Bojonegoro di Bawah Bayang-bayang ”Prozorro”
Bupati Bojonegoro Suyoto sedang mencoba menerapkan instrumen baru pencegahan korupsi: keterbukaan kontrak! Inisiatif bupati itu dituangkan dalam Peraturan Bupati Nomor 33 Tahun 2016 tentang Keterbukaan Dokumen Kontrak. Melalui peraturan bupati ini, berbagai dokumen kontrak pengadaan barang dan jasa dengan pihak ketiga dibuka ke publik secara daring (online).
Publik menjadi semakin leluasa mengakses berbagai data dan informasi kegiatan pembangunan. Sebutlah seperti jumlah dan jenis kegiatan, anggaran, lokasi, durasi, kinerja, profil perusahaan/konsultan pelaksana kegiatan, termasuk di dalamnya mekanisme monitoring/pengaduan warga terhadap jalannya kegiatan pembangunan.
Bupati Suyoto tampaknya terinspirasi program ”Prozorro” yang dikembangkan Transparansi Internasional Ukraina. ”Prozorro” bermakna ganda. Dalam bahasa Ukraina, artinya transparan. Bisa juga dimaknai, memihak publik, utamanya kelompok miskin.
Kontrak pemerintah dengan pihak lain memang perlu dibuka ke publik karena belanja pemerintah—mulai dari makanan dan minuman (harian, rapat dan tamu) sampai proyek infrastruktur—bernilai triliunan rupiah dituangkan dalam bentuk kontrak. Karena itu, memahami dan mengawasi dokumen kontrak pemerintah dengan pihak lain sangat perlu dan penting.
Inisiatif dan kepeloporan ini perlu diapresiasi karena kebanyakan pejabat pemerintah masih sekretif: memandang dokumen kontrak sebagai rahasia yang perlu dijaga jangan sampai publik tahu. Inisiatif Bupati Bojonegoro ini memperlihatkan betapa krusialnya faktor kepemimpinan dalam mendorong, memfasilitasi terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik. Kita harus terus mereproduksi pemimpin yang inovatif dan progresif.
Apa potensi sumbangan instrumen keterbukaan kontrak ini pada gerakan antikorupsi, perbaikan tata kelola, demokrasi, kewargaan, dan partisipasi publik? Pertama, membuka dokumen kontrak ke publik berarti memecahkan problem asimetri informasi dalam pengelolaan anggaran dan pelayanan publik. Tentu ini akan mengurangi risiko korupsi sebab persistennya korupsi terjadi dalam keadaan asimetri informasi.
Kedua, memperbaiki tata kelola anggaran dan pelayanan publik. Anggaran publik menjadi lebih efisien dan efektif. Kualitas pelayanan publik menjadi lebih baik. Tingkat kepuasan warga menjadi lebih tinggi.
Ketiga, menumbuhkan dan memperkuat kepercayaan antara pemerintah, pebisnis, dan masyarakat. Kepercayaan ini akan menumbuhkan rasa memiliki terhadap pemerintah. Dengan demikian, kebijakan publik pemerintah akan lebih efektif. Lebih jauh lagi kepercayaan ini akan membawa pada kemakmuran bersama.
Keempat, kualitas demokrasi akan makin membaik melalui dua cara: (1) membaiknya aktivisme dan partisipasi warga dalam tata kelola anggaran dan pelayanan publik; dan (2) meningkatknya akses warga/publik pada data dan informasi tentang tata kelola anggaran dan pelayanan publik.
Kelima, memperbaiki iklim bisnis. Berkurangnya praktik kolusi dan nepotisme serta pengadaan barang dan jasa menimbulkan persaingan bisnis yang lebih sehat. Disklosur dokumen kontrak memungkinkan publik menilai ada/tidaknya kolusi dan nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Praktik terbaik tata kelola
Apakah semua itu terjadi di Kabupaten Bojonegoro? Terlalu pagi untuk menilai. Peraturan bupati ini baru setahun diimplementasikan. Kita harus bersabar menunggu—dua atau tiga tahun ke depan—untuk melihat dampak implementasi dari peraturan bupati ini.
Akan tetapi, dari kawasan lain yang sudah lebih dulu mengimplementasiakan inisiatif semacam ini—misalnya Kanada, Ukraina, Paraguay, atau entitas subnegara, seperti Montreal dan Mexico City—dampaknya memang positif. Di Ukraina, misalnya, inisiatif ini sudah terbukti memperbaiki kepercayaan antara pemerintah, masyarakat, dan pebisnis, meningkatkan persaingan usaha, memperbaiki efisiensi dan efektivitas anggaran, serta mengurangi risiko dan prevalensi korupsi.
Mempertimbangkan dampaknya yang serba positif kelihatannya pendekatan/instrumen ini akan menjadi arus utama dalam pencegahan korupsi, perbaikan tata kelola dan demokrasi. Aba-aba ke arah itu sudah ada. Saat ini negara-negara kelompok G-20 ataupun inisiatif Open Governcance Partnership dan Open Data Charter telah menjadikan inisiatif keterbukaan kontrak sebagai nilai dan praktik yang harus dipromosikan di antara anggotanya.
Pemerintah pusat dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya perlu mengadopsi dan mereplikasi penggunaan instrumen antikorupsi yang baru ini. Upaya ini tidak hanya diarahkan kepada pemerintah provinsi atau kota/kabupaten lain, tetapi juga termasuk kementerian dan lembaga negara. Bagus juga kalau besok-lusa kontrak (atau izin usaha pertambangan) pemerintah dengan PT Freeport, Newmont, atau perusahaan tambang lain dibuka ke publik. Demikian juga asyik kalau ke depan kontrak pemerintah dengan Sukhoi, Lockheed Martin, dan perusahaan pemasok alutsista yang lain dipublikasikan.
Langkah ini memungkinkan kita menjadi negara yang menghasilkan praktik terbaik dalam mendisklosur dokumen kontrak. Pasti nanti akan banyak orang menziarahi Nusantara untuk ngalap barokah dan hikmah dari inisiatif ini. Nusantara akan menjadi kawasan/tujuan wisata tata kelola. Ziarah mereka bisa jadi sumber devisa.
Dedi HaryadiManajer Pemasaran dan Pengembangan Produk Transparansi Internasional Indonesia
Tulisan ini disalin dari Kompas, 2 Januari 2018