BNI Tempuh Jalur Diplomatik Sita Aset Pembobol di Luar Negeri [16/06/04]

PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BNI) akan melakukan tuntutan hukum (legal action) secara perdata berkaitan dengan penyelesaian kasus pembobolan perusahaan senilai Rp 1,7 triliun lewat letter of credit (L/C) fiktif. Dalam tuntutan itu, bank berlogo kapal layar itu akan meminta pengadilan menyita aset-aset para pembobol, termasuk meminta aparat hukum menempuh jalur diplomatik untuk mengejar aset-aset pelaku di luar negeri.

Penasihat Hukum BNI Pradjoto, penyelesaian kasus BNI secara perdata itu akan berjalan seiring dengan langkah kepolisian (Polri) yang melakukan proses pidana terhadap kasus tersebut. Latar belakang penasihat hukum untuk melakukan gugatan perdata itu, tuturnya, karena sudah enam bulan penyelesaian kasus BNI secara pidana belum menampakan hasil yang menggembirakan. Nanti perdata saling melengkapi dengan penyelesaian secara pidana, ujarnya di Jakarta kemarin.

Kasus mencuat setelah BNI kecolongan dana Rp 1,7 triliun lewat pengurucan pembiayaan ekspor kepada sejumlah pengusaha dari Group Gramarindo melalui fasilitas diskonto L/C dari bank di Kenya, Swiss, dan Cook Islands. Berbekal L/C ini para pengusaha itu mendatangi Kantor Cabang Utama BNI Kebayoran Baru dan mengajukan kredit untuk kegiatan ekspor pasir kuarsa dan minyak residu ke Kongo dan Kenya.

Tanpa pengecekan dan konfirmasi lebih jauh, BNI Kebayoran Baru mengucurkan serangkaian kredit berturut-turut sejak Desember 2002 hingga Juli 2003. Celakanya lagi, belakangan diketahui ekspor pasir dan minyak itu tak pernah terjadi. Akibatnya, bank-bank penjamin enggan membayarkan dana talangan yang telah dikucurkan BNI.

Kepolisian sendiri telah menangkap Edy Santoso, mantan Kepala Costumer Service Luar Negeri BNI Cabang Kebayoran Baru, dan Kusadiyuwono, Kepala Cabang BNI Kebayoran Baru. Saat ini, pengadilan sedang menyidangkan perkaranya .

Di luar dua orang dalam BNI, Kepolisian telah menetapkan tersangka lainnya seperti Adrian Herling Waworuntu (Gramarindo Grup), Andrian Pandelaki Lumowa (PT Magnetic Indonesia), Jefry Baso (Direktur PT Triranu Caraka Pasifik), Aprilia Widharta (PT Pankipros), Judi Baso (PT Baso Masindo), Olah Abdul Agam (PT Gramarindo Mega Indonesia), Richard Kountoul (PT Metrantara), Titik Pristiwanti (PT Bhinekatama Pasifik). Sementara itu, tersangka utama yaitu Maria Pauline Lumowa berhasil kabur ke Singapura.

Pradjoto mengatakan, penyelesaian kasus BNI sesungguhnya bisa dikatakan terlambat, karena para pelaku utama pembobol telah mentransformasikan dana hasil pembobolan ke dalam bentuk aset, saham atau dana lain yang sudah melintasi batas negara. Dengan kondisi itu, kata dia, sangat sulit untuk menyelesaikan kasus BNI hanya dengan menjerat pelaku secara pidana. Kepolisian akan kesulitan menanganinya, karena itu sudah diluar yurisdiksi hukum Indonesia.

Menurut Pradjoto, kendati peluangnya tipis, penasihat hukum dan BNI akan tetap berusaha keras menyelamatkan uang negara dengan cara menggugat secara perdata tadi. Seiring dengan gugatan perdata itu, tuturnya, BNI akan meminta pengadilan dan aparat hukum menyita aset-aset para pembobol dengan melakukan penyelesaian lewat jalur diplomatik dan meminta bantuan interpol. Mungkin dalam tiga minggu ini legal action akan dilakukan, kata dia.

Pradjoto mengatakan, penyelesaian lewat jalur diplomatik dan mekanisme interpol sebelumnya pernah dilakukan dalam kasus penyalahgunaan Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) oleh PT Bank Harapan Santosa (BHS). Saat itu, pemilik bank itu Hendra Rahardja melarikan diri ke Australia. Namun, pemerintah Australia akhirnya melakukan sita terhadap seluruh aset Hendra Rahardja dan dibayarkan ke pemerintah Indonesia. Kalau untuk kasus BNI kenapa langkah seperti ini nggak bisa? Saya minta pengadilan untuk bertindak keras dan tegas agar perbankan dijauhkan dari kriminalitas, kata dia.

Atas dasar itu, dia mengharapkan aparat bukan hanya bergerak menjaring orang-orang BNI saja, tetapi juga orang dari luar yang nyata-nyata telah menjebol BNI. Bukan hanya digiring ke pengadilan dalam konteks mengadili kejahatan, tapi juga merampas semua barang-barang, uang-uang, yang diduga dari kejahatan, kata dia.

Sebelumnya, Direktur Utama BNI Sigit Pramono dalam dengar pendapat dengan komisi perbankan dan keuangan Dewan Perwakilan Rakyat belum lama ini menyebutkan, BNI masih belum berhasil mendapatkan penerimaan dari aset-aset yang masih dikuasai para pelaku pembobolan BNI senilai Rp 1,7 triliun, kendati sudah berusaha keras. Sampai saat ini, recovery rate (rata-rata penerimaan) masih nihil, kata Sigit kala itu

Penyebabnya antara lain, kata dia, karena BNI masih belum bisa melakukan pengikatan atas aset-aset yang diserahkan para pelaku. Penandatanganan di depan notaris juga belum bisa dilakukan karena pelaku menghambat dengan alasan mengganti penasihat hukum.

Dari 12 aset yang diserahkan pelaku, hanya enam aset yang bisa diikat. Nilainya menurut versi BNI hanya Rp 74,6 miliar. Sedangkan para pelaku mengklaim Rp 182 miliar. Total nilai 12 aset yang diserahkan pelaku diklaim mencapai Rp 827 miliar. Karena masih belum mendapatkan penerimaan dari aset-aset tersebut, manajemen BNI sudah menyurati pihak kepolisian dan kejaksaan tinggi agar dilakukan proses hukum terhadap aset-aset tersebut.

Sementara itu Juru Bicara Mabes Polri Inspektur Jendral Paiman mengatakan, tidak ada masalah bila BNI menempuh langkah perdata untuk menyelesaikan kasus BNI. Bisa diterima atau ditolak gugatan perdata itu tergantung pengadilan bukan kepolisian, kata dia. Menurut Paiman, kepolisian juga tetap akan melanjutkan penyelesaian kasus pidana pembobolan BNI. Kami bertekad menuntaskannya. padjar/indra/yandi mr-tnr

Sumber: Koran Tempo, 16 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan