BLBI= (B)ingung (L)alu (B)ergegas ke (I)stana
Menarik mencermati skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang mencuat kembali. Terlebih sejak kepulangan David Nusa Widjaja, salah satu buronan skandal ini. Masalah yang sudah tenggelam menemukan momentumnya.
Bahkan, berkat kepulangan David, skandal ini menyeret mantan petinggi BPPN menjadi tersangka, khususnya masalah program penjualan aset strategis.
Perkembangan kian menarik saat tiga pengutang BLBI datang ke Istana, diantar dua petinggi Kepolisian Negara RI. Kendati tak langsung bertemu Presiden, kedatangannya ke Istana menyirat pesan tersembunyi. Apakah hukum dan keadilan selama ini belum mampu mengatasi masalah yang mereka hadapi sehingga mereka harus ke Istana? BLBI lalu dipelesetkan (B)ingung (L)alu (B)ergegas ke (I)stana.
Masyarakat bingung. Orang punya utang malah ke Istana, bukan ke Perusahaan Pengelola Aset sebagai pengganti BPPN atau ke Depkeu sebagai pihak yang mengurusi piutang negara. Atau jika urusan hukum belum beres, ya ke Kejaksaan Agung. Apakah para pengutang BLBI sudah mentok dan dijadikan bulan-bulanan aparat penegak hukum sehingga mereka mencari upaya penyelesaian hukum beraroma politis? Itulah sederet pertanyaan yang mengemuka.
Beberapa argumen
Ada beberapa alasan mengapa para pengutang ke Istana.
Pertama, menurut Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, kedatangan mereka untuk meminta kepastian penegakan hukum. Selama ini mereka dijadikan ajang pemerasan dan bola pingpong. Siang digiring ke gedung bundar, malam hari diajak negosiasi di tempat lain. Lama waktu penyelesaian menyuburkan praktik pemerasan dengan dalih membantu solusi soal BLBI.
Tak adanya kepastian hukum dan berubah-ubahnya penafsiran produk hukum setiap kali rezim berganti patut disesalkan. Selama ini, para penerima BLBI sudah diikat berbagai bentuk skema perjanjian pengembalian BLBI, seperti MSAA, MRNIA/MAA, Akta Pangakuan Utang (melalui skema penyelesaian kewajiban pemegang saham) atau skema lain. Sayang, bentuk skema penyelesaian BLBI yang sudah disepakati sering tak dihormati.
Kedua, kedatangan mereka ke Istana bisa ditafsirkan sebagai bentuk krisis kepercayaan terhadap departemen teknis (lembaga negara) yang bertugas menyelesaikan persoalan ini. Solusi atas persoalan ini sebenarnya mudah. Depkeu sudah membuka rekening khusus untuk menampung penyelesaian utang-utang yang akan dibayar para pengutang BLBI. Mereka tinggal mentransfer kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi hingga batas waktu yang ditentukan.
Ketiga, kedatangan mereka ke Istana menggambarkan keputusasaan debitor BLBI. Berbagai bentuk penyelesaian tampaknya menemui jalan buntu. Maka, mereka menghendaki penyelesaian secara politis melalui presiden, orang nomor satu di Indonesia. Dengan langkah ini, mereka akan mengantongi solusi jitu sehingga penyelesaian yang komprehensif bisa selesai secepatnya.
Preseden buruk
Fenomena kecolongannya Istana kemasukan orang-orang yang tidak berhak bisa-bisa menjadi preseden buruk. Bukan tidak mungkin orang-orang yang memiliki masalah hukum kelas kakap dan punya lobi kelas atas akan minta diantar dan dikawal masuk ke Istana, meminta perlindungan atau kepastian hukum. Jika fenomena ini terjadi, berarti kita mundur dalam berdemokrasi. Semua pihak akan melakukan BLBI, artinya (B)ingung (L)alu (B)ergegas ke (I)stana.
Dalam manajemen (pemerintah) dikenal adanya bentuk pendelegasian wewenang/tugas. Persoalan BLBI tak harus diselesaikan oleh orang nomor satu. Departemen teknis atau PPA sebenarnya bisa menyelesaikan persoalan ini dengan tuntas. Sementara itu, urusan pidananya biar diurus aparat penegak hukum. Yang penting, konsistensi, penegakan hukum, dan keadilan tanpa mengenal kompromi.
Kita layak menghormati skema penyelesaian BLBI yang disepakati bersama. Memang, tingkat recovery rate BLBI cukup rendah (di bawah 50 persen), tetapi itulah harga yang harus dibayar dari krisis perbankan 1997/1998.
Dan BPPN merupakan lembaga yang berhak menjual aset dengan recovery rate di bawah harga pasar. Janganlah masalah yang sudah ada skema penyelesaiannya kembali mentah, gara-gara ada loophole dan peluang jual beli keadilan. Jika itu terjadi, kita berjalan di tempat dan tidak akan pernah maju.
Susidarto Praktisi Manajemen Perbankan, Tinggal di Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 16 Februari 2006