Bisnis TNI Sekarat
Dulu besar karena kekuasaan, kebijakan, dan monopoli, kata Sjafrie.
Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin mengakui semua bisnis TNI sudah sekarat dan tidak bisa diharapkan lagi untuk memberikan santunan kepada prajurit. Dulu besar karena kekuasaan, kebijakan, dan monopoli, kata dia sebelum mengikuti rapat di kantor wakil presiden kemarin.
Karena itulah, dia menuturkan, bisnis TNI tidak memiliki daya saing dan kolaps ketika dihadapkan dengan kondisi persaingan bisnis yang sebenarnya. Bukan sulit lagi, melainkan sudah tidak mungkin berkembang. Padahal dulu tidak perlu daya saing, Sjafrie menegaskan.
Menurut dia, bisnis TNI saat ini banyak yang sudah merugi atau tidak bisa membayar gaji karyawan. Ia menengarai, saat ini, jumlah bisnis TNI yang besar hanya tinggal sepuluh, antara lain bisnis di bidang hak pengusahaan hutan, jasa angkutan barang, dan jasa perdagangan umum. Nilai buku seluruh bisnis itu seperti yang sudah dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat adalah Rp 1 triliun.
Nilai nominal hak pengusahaan hutan, kata Sjafrie, kini tinggal 10 persen atau 500 hektare. Ia mencontohkan, ada HPH seluas 750 ribu hektare yang dikelola TNI sejak 1970, tapi begitu diadakan evaluasi pada 1998, ternyata hasilnya sangat minim dan tidak mungkin dipakai untuk membantu prajurit. Karena itu, oleh pemerintah, ditarik semua HPH itu.
Akibatnya, santunan kepada prajurit hanya diberikan saat Lebaran dan Natal atau jika ada prajurit yang bertugas di wilayah operasi yang mengalami cacat tubuh. Karena apa? Santunan yang diberikan negara belum masuk. Santunan itu tidak ada. Jadi upaya dari kami sendiri.
Pada bagian lain, ia menegaskan, audit terhadap semua unit bisnis TNI baru bisa dilakukan jika Peraturan Presiden tentang Badan Pengelola Transformasi Bisnis TNI telah dikeluarkan. Ia memastikan audit tidak dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan karena tidak semua unit bisnis TNI menggunakan dana negara.
Soal kemungkinan pengelolaannya diserahkan ke Perusahaan Pengelola Aset, dia menyatakan hal itu masih dimatangkan pembahasannya oleh Sekretaris Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara sebagai ketua tim supervisi bisnis TNI dan PPA. Kalau PPA memenuhi ketentuan untuk bisa menempelkan badan ini, kata dia, badan pengelola transformasi akan berada di bawah arahan Menteri Keuangan, Menteri Negara BUMN, Menteri Pertahanan, dan Panglima TNI. Jika tidak, harus ada badan sendiri.
Ia menekankan, secara politik, Undang-Undang TNI sudah dilaksanakan sesuai dengan amanat konstitusi karena sudah ada tindakan atas nama pemerintah yang mengambil alih aktivitas bisnis TNI. Keuntungan pengambilalihan oleh pemerintah itu sudah ada di Departemen Keuangan, Departemen Hukum dan HAM, Menteri Negara BUMN, Departemen Pertahanan, dan Panglima TNI. BADRIAH
Sumber: Koran Tempo, 28 Juli 2006