BLBI dan "Kampung Maling"

Istilah ”kampung maling” hidup kembali pascapeluncuran buku karya mantan Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh.

Buku Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz: Memoar 930 Hari di Puncak Gunung Bundar merupakan pertanggungjawaban atas kinerjanya kepada masyarakat. Buku itu relevan disandingkan dengan pemberantasan korupsi di Kejaksaan Agung, khususnya penanganan BLBI.

Kasus Urip Tri Gunawan (UTG) dan Artalyta Suryani (AS) adalah bukti adanya persoalan menahun di lembaga ini. Idiom ”kampung maling” menjadi kian kuat saat fakta-fakta baru terungkap di persidangan. Penghentian dan penanganan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berlarut-larut patut dicurigai sebagai bagian konspirasi internal Kejaksaan Agung.

Fakta persidangan masih menempatkan dugaan suap 6.600 dollar AS yang melibatkan AS dan UTG. Namun, lebih dari itu realitas ini mempunyai kemiripan dengan sejumlah penghentian kasus BLBI yang ditangani kejaksaan. Modus utama di balik suap adalah untuk mengalihkan pertanggungjawaban pidana menjadi perdata.

Dengan kata lain, ”yang dibeli” adalah kewenangan kejaksaan untuk menentukan apakah ada unsur pidana dalam perbuatan yang merugikan keuangan negara atau tidak.

Merujuk data Rapat Dengar Pendapat (RDP) Bank Indonesia dengan DPR, sekitar 86,67 persen penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) yang ditangani kejaksaan dialihkan pada pertanggungjawaban perdata dengan penanganan berlarut-larut. Dari 15 PKPS yang ditangani kejaksaan, tujuh di antaranya dihentikan pada proses penyidikan; lima dalam proses penyelidikan berlarut-larut dan satu dikembalikan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Hanya dua obligor yang divonis, itu pun tidak lebih dari satu tahun. Jauh lebih buruk dibandingkan PKPS yang ditangani kepolisian.

Modus ini berkembang menjadi tren dalam penanganan BLBI dan korupsi lainnya. Bahkan, hingga kini, sikap Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan perkara Sjamsul Nursalim di jalur perdata patut dipertanyakan. Bukankah ini bagian skenario, modus, dan konspiratif untuk ”membersihkan” obligor BLBI?

Hubungan perdata yang diatur dalam master settlement and acquisition agreement (MSAA), master refinancing agreement and note issuance agreement (MRNIA) dan Akta Pengakuan Utang (APU) masih digunakan sebagai dasar melegitimasi argumen bahwa masalah BLBI ada pada hukum perdata. Pandangan ini menyesatkan. Berdasarkan audit BPK No 34G/XII/11/2006, tingkat pengembalian lima obligor yang telah mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL) hanya 30,19 persen. Khusus Sjamsul Nursalim tingkat pengembalian bahkan 17,36 persen, dan baru mengembalikan Rp. 4,93 triliun dari utang Rp. 28,41 triliun. Catatan ini amat bertolak belakang dengan argumentasi kejaksaan yang mendasarkan pendapatnya pada SKL.

Atas dasar itulah, dapat dikatakan sikap kejaksaan untuk tetap menyelesaikan kasus Sjamsul Nursalim dan BLBI lainnya di jalur perdata merupakan bukti tidak berubahnya kejaksaan. Tidakkah pilihan hukum perdata ini akan melegalisasi indikasi koruptif dalam menangani BLBI? Agak sulit untuk memercayai kejaksaan menangani BLBI.

Tunggu apalagi KPK?

Lebih dari masalah teknis hukum kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut BLBI, agaknya poin yang lebih dibutuhkan ada pada komitmen KPK dan dukungan politik dari eksekutif dan legislatif. Dalam kondisi rendahnya legitimasi kejaksaan, indikasi terlibatnya beberapa pejabat struktural di Kejaksaan Agung dan fakta persidangan yang menyeret nama-nama penegak hukum, hampir tidak ada harapan untuk menyelesaikan kemelut skandal BLBI. Kecuali satu hal, KPK punya komitmen kuat menuntaskan skandal itu.

Publik tentu tidak ingin BLBI diselesaikan di ”kampung maling”. Jika hanya KPK yang dipercaya punya integritas, konsistensi dan kualitas SDM untuk menyelesaikan kemelut ratusan triliun ini, tidak ada pilihan lain.

Sejauh ini alasan penolakan masih berkisar pada perdebatan apakah kewenangan KPK mengambil alih BLBI bersifat retroaktif atau tidak. Namun, poin ini telah dijawab sejumlah ahli hukum pidana. KPK jelas berwenang menangani BLBI. Masyarakat akan mendukung penuntasan skandal ini pada kampung yang lebih bersih. Kalaupun masih ada perbedaan di kalangan ahli hukum, pertanyaannya, apakah KPK akan memilih analisis yang mendukung pemberantasan korupsi atau sebaliknya?

Selain itu, kekhawatiran KPK dengan alasan hanya tersedia alat bukti surat ”fotokopi” yang akan melemahkan pembuktian juga dinilai tidak beralasan. Pasal 26A huruf (b) UU No 31/1999 jo 20/ 2001 dan teori pembuktian circumstance evidence telah dianut dalam sistem hukum Indonesia. Artinya, setiap dokumen dan rekaman elektronis sepanjang dapat dibaca dan mempunyai makna, dapat digunakan sebagai alat bukti. KPK mau tunggu apalagi?

Febri Diansyah Peneliti Hukum, Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari kompas, 21 Juli 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan