BK Harus Usut Dugaan Gratifikasi Anggota Komisi VIII DPR

Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia merupakan salah satu usaha layanan konsumen yang sangat besar. Dengan jumlah jamaah lebih dari 200.000 orang (berdasarkan kuota 1/1000 penduduk muslim suatu negara) omset "bisnis" haji bisa mencapai Rp. 7 triliun setiap tahun. Belum ditambah dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Penyelenggaraan ibadah haji dianggap sebagai tugas nasional dan merupakan hak monopoli departemen agama. Alasan pemerintah, karena menyangkut ratusan ribu jamaah, melibatkan berbagai instansi di dalam maupun luar negeri. Selain itu, ibadah haji dilaksanakan di negara lain dengan waktu terbatas dan menyangkut nama baik dan martabat bangsa Indonesia di luar negeri.  

Masalahnya, model pengelolaan yang monopolistik diikuti dengan ketertutupan dalam perencanaan maupun penggunaan anggaran. Karena itu, penyelenggaraan haji kerap diwarnai oleh praktek korupsi. Misalnya, dalam rentang tahun 2002 hingga 2005, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menemukan banyak penyimpangan yang berakibat negara dirugikan paling tidak senilai Rp. 700 milyar. Faktanya dugaan korupsi dalam penyelenggaraan haji tidak saja dinikmati oleh oknum pejabat di Departemen Agama, namun Anggota Komisi VIII yang seharusnya melakukan pengawasan juga menikmati hal serupa.

Indonesia Corruption Watch menemukan dugaan korupsi dalam Penyelenggaraan Haji 2005-2006, beberapa data yang kami miliki terkait dengan dugaan gratifikasi yang mengalir ke sejumlah anggota komisi VIII DPR yang terdiri dari :

  1. 1. Dana transport dan insentif Panitia Kerja Komisi VIII DPR dan Departemen Agama dalam pembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 2005 senilai senilai Rp. Rp. 495.424.000.
  2. 2. Perjalanan Dinas 2 (dua) Anggota Komisi VIII DPR dalam meninjau persiapan pelaksanaan Haji 2006 di Saudi Arabia  masing-masing senilai USD 2.845.

Terkait dengan perjalan dinas anggota dewan, beberapa pimpinan Komisi VIII DPR menyatakan bahwa dalam setiap kunjungan ke manapun selalu dibiayai oleh anggaran DPR yang bersumber dari APBN. Karena itu, tidak diperlukan lagi meminta bantuan dari mitra kerja. Namun faktanya kami menemukan bukti sebaliknya, anggota DPR dari Komisi VIII ternyata menerima dana-dana yang semestinya tidak dapat diterima. .

Berdasarkan uraian diatas maka kami meminta Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat untuk dugaan gratifikasi kepada anggota Komisi VIII DPR RI.

Jakarta, 19 Desember 2008

Indonesia Corruption Watch

Abdullah Dahlan (Hp 0815 7878 9213)
Ade Irawan (Hp 0852 187 42461)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan