Bisnis TNI Bakal Jadi Satu Holding Company

Gurita bisnis milik militer yang tumbuh subur di era Orde Baru akan digabung dalam satu payung holding company. Bisnis yang dikelola berbagai badan usaha yayasan dan koperasi itu kini menjangkau semua lini usaha. Mulai bisnis ritel, transportasi, hingga distribusi bahan pokok.

Penertiban usaha aparat berbaju doreng itu ditetapkan melalui keputusan presiden (keppres). Hal ini diungkapkan oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono. Saya sudah bicara dengan Menkeu (Jusuf Anwar), Menteri BUMN (Sugiharto), dan Menkumham (Hamid Awaludin) untuk mendata kembali masalah, baik kredit ekspor maupun pengadaan, termasuk penggunaan uang negara berkaitannya dengan dana yang berasal dengan apa yang disebut bisnis militer, ungkap Menhan sebelum berangkat ke Amerika Serikat, Kamis lalu.

Dijelaskan, penataan kembali para bisnis militer tersebut bertujuan agar usaha itu dikelola secara transparan dan akuntabel. Dan yang penting, keuntungannya untuk kesejahteraan prajurit pangkat rendah, tambahnya.

Untuk diketahui, saat ini ada banyak sekali bisnis militer, baik di TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU. Namun, pengelolaannya masih terpisah-pisah oleh setiap angkatan. Bentuknya juga bermacam-macam. Misalnya, yayasan dan koperasi. Munculnya banyak bisnis militer itu terkait dengan minimnya anggaran pertahanan yang diberikan pemerintah kepada TNI.

Dalam pertemuan Menhan dengan tiga departemen lain, disepakati pemerintah memulai pendataan terhadap bisnis militer yang ada seluruh angkatan. Tujuannya, mengetahui karakteristik, profil, dan sifat perusahaan milik militer tersebut. Kemudian, akan diteliti struktur modalnya, keuntungannya, dan sebagainya, jelasnya.

Pendataan bisnis militer ini memerlukan surat dari saya kepada panglima TNI dan tiga kepala staf supaya di masing-masing angkatan, yang disebut bisnis militer itu, baik usaha koperasi maupun jasa itu, didata dulu. Misalnya, soal profil anatominya. Sekarang kita belum tahu karena perusahaan-perusahaan itu bukan di bawah dephan, kata Menhan.

Kapan pendataan selesai? Diperkirakan enam bulan selesai. Targetnya, Oktober selesai didata, papar mantan dosen Hubungan Internasional FISIP UI ini. Ditanya soal bentuk usaha yang akan mengelola bisnis tersebut, Menhan menyebutkan banyak alternatifnya. Dia hanya menyebut alternatif utamanya berbentuk holding company. Bisnis itu nanti berada di bawah satu holding company. Soal bisnis ini akan dikelola di bawah departemen apa, Menhan belum bisa menyebutkannya. Alasannya, sekarang hal itu masih dibahas pemerintah.

Yang jelas, bisnis-bisnis militer itu akan dikelola oleh orang-orang profesional. Karena itu, Menhan mengaku melibatkan Men BUMN Sugiharto dalam proses penataan bisnis militer tersebut. Kemudian, dari segi hukum, juga dilibatkan Menkumham Hamid Awaludin. Selain itu, dari segi perbendaharaan negara karena TNI adalah alat negara, dilibatkanlah Depkeu.

Targetnya kapan? Menhan tak menyebutkan. Yang jelas, TNI dan Dephan sejak akhir tahun lalu membentuk pokja yang bertugas membenahi mekanisme pengadaan peralatan militer serta bisnis yayasan di bawah militer yang semrawut. Karena pembenahan bisnis militer satu paket dengan proses penempatan TNI dalam Dephan, setidaknya semuanya tuntas dalam tempo dua atau tiga tahun. Target itu lebih cepat daripada yang disebutkan panglima TNI, yakni lima tahun.

Pada tahap awal, pemerintah akan menertibkan bisnis-bisnis milter yang bernilai lebih dari Rp 5 miliar. Kalau yang kecil-kecil seperti peternakan kambing dan perkebunan cabai, ya dibiarkan saja. Itu toh benar-benar untuk memenuhi kebutuhan hidup prajurit, jelas Juwono.

Dia pernah mengeluhkan banyaknya rencana pengadaan logistik yang slonongan dari pejabat eselon I dan eselon II di tubuh Dephan. Sehingga, panglima TNI dan Menhan tidak tahu jelas jumlah rekanan, nilai transaksi, serta pelakunya.

Dia pun pernah melansir bahwa dana resmi APBN hanya 30 persen per tahun dari total kebutuhan mereka. Sebanyak 70 persen anggaran lainnya dipasok dari dana nonbujeter perusahaan-perusahaan militer. Sehingga, timbul toleransi untuk melegalkan bisnis TNI. Padahal, bisnis militer ibarat gurita. Contohnya, Yayasan Kartika Eka Paksi, Yayasan Dharma Putra Kostrad (TNI-AD), Yayasan Adi Upaya (TNI-AU), Yayasan Bhumyamca (TNI-AL), Yayasan Kesejahteraan Baret Merah, Yayasan Markas Besar Angkatan Bersenjata RI, serta Yayasan Kejuangan Panglima Besar.

Sederet yayasan itu memayungi ratusan perusahaan dan anak perusahaan. Bergerak dari sektor hilir hingga hulu. Yakni, mulai urusan beras sampai pesawat. Di sejumlah daerah, kodam bahkan diizinkan mendirikan perusahaan seperti Propelat di Bandung (1970). Sektor usahanya adalah kontraktor utama pembangunan fasilitas Pertamina. Menariknya, aset berbagai yayasan militer tersebut tidak tembus oleh audit publik, termasuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kalaupun BPK mengaudit anggaran Dephan dan TNI, hal itu tidak menyentuh anggaran sampingan militer atau nonbujeter.

Audit Lebih Dulu
Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengungkapkan, bisnis militer menjadi andalan TNI untuk mendukung kesejahteraan prajurit yang selama ini belum seluruhnya terpenuhi oleh APBN. Namun, dia mendukung penuh penataan bisnis militer. Menurut panglima, berbisnis sebenarnya adalah hal tabu bagi TNI sebagai militer profesional.

Pada dasarnya, tentara itu kan dididik dan dilatih untuk berperang. Mengamankan negara. Jadi, kami tidak dilatih untuk berbisnis. Bisnis bukan kerjaan militer, tegasnya.

Sikap panglima itu bukan tanpa syarat. Menurut Endriartono, pemerintah dan DPR mau tidak mau harus meningkatkan anggaran TNI dalam APBN selanjutnya. Dari kebutuhan ideal per tahun Rp 44 triliun-Rp 46 triliun, saat ini alokasi anggaran pertahanan untuk semua angkatan hanya Rp 12 triliun-Rp 16 triliun. Padahal, kata panglima, dalam UU TNI jelas disebutkan bahwa dukungan anggaran TNI dibiayai seluruhnya dari APBN.

Pengamat militer LIPI Ikrar Nusa Bakti menilai, dukungan penuh TNI terhadap rencana pembenahan bisnis militer lebih disebabkan banyaknya perusahaan yang tidak mendatangkan untung lagi. Bahkan, beberapa di antaranya ditengarai tidak berkondisi fit. Dengan kondisi seperti itu, tampaknya, TNI lebih memilih perusahaan mereka diambil alih pemerintah. Dia mengingatkan, sebelum berbagai yayasan dan perusahaan TNI diserahkan kepada negara, seharusnya dilakukan audit menyeluruh lebih dulu.

Saran tersebut dia sampaikan mengingat selama ini tidak pernah jelas persentase sebenarnya keuntungan bisnis militer yang dialokasikan untuk kesejahteraan prajurit serta persentase yang masuk ke kantong pejabat atau pimpinannya. Yang jelas, banyak petinggi militer yang hidup makmur, sedangkan prajurit rendahan banyak yang mencari sampingan menjadi centeng pengusaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam sebuah laporan, sejumlah bisnis militer sebenarnya pernah diaudit akuntan publik Ernst & Young serta Pricewaterhouse Cooper dan telah diserahkan kepada DPR serta pemerintah. (ssk/arm)

Sumber: Jawa Pos, 12 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan