa hal itu sangat terkait dengan penyelesaian kasus hukum mantan petinggi BI dan amandemen UU BI.
Aktor yang terlibat pada kelompok ini berposisi sebagai pengambil kebijakan tertinggi di bank sentral. Potret tersebut bahkan ditegaskan pada putusan Pengadilan Tipikor untuk kasus mantan gubernur BI, Burhanuddin Abdullah. Hakim saat itu yakin kebijakan alokasi dana BI ke YLPPI sejumlah Rp 100 miliar memang melanggar sejumlah aturan perundang-undangan. Bahkan, salah seorang saksi kunci menyebutkan, dana tersebut memang diniatkan untuk menyuap.
Level kedua berada di tahap operasional. Tepatnya, sisi korupsi dari sudut pandang penerima dana. Berdasarkan fakta persidangan, setidaknya dana tersebut mengalir pada 52 anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004; oknum di Kejaksaan Agung, dan sejumlah advokat. Asal muasal skandal ini tidak terpisahkan dari upaya menyelamatkan sejumlah mantan petinggi BI dari jerat hukum megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Mencermati konstruksi tersebut, mudah dipahami bahwa vonis terhadap Aulia Pohan dan tiga tersangka lain bukan akhir skandal bank sentral ini. Terdapat sejumlah aktor penting yang tidak boleh "dilepaskan" KPK. Ini terutama mereka yang sekarang duduk sebagai penyelenggara negara.
Berangkat dari karakter korupsi yang lekat dengan kekuasaan, pemilihan aktor yang paling dekat dengan kekuasaan merupakan indikator mutlak yang perlu dilakukan KPK. Potensi pelaku melakukan "kesalahan" yang sama dan kembali menyahgunakan kewenangan di jabatan saat ini juga harus dipertimbangkan.
Dari sejumlah aktor yang ada di DPR, kursi kabinet, dan penegak hukum, agaknya KPK dapat mulai dari wilayah pertama. Dua mantan anggota DPR periode 1999-2004 yang saat ini menjadi bagian dari Kabinet Presiden SBY layaknya menjadi prioritas setelah Aulia Pohan divonis bersalah. Jika tidak, tentu kekuasaan yang dipegangnya berpotensi disalahgunakan untuk terus menghambat proses hukum terhadap mereka. Dan, sebagai atasan para menteri, Presiden SBY mempunyai kewajiban memastikan tidak melindungi dua bawahannya tersebut.
Pemilihan strategi ini selayaknya ditegaskan KPK. Langkah hukum untuk mengembangkan perkara dan menetapkan tersangka baru dalam kasus aliran dana BI ini sangat dinanti publik. "Bola liar" pascavonis Aulia Pohan seharusnya dikelola dengan baik oleh empat pimpinan komisi yang tersisa, sehingga tidak berbalik arah. (*)
Febri Diansyah , Peneliti Hukum, Anggota Badan Pekerja ICW, Jakarta.
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 19 Juni 2009