Bisnis, Politik dan Kartel Korupsi
Kesimpulan hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) membenarkan sinyalemen banyak kalangan bahwa relasi antara kepentingan politik dan bisnis menjadi bangunan utama penyokong terjadinya korupsi di daerah. Hasil riset “Pemetaan Kepentingan Bisnis Politik di Daerah” oleh ICW di empat daerah menunjukkan pola yang sama, relasi penguasa dengan kelompok bisnis menjadi fondasi kuat terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (Kompas, 30/3/2011). Terjadi pola simbiosis mutualisme antara elite politik penguasa dan kekuatan ekonomi di daerah dengan menguasai infrastruktu pemerintahan sehingga menyokong pelanggengan praktik korupsi di daerah.
Tidak ada makan siang gratis. Demikian pula tidak ada donasi dari kelompok bisnis kepada politisi atau penguasa utamanya dalam penggalangan modal pilkada yang gratis. Di sana terjadi saling menopang kepentingan antara elite politik dan ekonomi untuk menguasai sumberdaya di daerah. Pola tersebut terjadi dalam rupa konsesi bisnis, barter kepentingan, kemudahan atau fasilitas khusus dalam pengajuan proyek-proyek di daerah. Kelompok bisnis dan elite politik di daerah mempunyai kepentingan yang sama untuk mengeruk sumberdaya di daerah lewat penguasaan politik dan pemerintahan. Elite dan penguasa di daerah mendapat sokongan dana guna pemenangan pilkada dan membangun citra, dan kelompok bisnis diuntungkan lewat kemudahan dan fasilitas khusus menjalankan bisnis dari penguasa setempat.
Relasi bisnis dan politik dengan pola barter kepentingan semacam itu pastinya mengancam demokrasi. Regime demokrasi yang mestinya menghidupkan nilai-nilai fairness, akuntabilitas, transparansi dan anti korupsi mendapat serangan membabi-buta dari praktik korupsi, kolusi, dan persaingan tidak sehat yang dilakukan kelompok kartel bisnis dan politik. Pokok soalnya sudah terjadi pembajakan demokrasi lewat kapitalisasi politik oleh kartel korupsi. Di banyak pilkada terdapat pola indikasi adanya para cukong yang membandari (memasok uang) calon kepala daerah untuk maju dan memenangi pilkada di daerahnya. Seorang bakal calon kepala daerah yang hendak maju dalam pilkada harus menghitung di depan berapa kebutuhan modal yang diperlukan, mulai dari ‘membeli’ kendaraan partai politik, membiayai kampanye, hingga ‘membeli’ suara pemilih di hari pelaksanaan pemilu. Dari ujung awal sampai ujung akhir semua itu diukur mengunakan belanja uang. Besarnya perputaran uang dalam pilkada itu mencengangkan.
Keniscayaan kebutuhan modal besar dalam pilkada itu yang semakin menyuburkan relasi membandari dan dibandari antara kelompok punya uang dan elite politik calon penguasa lokal di daerah. Karena pola semacam itu menjadikan varian praktik korupsi di daerah tidak hanya dalam wilayah APBN saja, tetapi sejatinya meluas dalam modus kartel dan kroni yang terjalin rapi mengeksploitasi sumberdaya ekonomi dan politik di daerah. Praktik korupsi dalam relasi kepentingan bisnis politik semacam ini yang menyeret banyak kepala daerah dalam praktik korupsi yang semakin lama semakin menggurita. Sebab itu, jantung bahaya korupsi di daerah bukan lagi terletak pada penyalahgunaan anggaran negara untuk kepentingan pribadi, melainkan pada penyalahgunaan kekuasaan dengan menyimpangkan strategi kebijakan daerah untuk kepentingan kartel bisnis politik kelompoknya.
Inilah pembajakan demokrasi itu. Pemilihan kepala daerah secara langsung sebagai intensi awal untuk membangun kehidupan demokrasi di daerah dan mendekatkan pelayanan manfaat demokrasi kepada rakyat justru berujung pada penguasaan terstruktur seluruh sumberdaya daerah ke dalam kelompok kartel bisnis politik. Pembajakan demokrasi dalam pola seperti ini menjadi ancaman serius bagi transisi demokrasi di banyak daerah dan akan menjadi mimpi buruk republik.
(Ari Nurcahyo, Peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate)
Tulisan ini disalin dari PedomanNews.com, Rabu, 06 April 2011 13:29