Boediono Tak Masalah Diteriaki Maling
Wakil Presiden Boediono tidak keberatan meski diteriaki maling oleh aktivis Komite Aksi Pemuda Antikorupsi Ahmad Laode Kamaluddin saat memberikan keterangan sebagai saksi dalam sidang Panitia Khusus Angket Kasus Bank Century DPR. Boediono bahkan mengaku tidak terpengaruh dengan tudingan tersebut.
"Sejauh ini beliau tidak terpengaruh. Apalagi, pansus sudah meminta maaf atas kejadian itu," ujar Juru Bicara Wakil Presiden Yopie Hidayat dalam keterangan di Istana Wakil Presiden, Jakarta, kemarin (13/1).
Boediono juga tidak akan menindaklanjuti kasus tersebut dengan laporan polisi. Sebab, peristiwa itu terjadi di gedung DPR. Namun, bila Setjen DPR berniat menindaklanjuti dengan melaporkan Kamal kepada polisi, Boediono tidak bisa melarang. "Kejadian itu di rumah DPR. Jadi, kalau DPR merasa perlu melakukan tindakan, ya silakan," tuturnya.
Alumnus FISIP Universitas Airlangga itu menuturkan, Boediono tidak tertekan meski dicecar hampir lima jam oleh anggota pansus. Dia juga tidak mempermasalahkan meski anggota pansus menganggap Boediono sebagai terdakwa dengan menggunakan pertanyaan interogatif bernada tinggi. Ini karena sejak awal Boediono berkomitmen memberikan keterangan pada pansus tentang masalah bailout untuk Bank Century.
"Pak Boediono mengatakan pada saya, beliau biasa-biasa saja, tidak tertekan," katanya. "It's okay, pertanyaan (anggota pansus) memang cukup agresif. Tapi, kan Bapak (Boediono) menjawab dengan santun dan baik," papar alumnus Lee Kwan Yew School of Public Policy ini.
Boediono juga menilai telah memberikan penjelasan secara jujur, detail, dan faktual atas seluruh pertanyaan yang diajukan. Meski demikian, dia tidak berharap pansus akan puas dengan jawaban yang diberikannya. "Kalau pansus ingin mendapatkan sesuatu dari Bapak, namun jawaban yang diperoleh berbeda, tentu saja mereka bisa tidak puas," katanya.
Dukung Gus Dur
Siapa La Ode Kamaludin? Sejak menjadi mahasiswa, dunia aktivis sudah melekat pada pemuda yang dilahirkan di Jakarta, 31 Maret 1978, tersebut. Setelah diperiksa di Polda Metro Jaya Selasa lalu, Kamal menceritakan, dirinya mengenal dunia gerakan sejak duduk sebagai mahasiswa ilmu politik di Universitas Jakarta angkatan 1998.
''Saya ini kader NU yang dibesarkan di PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia),'' katanya di Jakarta kemarin (13/1).
Tak mau hanya bergelut di PMII, Kamal yang masih terhitung mahasiswa baru tersebut memberanikan diri bergabung dengan Front Aksi Mahasiswa untuk Demokrasi (Famred). Bersama organisasi itu, dia aktif dalam arus gerakan reformasi 1998 yang tengah mencapai puncak.
''Jadi, sejarah saya berkecimpung dengan dunia gerakan sudah lama,'' tutur pria berdarah Sulawesi dari pasangan La Ode Husla dan Wasamudiah itu. Di keluarganya, Kamal merupakan putra bungsu di antara enam bersaudara.
Bukan hanya itu, dia juga sempat bergabung dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Riau untuk Tanah Ulayat. Saat Abdurrahman Wahid hendak dilengserkan dari kursi kepresidenan pada 2001, Kamal ikut membentuk Front Penegak Demokrasi (FPD). ''Waktu itu saya dan teman-teman yang lain ingin mempertahankan Gus Dur,'' tegasnya.
Langkah Kamal tidak berhenti sampai di situ. Pada 2008, dia mulai menggarap ruang politik praktis dengan membentuk Jaringan Pemuda Penggerak (Jamper). Dalam perjalanannya, Jamper ikut terlibat aktif dalam dukung-mendukung di pilkada DKI Jakarta. ''Kami mendukung Fauzi Bowo,'' ujarnya.
Setelah Jamper menjadi organisasi yang cukup diperhitungkan di Jakarta, Kamal memutuskan keluar. Selanjutnya, dia fokus pada isu antikorupsi. ''Selain kepekaan terhadap bahaya laten komunis yang harus dipertahankan, ada yang lebih bahaya, yaitu bahaya laten korupsi,'' tegasnya.
''Saat Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember lalu, kami mendeklarasikan diri perang terhadap Boediono dan Sri Mulyani. Nggak main-main karena menyangkut Rp 6,7 triliun yang menjadi hak untuk kesejahteraan rakyat,'' ungkap suami Zainurriah Arifin itu. (noe/pri/iro)
Sumber: Jawa Pos, 14 Januari 2010